Saturday, June 9, 2018


Takdir Menjerit Padaku ...

Jiwaku masih terasa tak di sini, rasanya seperti ia terhuyung kesana kemari oleh angin sore. Aku merasa kekosongan sejenak dalam hidupku, seperti ada aliran listrik 1000 Volt yang telah menyengat, sarafku tak seluruhnya bekerja dengan baik. Yang kurasa hanya saraf pernapasan yang bekerja seperempat dari yang seharusnya, napasku tersendat-sendat setelah kabar buruk ini sampai padaku. Aku akan lewati bagian ini. Karena ini terlalu berat dan sakit untuk pembuka.
Hari ini akan aku ceritakan pada kalian tentang dia yang mengajariku betapa pentingnya menekan tombol hijau pada telpon genggammu.


Sudah setengah jam aku duduk di lapangan basket bersama teman sekelasku yang kini sudah kuanggap seperti bagian dari keluargaku. Sesekali mataku melirik pada layar handpohone untuk memastikan pesan baru tak kulewatkan. Sudah beberapa pesan dari teman-temanku yang mengatakan mereka akan sedikit terlambat sampai ke sana. Sembari jari-jariku masih asyik mengetikkan balasan, mataku tertuju kepada seorang gadis berkacamata yang sedang berjalan sendirian di jalan sisi sebelah kiri lapangan basket ini. Apa yang dilakukannya di sana sendirian? Pikirku, tapi wajahnya tak asing di mata ini, seperti sudah terlalu familiar di keseharianku. Tapi siapa? Sesekali dia menilik handphone nya, lalu ia bergerak menjauhi tempatnya tadi ke tempat parkiran. Apa yang membuatku sampai harus memperhatikannya seperti itu?
Aku masih menunggu teman-teman sampai kemari, setelah sepuluh menit, baru lah satu per satu dari mereka sampai. Berulang kali mereka mengatakan maaf lalu menjelaskan sederet kesibukan yang harus mereka selesaikan sebelum kemari. Aku memahami mereka, mereka memiliki banyak amanah di kampus masing-masing dan aku tahu tidak pernah mudah mengatur waktu itu, dan beruntungnya aku, mereka bisa meluangkan setidaknya sebagian kecil dari waktu luang yang mereka punya untuk menemuiku di sini.
Kami berpindah tempat ke tempat yang lebih teduh, tidak jauh dari lapangan basket, atau mungkin hanya beberapa meter dari tempatku duduk tadi. Lalu teman-temanku berlarian menuju sesuatu yang tidak kuketahui siapa itu sampai akhirnya aku menolehkan kepala dan mendapati gadis berkacamata tadilah yang mereka tuju. Mereka terlihat saling melepaskan rindu, sibuk sekali nampaknya, sampai tak punya waktu untuk saling bertemu. Mereka kembali bersama gadis berkacamata tadi. Semakin dekatnya jarak pandangku terhadap gadis itu, semakin jelas pula identitasnya. Aku sedikit tersentak tak percaya dengan apa yang aku lihat.
Bukankah ___ bukankah dia adalah Raina Raehan? Orang yang selama ini aku kenal melalui media sosial?
“Hai ...” katanya sambil menawarkan tangan kepadaku dan temanku.
Kami berdua terdiam, terutama aku yang masih melongo tak percaya dengan gadis yang berdiri di hadapanku ini.
“Yang mana yang namanya Owie?” tanyanya. Sontak si Yuli temanku langsung menjabat tangannya lalu melakukan bualan yang ternyata dianggap Raina sungguhan.
“Saya, kenalin saya Raisa.” Kata Yuli.
“Raisa? Wah namanya seperti artis ya ... berarti ini Owie?” dia menunjukku.
“Bukan ,,,” aku malah menunjuk Yuli, lalu Yuli menunjuk balik kepadaku.
Wajah Raina terlihat bingung dan sedikit kesal.
“Jadi yang mana yang namanya Owie?”
Kami masih saling tunjuk menunjuk. Akhirnya karena mungkin dia sedikit kesal dia menurunkan tangannya lalu pergi meninggalkan kami dan mengadu pada dua temanku di sana. Bukan merasa bersalah, aku justru merasa hatiku tergelitik dengan tingkahnya. Hahaha ... tingkahnya lucu sekali, wajahnya jauh lebih imut dari yang pernah kulihat di layar ponselku selama ini.
Tak banyak yang terjadi di sana selain pertemuan kami yang singkat, karena aku harus kembali ke kampus. Tapi sejak pertemuan singkat itulah aku merasa jantungku berdetak tak senormal biasanya.
Aku masih tak percaya bisa melihat wajah Raina Raehan secara langsung hari ini. Sejak SMA aku sudah sangat senang dengan tulisan-tulisan yang ia posting di Facebook, tak pernah satu judulpun aku lewatkan dari tulisan pendek yang ia posting. Rasanya seperti aku baru saja bertemu langsung dengan idolaku. Ya! Dia memang idolaku, dan selama 3 tahun terakhir, aku hanya memperhatikannya melalui layar ponsel ini. Memasuki tahun ke-4, siapa yang bisa menebak jika akhirnya aku ditakdirkan bertemu langsung dengannya?
Sejak hari itu, temanku membuat sebuah grup untuk menjaga tali silaturahmi kami dan bersyukurnya aku karena di situ juga ada nomor Raina Raehan. Tak berpikir panjang, aku langsung menyimpan nomor itu. Raina juga pernah memposting nomor telponnya di media sosial, untuk urusan promosi maupun bisnis yang sedang ia tekuni tapi aku masih malu-malu untuk menyimpan nomornya dan hari ini tak lagi aku sia-siakan kesempatan itu.
Selang beberapa hari, kami saling berkomunikasi melalui grup tersebut, dan di hari ketiga setelah grup itu terbentuk, saat aku sedang menjelajahi deretan WA story di Hpku aku mendapati WA story milik Raina. Hatiku senang bukan main, karena itu artinya dia juga sudah menyimpan nomorku di kontak WA nya. Aku membalas WA storynya dan sejak saat itu kami mulai sering berbagi cerita di jaringan pribadi WA.
Sempat sekali aku keluar dari grup karena ada masalah dengan salah seorang di antara mereka yang ada di grup tersebut dan tak kusangka Raina adalah orang yang begitu kecewa dengan tindakanku ini. Dia sempat berhenti menghubungiku, chatku tak digubrisnya hingga pada suatu hari ia luapkan seluruh kekecewaannya padaku. Dia bilang keluar dari grup adalah cara seorang anak kecil mengatasi masalah. Dia mengaku dia tak pernah bersikap dewasa dan selalu merasa dirinya adalah anak kecil, tapi tak pernah sedetikpun ketika sedang ada masalah, ia justru memilih untuk keluar grup yang sebetulnya grup itu dibuat untuk memudahkan satu dan lainnya berkomunikasi.
Dia juga mengutarakan betapa kecewanya ia dengan sikapku yang tadinya ia pikir akan lebih dewasa dalam menyikapi masalah. Setelah panjang percakapan kami, akhirnya aku bersedia jika ia ingin memasukkanku kembali ke grup.
Bukan merasa aneh dan benci karena dari kekecewaannya justru ia terlihat seperti mengatur hidupku. Tapi aku justru semakin menyayanginya, aku tak pernah tahu bila ia begitu peduli terhadapku sampai ia tak rela aku keluar dari lingkaran pertamanan yang diikat oleh grup itu. Setelah aku kembali ke grup, semua berjalan normal kembali. Aku dan Raina kembali bercakap-cakap di WA mengenai apapun yang sebenarnya itu jarang sekali aku lakukan dengan yang lain.
Jujur, aku hanya ingin membalas chat orang yang benar-benar sedang membutuhkanku saja dan pembahasan yang sangat penting. Dan sangat jarang aku meladeni chat yang hanya berisi “Assalamualikum Owie, sedang apa?” atau bahkan “Owie, sudah makan?” chat yang isinya hanya percakapan ringan dan tak penting.
Tapi, entah mengapa justru Raina adalah orang yang kuperlakukan jauh berbeda dari yang lain, dia sering sekali memulai percakapan dengan hanya mengirim kata “Owie ...” satu kata itu justru merembet menjadi percakapan panjang yang kadang membuatku kesulitan tidur. Sudah kuduga, Raina memang mahir dalam hal menulis, sering kali ia merayuku dengan kata-kata yang ia tulis dan kuakui itu selalu berhasil membuatku tersipu malu dan tersenyum senyum sendiri di tengah malam.
Sama halnya di media sosial lain, aku juga tak pernah melewati story yang Raina buat di WA.
Bahkan akhir akhir ini Raina merengek padaku agar aku mau mengangkat telpon darinya. Mana mungkin! Aku adalah orang yang sangat pemalu dan sangat penakut, apalagi dalam hal mengangkat telpon dari orang lain. Aku dan dia baru saling mengenal beberapa minggu ini, tapi Raina tak pernah sungkan berbagi cerita denganku bahkan sekarang dia merengek seperti anak kecil karena ingin berbicara padaku melalui telpon.
Dia bilang padaku, “Owie dengarkan saja aku bicara, nggak apa-apa kok kalau Owie tidak mau bicara.”
“Yakin?”tanyaku
“Iya, lagipula wanita lembut mana yang tega mendengar temannya berbicara sendiri terus menerus, iya kan?” jawabnya begitu PD.
“Jadi kamu sudah yakin aku akan bicara di telpon itu?
“Tentu saja!”
Di percobaannya yang ke-3, akhirnya aku mau menekan tombol hijau pada ponselku saat ia menelpon. Dia berbicara apapun yang ingin ia sampaikan, suaranya terdengar lebih halus dan lucu kali ini dan sepertinya ia tidak peduli apakah aku mendengarkannya atau tidak. Dia seperti seorang penyiar yang berbicara sendiri. Tapi, tentu aku mendengarkannya dengan baik. Menit di telpon semakin berjalan, sesekali ia berhenti bercerita dan memintaku untuk berbicara, tapi aku tetap sunyi. Sampai akhirnya di menit ke-50, aku membalas nya dengan suaraku yang malu-malu.
“Alhamdulillah, akhirnya ngomong juga.” Terdengar desah napas leganya di seberang sana.
Kami terus berbincang mengenai apapun yang ingin kami bahas malam itu. Sampai akhirnya terdengar suara Raina yang mulai lelah, kamipun akhirnya mengakhiri pembicaraan. Namun sebelum itu kusempatkan untuk mengatakan sesuatu padanya.
“Raina, aku tahu kita baru saja saling kenal. Dan aku tahu aku mungkin saja belum masuk dalam daftar teman dekatmu. Tapi harus kuakui, sejak hari di mana kita bertemu di lapangan basket itu. Aku merasakan bahwa aku sungguh menyayangimu seperti aku menyayangi teman-teman yang sudah kuanggap sebagai saudara.”
Tak banyak yang kami bicarakan lagi setelah itu, Rainapun mematikan telponnya dan aku terbelalak setelah melihat riwayat catatan waktu di sana menuliskan 3 jam. Aku tak pernah sekalipun dalam hidupku melakukan perbincangan di telpon selama 3 jam. Apa yang menyihirku sampai bersedia melakukan perbincangan itu? Hanya Raina yang berhasil membuatku seperti ini.
Hari demi hari berlalu menjadi minggu lalu minggupun berlalu menjadi bulan. Sudah berbulan-bulan kami terus melakukan percakapan di WA dan semakin ke sini entah mengapa aku semakin bersyukur dan sangat senang bisa berteman dengan Raina, gadis berkacamata yang tak pernah kehabisan ide untuk membuat orang di sekitarnya tersenyum. Bukan hanya aku, tapi semua ornag yang kukenal juga mengenalnya sebagai gadis periang dan penuh candaan.


Sampai akhirnya, suatu hari untuk kesekian kalinya ia memintaku mengangkat telpon darinya. Alasan klasik dan tak pernah membuatku bosan mendengarnya adalah rindu, dia bilang dia rindu sekali mendengar suaraku dan rindu sekali ingin berbagi cerita padaku. Tapi hari itu aku cukup sibuk, aku punya sederet kegiatan yang membuatku tak sedetikpun dapat menggubrisnya.
“Owie, kenapa tidak angkat telponnya?” pesannya masuk ke WA ku.
“Owie? Aku akan pergi ke panti asuhan hari ini, mau melakukan bakti sosial di sana.” Pesannya lagi.
“Owie? Masih sibuk? Tolong angkat telponnya sebelum aku pergi, aku pergi 10 menit lagi.” Masih belum kubaca pesannya.
“Ya sudah, aku pergi dulu. Sampai nanti ... Assalamualaikum, Cuma mau ngasih tau, aku rindu padamu hihi ...”
Aku tidak terlalu memperhatikan pesan darinya sehingga aku hanya membalas singkat “Maaf, aku sedang sibuk hubungi aku nanti.”
“Baiklah, maafkan aku, selesaikanlah tugasmu dan aku ingatkan jangan memikirkanku ya, nanti pekerjaanmu tidak akan selesai hihi ...”guyonan sekaligus pesan terakhir yang ia kirim.
Hari semakin sore, langit jingga mulai terlihat, anginnya sedikit berbeda hari ini dan bersamaan angin itu aku juga tiba-tiba merasakan hatiku mulai gelisah dan gusar. Baru kusadari, seharian ini aku tidak mengecek ponselku, dengan segera aku mengambilnya dari dalam tas. Ada 15 panggilan, dan itu semua dari Raina. Aku tersenyum-senyum membaca pesan-pesan yang ia kirim, ada rasa kasihan juga. Tapi biarlah, toh pikirku nanti malam dia akan menelpon lagi. Aku mengetikkan balasan untuknya dan untuk beberapa pesan dari teman-temanku. Raina masih belum membalas pesanku, anehnya dia terakhir online 5 jam yang lalu, terlalu lama ukurannya bagi seorang Raina si Ratu medsos hahaha!
Aku terus membiarkan jari jempolku mengscroll down layar WA hingga aku dapati pesan dari temanku yang belum kubalas. Temanku satu ini satu kampus dengan Raina dan dia kenal betul Raina itu seperti apa. Bersamaan dengan pesannya yang kubaca di saat itu pula hatiku yang tadi gelisah berubah menjadi sakit, sakit tak tertahankan bagaikan dihujam ribuan pedang. Semakin aku membaca pesan itu, darahku seakan mengalir terlalu deras seakan akan rasanya ia ingin muncrat keluar dari hidungku. Paru-paru ku seperti sedang terikat oleh sesuatu yang sangat kencang sampai-sampai tak rela membiarkan satu oksigenpun masuk kedalamnya. Badanku terhuyung, air mataku mulai membanjiri pipi dan menetes-menetes ke bajuku.
“Assalamualaikum, Innalillahi wainnailaihirajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah, teman kita Raina Raehan dalam perjalanan pulangnya dari panti asuhan karena kecelakaan. Mari kita kirimkan alfatihah untuk almarhumah semoga segala amal baik yang ia lakukan di dunia dapat diterima oleh Allah subhanahuwata’ala. Aamiin, alamarhumah akan dimakamkan hari ini juga di rumah kediaman orang tuanya ...”
Itulah pesan yang berhasil membuatku roboh dari tegapnya cara berdiriku. Aku masih tak percaya Raina begitu cepat pergi meninggalkan dunia ini, meninggalkan sanak saudara dan teman-teman di sini, dan yang lebih menyakitkan adalah Raina telah meninggalkanku. Aku berlutut dan menangis sejadi-jadinya. Raina adalah orang yang memiliki aktivitas lebih banyak dariku, tapi tak pernah sedikitpun ia acuhkan pesan-pesan dariku, dia selalu punya waktu buatku. Tapi aku? Aku mendengar suara takdir menjerit keras di telingaku terdengar seperti ia pun tak tega mengabarkan kabar pedih ini padaku.
Tidak ada lagi WA story lucu darinya, tidak ada lagi percakapan tak penting darinya, tidak ada lagi rengekan yang memintaku mengangkat telpon darinya. Aku __ aku merasa begitu sakit sekarang, dia mengajarkanku banyak hal, terutama betapa pentingnya menekan tombol hijau pada layar ponselku.





Sumber :
Diambil dari karya murni seorang Penulis Kalimantan Barat, Inaq Real.

note : Cerita ini tidak seluruhnya nyata, jika ada kesamaan peristiwa dengan yang terjadi pada anda. itu artinya tulisan ini punya makna tersembunyi yang harus anda tahu.

Friday, July 4, 2014


DIA YANG BERTAHAN, DIA YANG PERGI

Sudah tiga bulan sejak kepergian seorang pria penambat hati merantau ke Ibu Kota, kepergian pria itu bukan tanpa tujuan, karena keterbatasan ekonomi dalam keluarganya, dia terpaksa harus meninggalkan Kota kelahirannya menuju Kota yang penuh dengan aktivitas yang sangat padat. Jakarta adalah tempat yang Ia tuju untuk mengadu nasib, meninggalkan sanak keluarga dan seorang wanita yang sangat setia di Kota Medan, wanita yang sudah dijanjikan olehnya akan dinikahi segera. Pagi ini, Melinda sedang duduk di teras rumahnya sambil membaca beberapa buku Matematika, bekerja sebagai guru bimbel, memang dituntut untuk tidak asal-asalan dalam mengajar, maka dari itu, dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan beberapa buku.
Cahaya keemasan yang menyorotinya dari atas sana, sangat menghangatkan tubuhnya, lembaran demi lembaran dibuka olehnya, dengan kerudung yang selalu tertiup angin, Melinda terlihat sangat anggun. Sebuah benda yang jatuh dari selipan buku membuyarkan konsentrasinya seketika, tangan halus nan lembut meraih benda tersebut dan terpampang wajah pria yang Ia tunggu hingga hari ini, pria yang sudah berjanji akan menikahinya setelah pulang dari rantauan. Tanpa disengaja, butiran bening jatuh menuruni pipinya, setelah tiga bulan berpisah, rasa rindu sudah pasti tak dapat dielakkan, hanya dengan telepon seluler lah mereka bisa berbagi kabar.

Berbekal dengan pengetahuan yang luas, pria muda ini bisa menjadi seorang karyawan sebuah perusahaan elektronik, gaji per bulan yang diterimanya, sebagian selalu Ia kirim untuk sanak keluarganya di Kota Medan. Prima Pratama nama lengkapnya, bertubuh tegap dan berkulit sawo matang serta memiliki intelektual yang cukup tinggi, memang sangat memikat banyak wanita, namun kesetiaannya terhadap seorang wanita di seberang sana tidak menggoyahkan perasaannya sedikit pun. Prima belum bisa pulang ke Medan dikarenakan belum dapat cuti kerja serta pekerjaannya yang memang masih menumpuk, membuat beberapa laporan untuk pemasokkan barang elektronik setiap bulannya tidaklah mudah.
Waktu sudah menunjukkan pukul satu siang, setelah melaksanakan sholat zuhur di masjid terdekat, Prima pergi ke sebuah rumah makan langganannya, duduk di kursi tanpa harus sibuk memesan makanan, dia cukup menjentikkan jarinya saja, karena si pemilik rumah makan itu sudah tahu apa yang akan dipesan oleh Prima. Menghela nafas lelah, Prima memperhatikan seluruh kegiatan serta orang-orang di sekitarnya, teringat akan seseorang, tangannya merogoh saku celananya dan mengambil sebuah telepon seluler, jari-jemarinya menari-nari di atas keypad yang menuliskan beberapa kalimat rindu, dan dipilihnya kata send untuk mengirim pesan singkat tersebut. Tak menunggu lama, balasan segera diterimanya, selama beberapa menit mereka saling berbagi cerita di atas sana. Satu porsi ikan Nila bakar dan sayur tumis kangkung serta sepiring nasi putih telah datang menghampiri Prima yang tengah asyik mengirim pesan dengan Melinda.
“Hei,,, ngapain Loe senyum-senyum sendiri?” sapa Ryan, si pemillik rumah makan tersebut.
“Oh, hei, nggak, oh ya kamu yang ngantar pesananku? Pelayannya kemana?”
“Mereka lagi pada sibuk ngantar pesanan yang lain, lagi pula, ini kan special buat teman gue yang cakep ini” Ryan mencoba merayu.
“Ah,,, kamu ini bisa saja, ya sudah aku makan dulu ya.” Tangan Prima menyendokkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
“Oh,,, ya silahkan, oh ya gimana dengan pacar loe itu? Loe belum mau pulang kampung?”
“Em,,, dia bukan pacarku, dia itu calon istriku, untuk saat ini aku belum bisa pulang, kerjaan masih banyak di kantor, dan aku juga belum dapat cuti.” Prima menjawab pertanyaan dengan mulut penuh dengan makanan.
“Oh,,, gitu, ya udah, gue balik kerja lagi ya, makan yang kenyang, kalau mau nambah, tinggal bilang aja ya!”
Jari jempol Prima terangkat ke atas, dengan senyum lebar terpampang di wajahnya. Makan dengan nikmat ditemani makanan kesukaannya dan dihiasi dengan berbagai aktivitas di kota Jakarta yang terlihat dari kaca transparan yang besar di rumah makan itu. Ketika sedang menikmati makanannya, tiba-tiba telepon genggam Prima berdering, dan terlihat nama sender nya adalah Melinda, pesan singkat yang mengabarkan bahwa Melinda harus pergi mengajar, serta gambar emoticon senyum yang disertakan dalam pesan tersebut, sambil mengunyah makanannya, jari Prima mengetik beberapa kata untuk membalas pesan Melinda.
Setelah makan siang, Prima kembali ke kantornya dengan sepeda motor, Prima menyusuri jalan raya menuju kantor, jarak rumah makan tidaklah jauh dari kantornya, jadi, dia tidak perlu khawatir akan terjebak macet, selama beberapa menit di jalan, Prima akhirnya sampai di depan kantor dan memarkirkan motornya. Prima mulai melangkahkan kakinya ke dalam kantor dan duduk di atas kursi kerjanya, jari-jemarinya mulai menari-nari di atas keyboard dan beberapa berkas terlihat tengah bertumpuk di hadapannya. Deringan telepon menghentikan pekerjaannya, ternyata itu dari Manager nya yang meminta Prima untuk pergi ke ruangannya sekarang juga.
Prima mulai berjalan menyusuri lorong kantor menuju ruangan Pak Hilman, Manager nya, Prima jalan dengan terburu-buru, tiba-tiba di tikungan kantor, Prima menabrak seorang wanita yang tengah berjalan santai, karena insiden itu, wanita itu jatuh tersungkur. Prima yang menyadari bahwa dirinya telah menabrak wanita itu, segera membantunya bangun dan membawanya duduk di kursi panjang di lorong kantor.
“Aduh, maaf sekali mbak, saya nggak bermaksud menabrak anda.” Ujar Prima dengan ekspresi khawatir.
“Nggak apa-apa kok, kamu nggak salah.” Jawab wanita tersebut dengan senyumnya yang sangat indah.
“Ya udah, saya tinggal dulu ya mbak, saya mau ke sana dulu.” Prima berjalan meninggalkan wanita itu dengan terburu-buru.



Malam ini, angin berhembus sangat kencang di luar sana, Melinda duduk di ruang tamunya sambil memandang ke luar jendela, perlahan butiran air jatuh dari langit yang gelap dan perlahan membasahi bumi, rasa rindu terhadap Prima masih menyelimutinya, sudah beberapa pesan dikirimnya, namun, belum ada yang terbalaskan. Melinda tahu, bahwa saat ini Prima pasti sedang sibuk bekerja, Melinda harus membiasakan dirinya, semenjak Prima bekerja sebagai karyawan, mulai sejak itulah, Prima sudah jarang membalas pesan darinya, kecuali ketika istirahat makan siang. Melinda berharap, Prima segera kembali ke Medan dan menikahinya.
“Melinda.” Suara yang tiba-tiba membuyarkan lamunannya.
“Iya Yah.”
“Ayah mau bertanya.” Pak Ahmad mendekat, dan duduk di salah satu sofa menghadap ke sofa tempat di mana Melinda duduk.
“Tanya apa Yah?”
“Kapan Prima pulang?”
“Melinda belum tahu Yah, yang jelas, jika sudah dapat cuti, Prima pasti pulang”
“Begini, kamu itu sudah cukup umur untuk menikah, tapi jika dia belum pulang juga, carilah yang lain.”
“Maksud Ayah?” Melinda tersentak.
“Carilah lelaki yang lain, yang memang sudah pasti bisa menikahimu segera.”
“Ayah,,, Melinda tidak akan pernah berpaling dari Prima, dia sudah berjanji Yah…”
“Bagaimana kamu tahu, bahwa dia akan menepatinya? Dan bagaimana jika sudah ada seseorang yang menggantikan posisimu?”
“Tidak mungkin Yah, Prima selalu menepati janjinya.”
“Baiklah, yang jelas, Ayah ingin, kamu segera menikah nak.”
Melinda hanya terdiam, dan membiarkan Ayahnya berlalu meninggalkannya, dirinya sangat paham dengan karakter Prima, dan Melinda sangat percaya Prima akan segera menikahinya, tidak semudah itu orang-orang akan meruntuhkan benteng kesetiaannya terhadap Prima. Ini bukan pertama kalinya sang Ayah membujuknya untuk mencari pengganti, memang banyak sekali lelaki di kompleknya yang berniat untuk menikahi Melinda, namun, hanya Prima lah pilihannya, dan Prima tidak ingin menjadikan Melinda sebagai kekasihnya, melainkan langsung menjadi istrinya, karena keterbatasan ekonomi dalam keluarga, Prima memilih untuk mencari pekerjaan yang berpenghasilan besar untuk keluarganya dan rencana pernikahannya.

Pagi ini, seperti biasa, Prima harus bergelut dengan beberapa berkas yang harus dikerjakannya, pesan yang dikirim oleh Melinda belum sempat ia balas, karena keterbatasan waktu. Berlalu-lalang di lorong kantor untuk meminta tanda tangan, serta mengambil beberapa laporan yang harus diperbaiki, pagi yang sangat menyibukkan ini merupakan hal yang sangat biasa di Ibu Kota, kesibukan di dalam dan di luar kantor sudah menjadi makanan sehari-hari.
“Laporan yang ini, tolong diperbaiki ya, saya minta segera.” Ujar Pak Hilman.
“Iya Pak, akan segera saya perbaiki, saya permisi dulu Pak.” Jawab Prima.
Ketika keluar ruangan, Prima berpapasan dengan seorang wanita yang sudah tidak asing di matanya, mereka saling bertatapan dalam beberapa detik, wanita itu adalah wanita yang pernah ditabrak Prima sewaktu berjalan di tikungan kantor. Dan sepertinya wanita itu bertujuan untuk menemui Pak Hilman.
“Eh,,, mbak, ketemu lagi kita, mau cari Pak Hilman ya?” Sapa Prima
“Hmm,,, Iya.”
“Memang ada urusan apa ya mbak?”
“Saya anaknya Pak Hilman.”
“Oh,,, maaf mbak, silahkan masuk.”
“Iya, terima kasih.”
Setelah perbincangan ringan dengan putri Pak Hilman, Prima kembali ke meja kerjanya dan mulai mengetik beberapa laporan yang telah menunggunya. Di sela-sela kesibukkannya mengetik, mata Prima melirik ke telepon selulernya, yang tertera sudah lima pesan yang masuk dan sepuluh panggilan tak terjawab, untuk beberapa menit Prima membuka satu per satu pesan yang ada dan melihat nama penelpon yang tidak dijawabnya. Empat pesan dari Melinda dan panggilan tak terjawab itu dari Hafif, sahabatnya di Kota Medan, empat pesan hanya berisikan pertanyaan kabar biasa yang dikirim Melinda, dan satu pesan terakhir dari hafif sedikit berbeda, dan pesan itu membuat Prima harus benar-benar memperhatikan kalimatnya.
“Prima, aku cuma ingin memberitahukan kepada mu, bahwa Melinda baru saja masuk ke rumah sakit, karena sesak nafas, ya, aku jelaskan sobat! Dia itu bekerja sebagai guru bimbel Matematika di persimpangan Kota, dan kau tahu kan, di sana ada pabrik industri, setiap hari, Melinda harus melawan kepulan asap yang menyesakkan pernapasan, nah, karena itu lah dia dirawat saat ini, tapi kau tak perlu khawatir, dia baik-baik saja. Oh ya, kapan kau kembali? Sebaiknya cepat, karena aku dengar, Ayah Melinda sudah sangat ingin punya menantu, kau tahu kan, Melinda itu, wanita yang sangat anggun dan lembut, tentu saja, bukan hanya kau lelaki yang mencintainya."
Setelah membaca pesan itu, rasa khawatir seketika menyelimuti dirinya, dia sangat menyesal, karena terlalu sibuk bekerja, tanpa memikirkan pesan dari calon istrinya itu, sekarang, Melinda sedang berada di rumah sakit. Seharusnya, di saat sakit, Prima selalu ada di dekatnya, namun, kali ini, Prima sangat kesal, karena tak dapat menemani calon istrinya.
Jam istirahat makan siang sudah tiba, Prima mengemaskan beberapa berkas, dan bersiap sholat zuhur, setelah sholat ia pergi ke rumah makan langganannya. Berjalan menyusuri kantor menuju parkiran, masih tidak mungkin dipungkiri, rasa khawatir akan Melinda, masih melanda hatinya.
“Prima!” Panggil seseorang dari belakang Prima.
Prima berbalik mencari asal suara yang memanggilnya.
“Kamu mau makan siang kan?” Ujar wanita itu.
“Emm,,, Iya mbak..”
“Berhenti lah memanggil saya, Mbak, cukup panggil Eliza”
“Emm,,, baiklah Eliza, ada apa?”
“Begini, kamu mau menemaniku makan siang?”
“Kebetulan saya juga ingin makan siang, kalau begitu ikut bersama saya saja.”
Mereka melaju ke rumah makan yang akan dituju, selama dua puluh menit mereka sampai di rumah makan yang biasa dikunjungi Prima. Mereka memesan dua porsi makanan dan dua gelas minuman yang berbeda, sambil menunggu pesanan mereka datang, Eliza dan Prima lebih banyak diam, terutama Prima, selain bingung dengan kata-kata yang harus diucapkan pada wanita manis di hadapannya, pikirannya juga masih melayang pada Melinda yang dikabarkan sedang terbaring di rumah sakit, dan perkataan temannya soal pernikahan.
“Kamu sering ke sini?” Eliza memulai percakapan.
“Iya,”
“Em,,, tempatnya bagus.”
“Iya.”
“Kamu kenapa Prim?”
“E,,, a… aku? Aku tidak apa-apa”
“Bohong, dari tatapan matamu itu sudah terlihat bahwa kamu sedang punya masalah, cerita saja….”
“Aku baik-baik saja Eliza…”
“Baiklah,,, aku tidak memaksa. Oh ya, nanti pulang kerja, kamu mau menemaniku pergi sebentar?”
“Kemana?”
“Kemana saja…”
“Iya,,, insyaAllah.”

Sudah seharian dirinya terbaring di atas ranjang rumah sakit, sesak nafas nya belum sepenuhnya hilang, melihat di sekelilingnya hanya terdapat beberapa peralatan medis dan beberapa pasien tengah tertidur lelap. Melinda meraih ponselnya yang terletak di atas meja kecil, dan tidak terlihat balasan pesan dari Prima, rasa khawatir pun menyelimutinya, dan terputar ulang di memorinya, tentang perkataan sang ayah, yang bertanya, bagaimana Melinda bisa tahu, bahwa Prima akan menepati janjinya, dan bagaimana dia tahu, bahwa di sana belum ada wanita yang menggantikan posisinya?. Air mata Melinda mulai menggenangi kelopak matanya, dan perlahan, salah satu butiran bening turun dari matanya.
Suara rusuh yang dihasilkan di koridor rumah sakit, membangunkan Melinda, melihat di sampingnya sang Ibu tengah menyiapkan sarapan. Perlahan Melinda mengubah posisi tidurnya menjadi duduk dan bersandar pada bantal, tangannya kembali meraih ponselnya, dan masih sama dengan hari sebelumnya, belum ada pesan yang masuk dari Prima. Melinda hanya menghela nafas, menahan rasa sesak di hatinya.
“Ini, udah Ibu siapin sarapannya.” Ibunya menawarkan.
“Ya Bu,,,”
“Oh ya,,, tadi malam Prima menelpon,”
“Menelpon? Kenapa Ibu tidak memberitahu Melinda?”
“Yah, kamu kan lagi tidur, mana tega Ibu mau membangunkanmu.”
“Lalu, apa yang dia katakan?”
“Bukan apa-apa,,, dia hanya menanyakan kabarmu, dan Ibu bilang, kamu baik-baik saja, dan hari ini, kamu sudah diperbolehkan pulang.”
“Ibu yakin, dia hanya mengatakan itu?”
“Tidak, ada lagi yang dikatakannya.”
“Apa?”
“Nah, kalau yang satu ini, pasti membuatmu senang, karena dia berjanji minggu depan akan datang menikahimu.”
“Benarkah?” Melinda bersemangat.
“Iya, tentu saja benar, mana mungkin Ibu berbohong padamu.”
Rasa khawatir yang sempat mengikatnya, seketika mengendur dan terlepas, Melinda sangat bersemangat setelah mendengarkan cerita dari ibunya. Siang hari, pukul satu siang, Melinda sudah dapat pulang ke rumah, rasa senang memang tidak dapat dipungkiri lagi, sekarang, Melinda sangat percaya, bahwa Prima tidak mungkin mengingkari janjinya, dan Prima tidak mungkin berpaling darinya begitu saja.

Sudah tinggal tiga hari, Prima akan menikahi Melinda, seluruh pekerjaannya segera diselesaikan, dan yang pastinya, cuti pun sudah didapatkannya. Siang ini, seperti biasanya, Prima memilih untuk pergi ke rumah makan langganannya. Untuk melepas penat setelah setengah hari berhadapan dengan ratusan berkas, makanan yang dipesannya pun tidak lain yaitu ikan Nila bakar dan tumis kangkung ditambah dengan segelas es cappuccino.
“Hei,,, tumben Loe sendirian?” Ryan menyapa.
“Em,,, kamu kerjanya ngagetin aku terus!”
“Hehe,,, maaf, mana pacar baru loe? Wah, cepet banget loe dapat pacar baru, cantik dan solehah pula, emang yang kemarin kenapa?”
“Maksudmu?”
“Ah,,, loe pura-pura nggak tahu, udah beberapa hari ini, loe ke sini kan selalu ditemani sama cewek baru, dan gue sempet ngeliat loe berdua lagi jalan-jalan di Mall…”
“Dia bukan pacarku, dia hanya anak dari manager ku.”
“Hem,,, Loe mau ngeles kan?”
“Aku bersungguh-sungguh”
“Nah, baru juga dibilang, orangnya udah nongol.” Ryan melirik ke luar jendela, dan terlihat di luar sana, Eliza tengah berjalan menuju pintu masuk rumah makan.
“Ya udah, gue tinggal dulu ya.” Tambah Ryan pamit.
Prima hanya tersenyum ketika melihat Eliza menghampirinya.
“Kamu, sudah dari tadi ya?”
“Iya,”
“Oh ya, kata Ayah, minggu depan kamu ambil cuti, memangnya mau ke mana?”
“Aku mau pulang kampung, ke Medan.”
“Oh,,, jauh juga ya, memangnya ada apa? Orang tuamu sakit?”
“E,,, tidak, aku hanya ingin menepati janjiku, dan aku akan melaksanakan suatu acara yang sangat sakral bagi setiap insan.”
“Ah,,, kamu pakai pribahasa segala, maksudnya apa?”
“Aku akan menikah.”
Seketika wajah Eliza berubah datar, dan tak satupun kata keluar dari bibirnya.
“Eliza, kamu baik-baik saja?”
“Em,,, I,, iya tentu saja aku baik-baik saja.”
Selama beberapa menit, mereka makan siang, setelah itu, Prima kembali menjalankan aktivitasnya di kantor. Sedangkan Eliza mengikuti Prima, tiba-tiba Eliza merasakan sakit di kepalanya, sakit itu, benar-benar terasa seperti seakan-akan kepala itu akan meledak.
“Eliza, kamu kenapa?” Prima menahan tubuh Eliza.
“A,,, aku tidak apa-apa… Ah!!!”
“Kamu jangan bohong, kepala kamu kenapa?”
“Aku tidak apa-apa!” Bentak Eliza.
Eliza melepaskan tangannya dari genggaman Prima, Prima pun hanya bisa terdiam melihatnya berjalan. Ini bukan pertama kalinya Eliza merasa sakit pada kepalanya, sudah lama Eliza mengidap penyakit ini. Penyakit yang ditakuti banyak orang, yaitu kanker otak, penyakitnya masih stadium awal, Ia hanya mengonsumsi beberapa obat dari dokter dan menjalani beberapa kali kemoterapi.
Satu minggu sudah berlalu, hari ini, Prima bersiap-siap untuk pergi ke Medan, seluruh barang-barang telah berada di dalam mobil, untuk hari bersejarahnya besok, Prima sudah mendapat kabar bahwa di Medan memang tengah sibuk menyiapkan segalanya dari minggu lalu. Prima pergi bersama Ryan, sebelum berangkat, mereka pergi ke rumah Pak Hilman untuk berpamitan.
“Oh,,, jadi begitu, ya saya tidak bisa berjanji saya akan hadir, tapi, akan saya usahakan untuk hadir. Semoga sukses ya pernikahannya.”
“Iya, terima kasih Pak. Oh ya, kalau boleh, saya ingin berpamitan dengan Eliza, Pak.”
“Waduh, bukan saya tidak mengizinkan, tapi, dari kemarin setelah ia mengeluh sakit kepala, Eliza tidak mau keluar kamar.”
“Oh,,, begitu ya Pak, mungkin Eliza butuh istirahat, kalau begitu, saya pamit dulu ya Pak, salam buat Eliza.”
“Iya, saya juga, tolong sampaikan salam saya untuk kedua orang tuamu ya.”
“Iya Pak, ya sudah, saya permisi dulu, Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Prima masuk ke dalam mobil Ryan dan melaju menuju bandara, dari jendela kamar, Eliza memperhatikan Prima pergi, air matanya mulai berjatuhan membasahi wajahnya. Ia baru menyadari, bahwa selama ini, kenyamanan yang selalu dirasakannya ketika berada di dekat Prima, adalah perasaan cinta, hatinya serasa tercabik-cabik ketika mendengar pernyataan yang sangat mengejutkan dari bibir Prima, bahwa dia akan menikah. Dia merasa dunia seakan tak adil untuknya, ia harus mengidap penyakit kanker otak selama ini, dan membuat Ayahnya tidak dapat menghabiskan banyak waktu bersamanya melainkan hanya untuk bekerja, agar dapat membiayai pengobatannya, sekarang, pria yang ia cintai malah akan menikah dengan wanita lain.

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, dengan baju serba putih, Prima bersiap-siap melaksanakan akad nikah. Seluruh orang telah bersiap pergi ke rumah mempelai wanita dengan berbagai macam antaran, Prima menyisir rambutnya ke belakang dan mulai memasang peci putih di atas kepalanya. Penampilannya sangat gagah, dan sangat berkarisma, berdiri di depan cermin sambil menarik nafas panjang guna menenangkan dirinya. Tiba-tiba Ia dikejutkan oleh Hafizh, kakak sulungnya.
“Wah!!! Tampan kali adik ku ini,,, sudah seperti Anjasmara.”
“Ah,,, Abang ini bisa saja, memangnya cuma Abang saja yang boleh tampan memakai pakaian nikah? Aku pun boleh juga lah…”
“Hahaha!!! Tak terasa ya, adik kecil ku sudah tumbuh dewasa, sekarang sudah siap untuk menikah.”
Prima hanya tertawa kecil, dan memeluk kakaknya.
“Sudah, ayo cepat, kita berangkat, Melinda pasti sudah menunggumu.” Hafizh melepas pelukan adiknya.
“Iya Bang”
Dengan satu unit mobil putih, Prima beserta rombongan pergi ke rumah Melinda, rasa deg-degan mulai menyelimutinya, sudah tiga bulan mereka menunggu hal ini terjadi, sekarang adalah saatnya. Di sana sudah melengkung sebuah janur kuning, tempat resepsi pun telah dihias dengan sangat cantik, para rombongan mengiringi langkah Prima menuju rumah tersebut. Di dalam sana, sudah ada seorang penghulu duduk di depan meja kecil yang di atasnya terletak beberapa kertas  beserta map nya. Prima duduk di depan sang penghulu dan bersiap melangsungkan akad nikah, menarik nafas terlebih dahulu, dan bersiap melafaskan kalimat yang harus ia ucapkan.
“Ananda Prima, saya nikahkan engkau dengan Melinda Fagista binti Ahmad, dengan mas kawin seperangkat alat sholat, dibayar tunai!” suara penghulu menggema di setiap penjuru ruangan.
“Saya terima nikahnya Melinda Fagista binti Ahmad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayat tunai!” balas Prima dengan sangat lantang tanpa sedikitpun kesalahan.
Terdengar suara dua pria di luar sana, air mata Melinda satu per satu mulai menuruni pipinya yang halus, suasana penuh haru kala itu, benar-benar mengundang air mata untuk berjatuhan. Ketika waktunya mempertemukan mempelai wanita dan mempelai pria, Melinda mengusap air matanya dan menarik nafas panjang, dirinya mulai melangkah keluar dari ruangan yang terpisah dari ruangan berlangsungnya akad nikah. Di luar sudah banyak orang-orang yang menantinya, Melinda menjadi pusat perhatian selama beberapa menit, baju dan kerudung putih yang dikenakannya benar-benar cantik dan anggun. Melinda mulai duduk di samping Prima dan mencium tangannya, serta ia pun diberi ciuman di kening dari Prima. Dua insan yang telah berpisah selama tiga bulan, menjalani masa-masa sulit masing-masing, tidak menggoyahkan rasa cinta mereka, hingga berada di atas pelaminan.
Malam telah larut, setelah menggelar resepsi sehari semalam, memang telah menguras tenaga mereka berdua, Prima melepas satu per satu kancing bajunya dan menggantinya dengan piyama. Terlihat Melinda yang tengah duduk kelelahan di atas ranjang, masih dengan pakaian pernikahan yang sangat indah. Prima melangkah mendekati Melinda yang bukan lagi menyandang status calon istri, tetapi, wanita ini telah menjadi istrinya yang sah oleh Negara dan agama.
“Melinda, sekarang aku sudah menjadi suamimu. Maka, kalau aku boleh meminta, aku ingin melihat rambutmu.”
Melinda tersenyum dan mulai melepaskan berbagai perhiasan yang ada di kepalanya, dan dengan perlahan, Melinda membuka khimarnya yang panjang dan membiarkan rambutnya tergerai indah. Prima terkesima melihat geraian rambut istrinya yang sangat indah, tangannya mulai meraba rambut Melinda, rasa halus memanjakan kulit tangannya.
“Subhanallah,,, indah sekali rambutmu sayang…”
Melinda meraih tangan Prima dan meletakkan tangan itu di pipinya. Prima pun mengelus-elus wajah Melinda yang sangat halus dan cantik, satu kecupan di kening dari Prima.
“Prima, kamu mau berjanji dengan ku?” Melinda menatap Prima.
“Iya, apapun itu…”
“Kamu berjanji tidak akan mengecewakanku?”
“Iya, aku berjanji, di kala kamu sedang bahagia maupun sakit, aku tidak akan pernah meninggalkanmu dan aku tidak akan mengecewakanmu sayang…”
“Terima kasih Prima, aku tahu, kamu adalah lelaki yang tidak pernah ingkar pada janji.”
“Melinda, nanti, ikutlah bersama ku ke Jakarta, kita tinggal di sana, aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku begitu saja.”
“Iya, karena kamu sudah menjadi suamiku, maka, aku berkewajiban melayanimu dan menurutimu.”
Sudah dua hari Prima di Medan, tinggal bersama sang istri tercinta, namun, hari ini, mereka harus pergi ke Jakarta. Mereka telah bersiap pergi dengan barang-barang yang sudah ada di dalam mobil Ryan, Prima dan Melinda berpamitan pada seluruh anggota keluarganya.
“Ayah,,, Melinda pergi dulu ya, kami mohon do’a restu dari Ayah dan Ibu.” Melinda mencium tangan kedua orang tuanya.
“Tidak kamu minta pun, kami sudah pasti mendo’akan kalian.” Sahut Ayahnya.
“Yah, kami pergi dulu ya, maaf atas kesalahan saya selama di sini.” Prima menyalami mertuanya.
“Kamu tidak pernah bersalah Prima, terima kasih ya, sudah menepati janjimu, dan Ayah minta, tolong jaga Melinda ya.”
“Iya Yah, insyaAllah…”
Setelah berpamitan, merekapun pergi ke bandara, dan berangkat dengan pesawat. Kemesraan mereka semakin bertambah, setelah menjadi kekasih halal, mereka tidak perlu khawatir soal adanya fitnah.

Sejak ditinggal Prima ke Medan, kondisi Eliza semakin memburuk, dirinya lebih sering mengeluh sakit di kepala, dan sering pingsan sehabis menjalani aktivitasnya di kampus. Ia pun dirawat di rumah sakit, karena kanker otak yang dideritanya. Pak Hilman, berusaha melakukan apapun demi putrinya semata wayang, karena hanya Eliza lah yang Ia punya.
Di kantor, Prima kembali bekerja seperti biasa, setelah menikah, Prima lebih bersemangat bekerja, hari-harinya kini tidak akan mungkin terasa sepi, walaupun hanya tinggal di rumah kontrakkan, tapi keharmonisan yang mereka bina di dalam rumah itu, membuat rumah itu seakan-akan seperti rumah termewah di dunia. Deringan telepon dari Pak Hilman, menghentikan pekerjaannya sejenak, setelah menerima telepon dari Pak Hilman, Prima bersegera pergi ke ruangan Pak Hilman.
“Maaf Pak, ada laporan yang harus saya perbaiki lagi?” Prima bertanya pada Pak Hilman.
“E,,, tidak, kemari lah, duduk dulu, saya mau bicara.”
“Baiklah.” Prima duduk di hadapan Pak Hilman.
“Begini, Prima, kamu mengenal putri  saya kan?”
“Iya Pak.”
“Sejak, dia mengenalmu, dia tidak pernah sekalipun terlihat sedih seperti sebelumnya, dia terlihat sangat bersemangat di tiap harinya, tapi…”
“Tapi apa Pak?”
“Semenjak dia mengetahui bahwa dirimu akan menikah dengan wanita lain, kondisinya semakin memburuk, dia sering mengeluh sakit kepala bahkan sering pingsan, dan saya rasa, Eliza menyukaimu.”
“Tapi Pak…”
“Iya, saya tahu, kamu sudah punya istri, tapi, saya mohon, saya ingin kamu nikahi juga anak saya.”
Prima tidak berkata apapun, ia sangat mengenal Eliza, wanita manis yang sangat baik terhadapnya, kini jatuh sakit karena dirinya.
“Saya tidak memaksamu untuk menjawab sekarang, ada baiknya, jika kamu meminta izin dengan istrimu dulu.”
“Iya Pak, maaf, saya harus permisi dulu.”
Sore hari, setelah jam kerja usai, Prima kembali ke rumahnya, di sana sudah dihidangkan makanan kesukaannya, dan kedatangannya disambut baik dengan Melinda. Melinda membantu melepaskan dasinya dan membawakan koper kerjanya, setelah membersihkan diri dan sholat maghrib, Prima pergi ke meja makan, untuk makan malam bersama istrinya. Kata-kata dari Pak Hilman, masih belum hilang dari benaknya, dia sangat bingung bagaimana akan memberitahu pada Melinda, sedangkan usia pernikahan mereka baru empat hari. Usai makan, Prima pergi ke ruang tengah dan menonton acara di TV, Melinda menghampirinya dan memijat-mijat lengannya yang saat itu memang terasa sangat pegal.
“Melinda, aku boleh bicara?”
“Tentu saja boleh, ada apa?”
“Jika aku menikah lagi, apakah kamu mengizinkanku?”
Tangan Melinda tiba-tiba berhenti memijat, dan matanya menatap tajam ke arah Prima.
“Melinda, aku bisa jelaskan, Eliza temanku, dia saat ini sedang sakit parah, dan aku tidak pernah tahu bahwa selama ini dia menyukaiku. Sejak dia mengetahui bahwa diriku akan menikah denganmu, kondisinya semakin memburuk.” Tangan Prima menggenggam erat tangan Melinda.
“Tapi Prima… aku tidak mungkin melepaskanmu begitu saja, usia pernikahan kita baru empat hari, dan penantian ku selama tiga bulan, masa-masa sulit selama ini, hanya kuperjuangkan demi dirimu, tapi sekarang, kau malah ingin mendua?”
“Melinda, aku tidak pernah berniat untuk mendua, tapi aku harus melakukan ini demi seseorang.”
“Lalu, bagaimana denganku!?” bentak Melinda.
“Dia sakit Mel! Kanker otak adalah penyakit yang deritanya saat ini! Dia butuh seseorang yang ia cintai untuk membuat ia bertahan melawan penyakitnya!” Prima pun membalas bentakan itu, dengan nada lebih tinggi.
Suara ketukan pintu, menghentikan pertengkaran mereka, Prima beranjak dan membukakan pintu. Ternyata itu adalah Pak Hilman, tiba-tiba dia menyembah kepada Prima dan menangis.
“Prima, saya mohon…. Eliza semakin memburuk, dia selalu menyebut-nyebut namamu.”
“Astaghfirullah!!! Pak, bangunlah, jangan lakukan hal ini.”
“Saya tidak peduli, saya hanya ingin anak saya sembuh. Tolong nikahi dia Prima.” Pak Hilman semakin tersedu-sedu.
Melinda mendekat kepada Prima dan Pak Hilman, Prima menoleh padanya dan menandakan bahwa itu adalah bukti yang sangat kuat, bahwa Prima hanya ingin menyelamatkan hidup seseorang dari penyakit ganas.
“Pak, tolong jangan lakukan ini, saya istri Prima, Prima sudah menjelaskan banyak hal tentang putri bapak, dan saya mengizinkan Prima untuk menikahi Eliza, putri bapak.”
Prima terkesiap mendengar pernyataan dari Melinda, padahal baru saja mereka bertengkar soal permasalahan ini, tapi sekarang ia membuat keputusan untuk mengizinkan Prima menikah lagi.
“Terima kasih nak, saya berterima kasih sekali.” Pak Hilman bangkit dan menyatukan kedua telapak tangannya berterima kasih kepada dua insane yang rela membantu putrinya.
“Iya Pak, saya akan segera menikahi Eliza.” Prima membalas itu dengan senyuman terpaksa.

Setelah keluar dari rumah sakit, Eliza dan Prima melaksanakan akad nikah, dan resepsi di hari yang sama. Eliza terlihat sangat senang dapat menjadi istri pria yang ia cintai. Usai resepsi, Prima berniat pulang.
“Melinda, malam ini aku akan pulang ke rumah bersama Eliza.”
“Tidak Prima! Tidur lah dulu di rumah Pak Hilman, dan habiskan malam pertama kalian bersama di sini, aku akan pulang dan menunggumu di rumah hingga esok.”
“Tapi,,,”
Tangan lembut Melinda mengelus-elus pipi Prima, dan senyum manis pun ditebarkannya untuk sang suami tercinta. Walaupun dalam hatinya, rasa sakit telah menusuk bagaikan pedang samurai tertajam di dunia.
Selama beberapa hari, Prima menjalani hidupnya bersama dua istri yang sangat ia cintai, dan Prima selalu menemani Eliza untuk menjalani pengobatan kemoterapi. Melinda memilih untuk menjadi guru matematika di sebuah sekolah dasar, sembari menghabiskan waktu kosongnya, sebenarnya Prima sudah melarang dirinya untuk bekerja, tapi Melinda tetap ingin bekerja. Malam ini, Prima berniat ingin tidur bersama Melinda.
“Melinda, hari ini, aku ingin tidur denganmu…?”
“Iya, silahkan…” jawab Melinda.
“Prima, hari ini, kamu bisa menemaniku?” Eliza tiba-tiba keluar dari kamar, dan memohon kepada Prima.
“Tapi,,,,”
“Sudah lah,,, iya Eliza, malam ini Prima akan menemanimu.” Potong Melinda.
Prima hanya memperhatikan Melinda, bagaimana bisa selama ini Melinda lebih sering mengalah, padahal sebelumnya, dia bersih keras untuk melarang Prima untuk menikah lagi.
“Melinda, tapi, bukankah…”
“Prima, dia sedang sakit, jagalah dia dan aku masih sehat, jangan khawatirkan aku.”
Siang hari, setelah mengajar, Melinda pergi ke sebuah taman kota, di sana dia menghabiskan waktunya bersama buku-buku pelajaran, dan menenangkan urat-uratnya yang tegang setelah seharian bekerja. Melinda menuliskan beberapa soal beserta jawabannya, tiba-tiba, noda merah jatuh di atas bukunya, semakin lama, noda itu semakin banyak, noda itu berasal dari hidung Melinda, darah segar tengah mengalir di sana. Tangannya mengusap sedikit demi sedikit darah itu menggunakan sebuah tisu, dengan waktu beberapa menit, sudah banyak tisu yang dilumuri darah dari hidung Melinda, kepalanya mulai terasa sangat sakit, rasa sakitnya sama seperti gejala orang-orang yang mengidap penyakit kanker otak. Ini bukan pertama kalinya Melinda merasakan gejala ini, sejak ia keluar dari rumah sakit, dia sering mengeluh sakit kepala dan hidungnya selalu mengeluarkan darah, dan ketika ia dan Prima pindah ke Jakarta, Melinda memeriksakan keadaannya tanpa sepengetahuan Prima, dan dokter memvonis Melinda mengidap penyakit kanker Nesofaring, kanker yang terjadi pada bagian hidung.
Hal ini, masih disembunyikan Melinda, karena ia tak mau Prima akan terbawa beban pikiran, cukuplah Eliza yang Prima rawat saat ini, sekedar dapat melayani dan menemani hidup Prima saja sudah lebih dari cukup untuk kebahagiannya. Tangan Melinda mengambil ponsel dan menelpon Prima, ia rasa lebih baik jika hari ini Ia pulang bersama Prima.
“Halo sayang..” suara Prima di balik telepon.
“Prima, bisakah kamu menjemputku sekarang? Di taman kota.”
“Aduh, maaf sayang, kalau sekarang, aku tidak bisa, aku sedang menemani Eliza menjalani kemoterapi, kalau kamu mau tiga puluh menit lagi, aku akan menjemput kamu.”
“Ya sudah, tidak usah aku pulang pakai taksi saja, tidak apa-apa kok.”
“Maaf ya…”
Kepala Melinda semakin terasa sangat sakit, dia berusaha pergi mencari taksi untuk pulang, dalam sepuluh menit taksi belum juga ada melintas, tanpa diduga Ryan melintas dan menyapanya. Ryan terlihat bingung melihat Melinda mengeluarkan ekspresi kesakitan.
“Melinda, kamu baik-baik saja?”
“Kebetulan ada kamu, Ryan, bisakah kamu mengantarku pulang?”
“Oh, tentu saja, silahkan.”
“Terima kasih.”
Dalam perjalanan, Melinda tidak henti-hentinya memegangi hidungnya yang terus-terusan dialiri darah, dan dia selalu terbatuk-batuk. Sekitar lima belas menit, mereka akhirnya sampai di depan rumah, Melinda tiba-tiba mengambang dan batuknya semakin menjadi.
“Melinda, kamu baik-baik saja?”
Melinda tidak dapat menjawab, hidungnya semakin banyak mengeluarkan darah.
“Melinda apa yang terjadi? Hidungmu? Ayo mari kita masuk dulu.”
Setelah masuk, dan Melinda duduk di kursi, kepalanya semakin sakit, darah terus mengalir, matanya berkunang-kunang.
“Ryan, tolong ambilkan obatku, di bawah lemari kayu di sana.”
“Iya, tunggu dulu,,, ini dia…”
“Terima kasih…”
“Mel, apa yang terjadi? Kamu sakit apa?”
“Ryan, aku mohon, jangan beritahu ini kepada Prima.”
“Tapi, bagaimana? Dia itu suamimu Mel, sekarang dia ke mana?”
“Dia sedang menemani Eliza berobat, aku mohon, apapun alasannya, jangan beritahu dia.”
“Baiklah, tapi, sekarang jelaskan padaku, sejak kapan kamu mengidap penyakit ini? Kamu sakit apa?”
“Sejak aku keluar dari rumah sakit dulu, karena hampir setiap hari aku menghisap kepulan asap yang dihasilakan dari pabrik industri, di dekat tempatku bekerja. Kata dokter, ini namanya kanker Nesofaring.”
“Apa! Ya ampun, seharusnya Prima mengetahui ini Mel, kamu tidak bisa terus-terusan menyembunyikan ini.”
“Iya, aku tahu, dia akan tahu, tapi tidak untuk saat ini.”
Beberapa menit, setelah Melinda selesai membersihkan lumuran darah dari wajahnya, Prima datang bersama Eliza. Tampak Eliza tengah memeluk Prima, yang dibalas peluk serta ciuman di keningnya dari Prima, mereka terlihat sangat mesra.
“Ryan… kamu mencariku ya?” Prima memanggil.
“E,, Tidak, gue tadi habis nganter Melinda, gue nggak sengaja liat dia di taman, jadi gue pulang bareng dia.”
“Oh,,, gitu, oh ya maaf ya sayang, tadi aku tidak bisa menjemput kamu.”
“Iya, tidak apa-apa.” Sahut Melinda dengan senyumnya.
“Ya udah gue pulang dulu.” Ryan memotong.
“Iya, terima kasih ya Ryan.”
“Prima, aku masuk ke kamar dulu ya.” Eliza menambah sambil mencium pipi Prima.
“Iya,” jawab Prima dengan senyum berkarismanya.
Prima mendekat kepada Melinda dan mencium pipinya beberapa kali, Melinda hanya tertawa dan berusaha mengelak untuk ciuman selanjutnya.
“Hentikan Prima…”
“Hei,,, Melinda ku tersayang, aku sudah lama tidak menciummu, hari ini aku tidur denganmu ya.”
Melinda hanya mengangguk, mereka mengahabiskan malam ini bersama. Kemesraan mereka semakin terasa ketika tidak ada satupun yang mengganggu mereka.

Sudah satu bulan, mereka menjalani hidup bersama, hidup bertiga dalam satu rumah benar-benar sangat menyenangkan, terlebih lagi Eliza yang sudah divonis sembuh dari sakit yang dideritanya selama ini. Kebahagian mereka bertambah, terlebih lagi bagi Prima, keakuran kedua istrinya benar-benar membuatnya senang. Hari demi hari mereka lalui bersama.
Pukul menunjukkan 22.00 WIB, Melinda mengeluh sakit yang luar biasa di kepalanya, dia terbangun dari tidurnya, dan berusaha menahan tangisnya, karena malam ini Prima tidur bersamanya. Darah segar mulai mengalir dari hidungnya, kepalanya semakin sakit, tenggorokannya tiba-tiba gatal, dan mengakibatkan dirinya harus terbatuk-batuk, Melinda berusaha mencari obatnya di dalam laci. Keributan yang dihasilkan Melinda membuat Prima terbangun dari tidurnya dan dia heran melihat Melinda tergesa-gesa dalam mencari sesuatu.
“Melinda, kamu sedang mencari apa? Obat batuk ada di luar sayang.” Prima mencoba membantunya.
“Oh, iya aku lupa, aku akan keluar.” Melinda berusaha menyembunyikan wajahnya yang sudah dilumuri darah.
“Melinda, kamu baik-baik saja?” Prima menarik tangannya.
“Iya, aku baik-baik saja.” Melinda tidak ingin menolehkan kepalanya.
“Hei, kamu kenapa, lihat aku…”
“Aku tidak apa-apa Prima…”
“Coba aku lihat dulu,,,” Prima menarik paksa tubuh Melinda, sehingga membuat Melinda berhadapan dengannya.
“Astaghfirullah! Melinda, apa yang terjadi?” tambahnya.
“Aku tidak apa-apa…”
“Bagaimana kau bisa bilang ini tidak apa-apa!? Sejak kapan kau sakit?”
“Aku tidak sakit Prima…”
“Jangan bohong padaku! Sejak kapan!?” bentak Prima.
“Sejak aku keluar dari rumah sakit di Medan!.”
“Ayo! Sekarang kita ke rumah sakit!”
“Tidak, aku tidak apa-apa…”
“Jangan membantah! Aku tidak mau kau kenapa-napa, pakai kerudungmu cepat!”
“Ada apa Prima.” Eliza terbangun dari tidurnya.
“Ayo, Eliza, kamu juga ikut, kita ke rumah sakit sekarang!”
“Astaghfirullah! Melinda kenapa?” Eliza tersentak melihat kondisi Melinda.
“Aku baik-baik saja Prima…” Melinda memaksa.
“Melinda! Dengar ya! Kalau kamu sampai kenapa-napa, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri! Ngerti kamu! Sekarang kita harus ke rumah sakit!”
Dalam perjalanan, kepala Melinda semakin sakit, matanya terlihat kabur dan seluruh pandangan telah gelap, Melinda tak sadarkan diri. Setibanya mereka di rumah sakit, Melinda langsung mendapatkan perawatan, dia masuk ke ruang ICU dan harus mendapatkan perawatan intensif. Dari luar, Prima hanya melihatnya terbaring lemas dengan beberapa alat medis. Selama sekitar dua puluh menit, para dokter menangani Melinda.
“Dok, bagaimana keadaan istri saya?”
“Pak Prima, boleh saya bicara.”
“Iya boleh dok, ada apa?”
“Istri Bapak mengidap penyakit kanker Nesofaring, dia sudah benar-benar kehilangan banyak darah, sebenarnya penyakit ini masih stadium awal, tapi ini benar-benar sudah parah, dan kami tidak bisa memastikan, bahwa beliau masih bisa bertahan.”
“Maksud dokter!? Dokter jangan macam-macam ya! Dia itu masih bisa sembuh dok! Dokter jangan sembarangan!” Prima terbawa emosi ketika mendengar bahwa hanya ada kemungkinan kecil Melinda akan sembuh.
“Prima sudah!” cegah Eliza.
“Kami sudah berusaha, kita hanya harus terus berdo’a agar keajaiban dapat membantu istri bapak untuk sembuh.”
“Astaghfirullah Melinda…” Prima mulai mengeluarkan air matanya.
Prima diizinkan untuk masuk ke dalam ruang ICU, di dalam sana, suara monitor pendeteksi detak jantung berdenging di telinga Prima. Terbaring lemas Melinda di atas ranjang, dengan berbagai alat bantu pernafasan yang terpasang di tubuhnya.
“Melinda, kenapa kamu tidak bilang bahwa kamu punya penyakit ini sejak lama? Kenapa kamu baru bilang sekarang? Selama tiga bulan kita berjuang mempertahankan hubungan jarak jauh, dan di masa-masa sulitku, kamu selalu mendukungku, ketika aku hadir dan menepati janjiku, saat itu lah aku melihat kebahagian yang sebenarnya. Tapi, ketika bahtera rumah tangga kita yang masih berusia sangat muda, harus dihadapkan dengan satu masalah, kamu selalu mengalah, dan mementingkan kebahagianku dibandingkan kebahagiaan dirimu. Kamu adalah jiwaku Melinda, aku mohon jangan tinggalkan aku, bukankah aku pernah berjanji di malam pertama setelah resepsi pernikahan kita telah usai, aku akan tetap menjagamu dan aku tidak akan pernah mengecewakanmu, tapi tanpa aku sadari, bukan aku yang melaksanakan janji itu, tapi kamu lah yang melaksanakannya, kamu berusaha tidak mengecewakanku dalam hal apapun, kamu berusaha menjagaku, sedangakan kau tidak memikirkan bagaimana keadaanmu sendiri. Melinda jangan tinggalkan aku, aku mohon.” Air mata telah membasahi wajah Prima, dia berharap Melinda bisa segera sembuh.
“Prima…”
“Melinda, kamu sadar, Alhamdulillah. Dokter! Dokter!” teriak Prima.
“Prima, jangan panggil dokter, aku cuma ingin minta maaf jika selama ini, aku belum bisa menjadi istri yang baik untukmu.”
“Kamu sudah menjadi istri yang sangat baik bagiku sayang… Melinda,, Melinda! Dokter! Dokter!” Prima panik ketika melihat Melinda menutup matanya lagi.
Dokter memeriksa keadaan Melinda, namun, tidak terdeteksi detak jantung dan pernapasannya. Sejak itu lah, Melinda tidak lagi membuka matanya untuk selama-lamanya. Tangis Prima pecah seketika, ketika melihat Melinda sudah terbujur kaku, Eliza pun tak sanggup membendung air matanya, melihat kesedihan di hadapannya.
Setelah pemakaman, Prima duduk di pantai bersama Eliza, melepas kesedihan yang baru saja terjadi.
“Melinda, aku sangat bersyukur pernah punya istri seperti dirimu, kamu adalah bidadari dunia yang Allah utus untuk menemani setengah dari waktuku. Walaupun hanya sebentar waktu kita untuk bersama, itu tidak pernah ku sesali, karena kau mengajariku untuk tetap tabah dan sabar dalam menghadapi segalanya. Aku mencintaimu Melinda. ” Prima membatin dengan mata berlinang.
TAMAT.




Takdir Menjerit Padaku ... Jiwaku masih terasa tak di sini, rasanya seperti ia terhuyung kesana kemari oleh angin sore. Aku merasa ke...

Baca Ini Dulu Biar sah!