DIA
YANG BERTAHAN, DIA YANG PERGI
Sudah tiga bulan sejak kepergian
seorang pria penambat hati merantau ke Ibu Kota, kepergian pria itu bukan tanpa
tujuan, karena keterbatasan ekonomi dalam keluarganya, dia terpaksa harus
meninggalkan Kota kelahirannya menuju Kota yang penuh dengan aktivitas yang
sangat padat. Jakarta adalah tempat yang Ia tuju untuk mengadu nasib,
meninggalkan sanak keluarga dan seorang wanita yang sangat setia di Kota Medan,
wanita yang sudah dijanjikan olehnya akan dinikahi segera. Pagi ini, Melinda
sedang duduk di teras rumahnya sambil membaca beberapa buku Matematika, bekerja
sebagai guru bimbel, memang dituntut untuk tidak asal-asalan dalam mengajar,
maka dari itu, dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan beberapa buku.
Cahaya keemasan yang
menyorotinya dari atas sana, sangat menghangatkan tubuhnya, lembaran demi
lembaran dibuka olehnya, dengan kerudung yang selalu tertiup angin, Melinda
terlihat sangat anggun. Sebuah benda yang jatuh dari selipan buku membuyarkan
konsentrasinya seketika, tangan halus nan lembut meraih benda tersebut dan
terpampang wajah pria yang Ia tunggu hingga hari ini, pria yang sudah berjanji
akan menikahinya setelah pulang dari rantauan. Tanpa disengaja, butiran bening
jatuh menuruni pipinya, setelah tiga bulan berpisah, rasa rindu sudah pasti tak
dapat dielakkan, hanya dengan telepon seluler lah mereka bisa berbagi kabar.
Berbekal dengan pengetahuan
yang luas, pria muda ini bisa menjadi seorang karyawan sebuah perusahaan
elektronik, gaji per bulan yang diterimanya, sebagian selalu Ia kirim untuk
sanak keluarganya di Kota Medan. Prima Pratama nama lengkapnya, bertubuh tegap
dan berkulit sawo matang serta memiliki intelektual yang cukup tinggi, memang
sangat memikat banyak wanita, namun kesetiaannya terhadap seorang wanita di
seberang sana tidak menggoyahkan perasaannya sedikit pun. Prima belum bisa
pulang ke Medan dikarenakan belum dapat cuti kerja serta pekerjaannya yang
memang masih menumpuk, membuat beberapa laporan untuk pemasokkan barang
elektronik setiap bulannya tidaklah mudah.
Waktu sudah menunjukkan
pukul satu siang, setelah melaksanakan sholat zuhur di masjid terdekat, Prima
pergi ke sebuah rumah makan langganannya, duduk di kursi tanpa harus sibuk
memesan makanan, dia cukup menjentikkan jarinya saja, karena si pemilik rumah
makan itu sudah tahu apa yang akan dipesan oleh Prima. Menghela nafas lelah,
Prima memperhatikan seluruh kegiatan serta orang-orang di sekitarnya, teringat
akan seseorang, tangannya merogoh saku celananya dan mengambil sebuah telepon
seluler, jari-jemarinya menari-nari di atas keypad
yang menuliskan beberapa kalimat rindu, dan dipilihnya kata send untuk mengirim pesan singkat
tersebut. Tak menunggu lama, balasan segera diterimanya, selama beberapa menit
mereka saling berbagi cerita di atas sana. Satu porsi ikan Nila bakar dan sayur
tumis kangkung serta sepiring nasi putih telah datang menghampiri Prima yang
tengah asyik mengirim pesan dengan Melinda.
“Hei,,, ngapain Loe
senyum-senyum sendiri?” sapa Ryan, si pemillik rumah makan tersebut.
“Oh, hei, nggak, oh ya kamu
yang ngantar pesananku? Pelayannya kemana?”
“Mereka lagi pada sibuk
ngantar pesanan yang lain, lagi pula, ini kan special buat teman gue yang cakep
ini” Ryan mencoba merayu.
“Ah,,, kamu ini bisa saja,
ya sudah aku makan dulu ya.” Tangan Prima menyendokkan sesendok nasi ke dalam
mulutnya.
“Oh,,, ya silahkan, oh ya
gimana dengan pacar loe itu? Loe belum mau pulang kampung?”
“Em,,, dia bukan pacarku,
dia itu calon istriku, untuk saat ini aku belum bisa pulang, kerjaan masih banyak
di kantor, dan aku juga belum dapat cuti.” Prima menjawab pertanyaan dengan
mulut penuh dengan makanan.
“Oh,,, gitu, ya udah, gue
balik kerja lagi ya, makan yang kenyang, kalau mau nambah, tinggal bilang aja
ya!”
Jari jempol Prima terangkat
ke atas, dengan senyum lebar terpampang di wajahnya. Makan dengan nikmat
ditemani makanan kesukaannya dan dihiasi dengan berbagai aktivitas di kota
Jakarta yang terlihat dari kaca transparan yang besar di rumah makan itu. Ketika
sedang menikmati makanannya, tiba-tiba telepon genggam Prima berdering, dan
terlihat nama sender nya adalah
Melinda, pesan singkat yang mengabarkan bahwa Melinda harus pergi mengajar,
serta gambar emoticon senyum yang disertakan dalam pesan tersebut, sambil
mengunyah makanannya, jari Prima mengetik beberapa kata untuk membalas pesan
Melinda.
Setelah makan siang, Prima
kembali ke kantornya dengan sepeda motor, Prima menyusuri jalan raya menuju
kantor, jarak rumah makan tidaklah jauh dari kantornya, jadi, dia tidak perlu
khawatir akan terjebak macet, selama beberapa menit di jalan, Prima akhirnya
sampai di depan kantor dan memarkirkan motornya. Prima mulai melangkahkan
kakinya ke dalam kantor dan duduk di atas kursi kerjanya, jari-jemarinya mulai
menari-nari di atas keyboard dan
beberapa berkas terlihat tengah bertumpuk di hadapannya. Deringan telepon
menghentikan pekerjaannya, ternyata itu dari Manager nya yang meminta Prima untuk pergi ke ruangannya sekarang
juga.
Prima mulai berjalan
menyusuri lorong kantor menuju ruangan Pak Hilman, Manager nya, Prima jalan dengan terburu-buru, tiba-tiba di tikungan
kantor, Prima menabrak seorang wanita yang tengah berjalan santai, karena
insiden itu, wanita itu jatuh tersungkur. Prima yang menyadari bahwa dirinya
telah menabrak wanita itu, segera membantunya bangun dan membawanya duduk di
kursi panjang di lorong kantor.
“Aduh, maaf sekali mbak,
saya nggak bermaksud menabrak anda.” Ujar Prima dengan ekspresi khawatir.
“Nggak apa-apa kok, kamu
nggak salah.” Jawab wanita tersebut dengan senyumnya yang sangat indah.
“Ya udah, saya tinggal dulu
ya mbak, saya mau ke sana dulu.” Prima berjalan meninggalkan wanita itu dengan
terburu-buru.
Malam ini, angin berhembus
sangat kencang di luar sana, Melinda duduk di ruang tamunya sambil memandang ke
luar jendela, perlahan butiran air jatuh dari langit yang gelap dan perlahan
membasahi bumi, rasa rindu terhadap Prima masih menyelimutinya, sudah beberapa
pesan dikirimnya, namun, belum ada yang terbalaskan. Melinda tahu, bahwa saat ini
Prima pasti sedang sibuk bekerja, Melinda harus membiasakan dirinya, semenjak
Prima bekerja sebagai karyawan, mulai sejak itulah, Prima sudah jarang membalas
pesan darinya, kecuali ketika istirahat makan siang. Melinda berharap, Prima
segera kembali ke Medan dan menikahinya.
“Melinda.” Suara yang tiba-tiba
membuyarkan lamunannya.
“Iya Yah.”
“Ayah mau bertanya.” Pak
Ahmad mendekat, dan duduk di salah satu sofa menghadap ke sofa tempat di mana
Melinda duduk.
“Tanya apa Yah?”
“Kapan Prima pulang?”
“Melinda belum tahu Yah,
yang jelas, jika sudah dapat cuti, Prima pasti pulang”
“Begini, kamu itu sudah
cukup umur untuk menikah, tapi jika dia belum pulang juga, carilah yang lain.”
“Maksud Ayah?” Melinda
tersentak.
“Carilah lelaki yang lain,
yang memang sudah pasti bisa menikahimu segera.”
“Ayah,,, Melinda tidak akan
pernah berpaling dari Prima, dia sudah berjanji Yah…”
“Bagaimana kamu tahu, bahwa
dia akan menepatinya? Dan bagaimana jika sudah ada seseorang yang menggantikan
posisimu?”
“Tidak mungkin Yah, Prima
selalu menepati janjinya.”
“Baiklah, yang jelas, Ayah
ingin, kamu segera menikah nak.”
Melinda hanya terdiam, dan
membiarkan Ayahnya berlalu meninggalkannya, dirinya sangat paham dengan
karakter Prima, dan Melinda sangat percaya Prima akan segera menikahinya, tidak
semudah itu orang-orang akan meruntuhkan benteng kesetiaannya terhadap Prima.
Ini bukan pertama kalinya sang Ayah membujuknya untuk mencari pengganti, memang
banyak sekali lelaki di kompleknya yang berniat untuk menikahi Melinda, namun,
hanya Prima lah pilihannya, dan Prima tidak ingin menjadikan Melinda sebagai
kekasihnya, melainkan langsung menjadi istrinya, karena keterbatasan ekonomi
dalam keluarga, Prima memilih untuk mencari pekerjaan yang berpenghasilan besar
untuk keluarganya dan rencana pernikahannya.
Pagi ini, seperti biasa,
Prima harus bergelut dengan beberapa berkas yang harus dikerjakannya, pesan
yang dikirim oleh Melinda belum sempat ia balas, karena keterbatasan waktu.
Berlalu-lalang di lorong kantor untuk meminta tanda tangan, serta mengambil
beberapa laporan yang harus diperbaiki, pagi yang sangat menyibukkan ini
merupakan hal yang sangat biasa di Ibu Kota, kesibukan di dalam dan di luar
kantor sudah menjadi makanan sehari-hari.
“Laporan yang ini, tolong
diperbaiki ya, saya minta segera.” Ujar Pak Hilman.
“Iya Pak, akan segera saya
perbaiki, saya permisi dulu Pak.” Jawab Prima.
Ketika keluar ruangan, Prima
berpapasan dengan seorang wanita yang sudah tidak asing di matanya, mereka
saling bertatapan dalam beberapa detik, wanita itu adalah wanita yang pernah
ditabrak Prima sewaktu berjalan di tikungan kantor. Dan sepertinya wanita itu
bertujuan untuk menemui Pak Hilman.
“Eh,,, mbak, ketemu lagi
kita, mau cari Pak Hilman ya?” Sapa Prima
“Hmm,,, Iya.”
“Memang ada urusan apa ya
mbak?”
“Saya anaknya Pak Hilman.”
“Oh,,, maaf mbak, silahkan
masuk.”
“Iya, terima kasih.”
Setelah perbincangan ringan dengan
putri Pak Hilman, Prima kembali ke meja kerjanya dan mulai mengetik beberapa
laporan yang telah menunggunya. Di sela-sela kesibukkannya mengetik, mata Prima
melirik ke telepon selulernya, yang tertera sudah lima pesan yang masuk dan
sepuluh panggilan tak terjawab, untuk beberapa menit Prima membuka satu per
satu pesan yang ada dan melihat nama penelpon yang tidak dijawabnya. Empat pesan
dari Melinda dan panggilan tak terjawab itu dari Hafif, sahabatnya di Kota
Medan, empat pesan hanya berisikan pertanyaan kabar biasa yang dikirim Melinda,
dan satu pesan terakhir dari hafif sedikit berbeda, dan pesan itu membuat Prima
harus benar-benar memperhatikan kalimatnya.
“Prima,
aku cuma ingin memberitahukan kepada mu, bahwa Melinda baru saja masuk ke rumah
sakit, karena sesak nafas, ya, aku jelaskan sobat! Dia itu bekerja sebagai guru
bimbel Matematika di persimpangan Kota, dan kau tahu kan, di sana ada pabrik
industri, setiap hari, Melinda harus melawan kepulan asap yang menyesakkan
pernapasan, nah, karena itu lah dia dirawat saat ini, tapi kau tak perlu
khawatir, dia baik-baik saja. Oh ya, kapan kau kembali? Sebaiknya cepat, karena
aku dengar, Ayah Melinda sudah sangat ingin punya menantu, kau tahu kan,
Melinda itu, wanita yang sangat anggun dan lembut, tentu saja, bukan hanya kau
lelaki yang mencintainya."
Setelah membaca pesan itu,
rasa khawatir seketika menyelimuti dirinya, dia sangat menyesal, karena terlalu
sibuk bekerja, tanpa memikirkan pesan dari calon istrinya itu, sekarang,
Melinda sedang berada di rumah sakit. Seharusnya, di saat sakit, Prima selalu
ada di dekatnya, namun, kali ini, Prima sangat kesal, karena tak dapat menemani
calon istrinya.
Jam istirahat makan siang
sudah tiba, Prima mengemaskan beberapa berkas, dan bersiap sholat zuhur,
setelah sholat ia pergi ke rumah makan langganannya. Berjalan menyusuri kantor menuju
parkiran, masih tidak mungkin dipungkiri, rasa khawatir akan Melinda, masih
melanda hatinya.
“Prima!” Panggil seseorang
dari belakang Prima.
Prima berbalik mencari asal
suara yang memanggilnya.
“Kamu mau makan siang kan?”
Ujar wanita itu.
“Emm,,, Iya mbak..”
“Berhenti lah memanggil
saya, Mbak, cukup panggil Eliza”
“Emm,,, baiklah Eliza, ada
apa?”
“Begini, kamu mau menemaniku
makan siang?”
“Kebetulan saya juga ingin
makan siang, kalau begitu ikut bersama saya saja.”
Mereka melaju ke rumah makan
yang akan dituju, selama dua puluh menit mereka sampai di rumah makan yang
biasa dikunjungi Prima. Mereka memesan dua porsi makanan dan dua gelas minuman
yang berbeda, sambil menunggu pesanan mereka datang, Eliza dan Prima lebih
banyak diam, terutama Prima, selain bingung dengan kata-kata yang harus
diucapkan pada wanita manis di hadapannya, pikirannya juga masih melayang pada
Melinda yang dikabarkan sedang terbaring di rumah sakit, dan perkataan temannya
soal pernikahan.
“Kamu sering ke sini?” Eliza
memulai percakapan.
“Iya,”
“Em,,, tempatnya bagus.”
“Iya.”
“Kamu kenapa Prim?”
“E,,, a… aku? Aku tidak
apa-apa”
“Bohong, dari tatapan matamu
itu sudah terlihat bahwa kamu sedang punya masalah, cerita saja….”
“Aku baik-baik saja Eliza…”
“Baiklah,,, aku tidak memaksa.
Oh ya, nanti pulang kerja, kamu mau menemaniku pergi sebentar?”
“Kemana?”
“Kemana saja…”
“Iya,,, insyaAllah.”
Sudah seharian dirinya
terbaring di atas ranjang rumah sakit, sesak nafas nya belum sepenuhnya hilang,
melihat di sekelilingnya hanya terdapat beberapa peralatan medis dan beberapa
pasien tengah tertidur lelap. Melinda meraih ponselnya yang terletak di atas
meja kecil, dan tidak terlihat balasan pesan dari Prima, rasa khawatir pun
menyelimutinya, dan terputar ulang di memorinya, tentang perkataan sang ayah,
yang bertanya, bagaimana Melinda bisa tahu, bahwa Prima akan menepati janjinya,
dan bagaimana dia tahu, bahwa di sana belum ada wanita yang menggantikan
posisinya?. Air mata Melinda mulai menggenangi kelopak matanya, dan perlahan,
salah satu butiran bening turun dari matanya.
Suara rusuh yang dihasilkan
di koridor rumah sakit, membangunkan Melinda, melihat di sampingnya sang Ibu
tengah menyiapkan sarapan. Perlahan Melinda mengubah posisi tidurnya menjadi
duduk dan bersandar pada bantal, tangannya kembali meraih ponselnya, dan masih
sama dengan hari sebelumnya, belum ada pesan yang masuk dari Prima. Melinda
hanya menghela nafas, menahan rasa sesak di hatinya.
“Ini, udah Ibu siapin
sarapannya.” Ibunya menawarkan.
“Ya Bu,,,”
“Oh ya,,, tadi malam Prima
menelpon,”
“Menelpon? Kenapa Ibu tidak
memberitahu Melinda?”
“Yah, kamu kan lagi tidur,
mana tega Ibu mau membangunkanmu.”
“Lalu, apa yang dia
katakan?”
“Bukan apa-apa,,, dia hanya
menanyakan kabarmu, dan Ibu bilang, kamu baik-baik saja, dan hari ini, kamu
sudah diperbolehkan pulang.”
“Ibu yakin, dia hanya
mengatakan itu?”
“Tidak, ada lagi yang
dikatakannya.”
“Apa?”
“Nah, kalau yang satu ini,
pasti membuatmu senang, karena dia berjanji minggu depan akan datang
menikahimu.”
“Benarkah?” Melinda bersemangat.
“Iya, tentu saja benar, mana
mungkin Ibu berbohong padamu.”
Rasa khawatir yang sempat
mengikatnya, seketika mengendur dan terlepas, Melinda sangat bersemangat
setelah mendengarkan cerita dari ibunya. Siang hari, pukul satu siang, Melinda
sudah dapat pulang ke rumah, rasa senang memang tidak dapat dipungkiri lagi,
sekarang, Melinda sangat percaya, bahwa Prima tidak mungkin mengingkari
janjinya, dan Prima tidak mungkin berpaling darinya begitu saja.
Sudah tinggal tiga hari,
Prima akan menikahi Melinda, seluruh pekerjaannya segera diselesaikan, dan yang
pastinya, cuti pun sudah didapatkannya. Siang ini, seperti biasanya, Prima
memilih untuk pergi ke rumah makan langganannya. Untuk melepas penat setelah
setengah hari berhadapan dengan ratusan berkas, makanan yang dipesannya pun
tidak lain yaitu ikan Nila bakar dan tumis kangkung ditambah dengan segelas es cappuccino.
“Hei,,, tumben Loe
sendirian?” Ryan menyapa.
“Em,,, kamu kerjanya
ngagetin aku terus!”
“Hehe,,, maaf, mana pacar
baru loe? Wah, cepet banget loe dapat pacar baru, cantik dan solehah pula, emang
yang kemarin kenapa?”
“Maksudmu?”
“Ah,,, loe pura-pura nggak
tahu, udah beberapa hari ini, loe ke sini kan selalu ditemani sama cewek baru,
dan gue sempet ngeliat loe berdua lagi jalan-jalan di Mall…”
“Dia bukan pacarku, dia
hanya anak dari manager ku.”
“Hem,,, Loe mau ngeles kan?”
“Aku bersungguh-sungguh”
“Nah, baru juga dibilang,
orangnya udah nongol.” Ryan melirik ke luar jendela, dan terlihat di luar sana,
Eliza tengah berjalan menuju pintu masuk rumah makan.
“Ya udah, gue tinggal dulu
ya.” Tambah Ryan pamit.
Prima hanya tersenyum ketika
melihat Eliza menghampirinya.
“Kamu, sudah dari tadi ya?”
“Iya,”
“Oh ya, kata Ayah, minggu
depan kamu ambil cuti, memangnya mau ke mana?”
“Aku mau pulang kampung, ke
Medan.”
“Oh,,, jauh juga ya,
memangnya ada apa? Orang tuamu sakit?”
“E,,, tidak, aku hanya ingin
menepati janjiku, dan aku akan melaksanakan suatu acara yang sangat sakral bagi
setiap insan.”
“Ah,,, kamu pakai pribahasa
segala, maksudnya apa?”
“Aku akan menikah.”
Seketika wajah Eliza berubah
datar, dan tak satupun kata keluar dari bibirnya.
“Eliza, kamu baik-baik
saja?”
“Em,,, I,, iya tentu saja
aku baik-baik saja.”
Selama beberapa menit,
mereka makan siang, setelah itu, Prima kembali menjalankan aktivitasnya di
kantor. Sedangkan Eliza mengikuti Prima, tiba-tiba Eliza merasakan sakit di
kepalanya, sakit itu, benar-benar terasa seperti seakan-akan kepala itu akan
meledak.
“Eliza, kamu kenapa?” Prima
menahan tubuh Eliza.
“A,,, aku tidak apa-apa…
Ah!!!”
“Kamu jangan bohong, kepala
kamu kenapa?”
“Aku tidak apa-apa!” Bentak
Eliza.
Eliza melepaskan tangannya
dari genggaman Prima, Prima pun hanya bisa terdiam melihatnya berjalan. Ini
bukan pertama kalinya Eliza merasa sakit pada kepalanya, sudah lama Eliza
mengidap penyakit ini. Penyakit yang ditakuti banyak orang, yaitu kanker otak, penyakitnya
masih stadium awal, Ia hanya mengonsumsi beberapa obat dari dokter dan
menjalani beberapa kali kemoterapi.
Satu minggu sudah berlalu,
hari ini, Prima bersiap-siap untuk pergi ke Medan, seluruh barang-barang telah
berada di dalam mobil, untuk hari bersejarahnya besok, Prima sudah mendapat
kabar bahwa di Medan memang tengah sibuk menyiapkan segalanya dari minggu lalu.
Prima pergi bersama Ryan, sebelum berangkat, mereka pergi ke rumah Pak Hilman
untuk berpamitan.
“Oh,,, jadi begitu, ya saya
tidak bisa berjanji saya akan hadir, tapi, akan saya usahakan untuk hadir.
Semoga sukses ya pernikahannya.”
“Iya, terima kasih Pak. Oh
ya, kalau boleh, saya ingin berpamitan dengan Eliza, Pak.”
“Waduh, bukan saya tidak
mengizinkan, tapi, dari kemarin setelah ia mengeluh sakit kepala, Eliza tidak
mau keluar kamar.”
“Oh,,, begitu ya Pak,
mungkin Eliza butuh istirahat, kalau begitu, saya pamit dulu ya Pak, salam buat
Eliza.”
“Iya, saya juga, tolong
sampaikan salam saya untuk kedua orang tuamu ya.”
“Iya Pak, ya sudah, saya
permisi dulu, Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Prima masuk ke dalam mobil
Ryan dan melaju menuju bandara, dari jendela kamar, Eliza memperhatikan Prima
pergi, air matanya mulai berjatuhan membasahi wajahnya. Ia baru menyadari,
bahwa selama ini, kenyamanan yang selalu dirasakannya ketika berada di dekat
Prima, adalah perasaan cinta, hatinya serasa tercabik-cabik ketika mendengar
pernyataan yang sangat mengejutkan dari bibir Prima, bahwa dia akan menikah. Dia
merasa dunia seakan tak adil untuknya, ia harus mengidap penyakit kanker otak
selama ini, dan membuat Ayahnya tidak dapat menghabiskan banyak waktu
bersamanya melainkan hanya untuk bekerja, agar dapat membiayai pengobatannya,
sekarang, pria yang ia cintai malah akan menikah dengan wanita lain.
Hari yang ditunggu-tunggu
pun tiba, dengan baju serba putih, Prima bersiap-siap melaksanakan akad nikah. Seluruh
orang telah bersiap pergi ke rumah mempelai wanita dengan berbagai macam
antaran, Prima menyisir rambutnya ke belakang dan mulai memasang peci putih di
atas kepalanya. Penampilannya sangat gagah, dan sangat berkarisma, berdiri di
depan cermin sambil menarik nafas panjang guna menenangkan dirinya. Tiba-tiba
Ia dikejutkan oleh Hafizh, kakak sulungnya.
“Wah!!! Tampan kali adik ku
ini,,, sudah seperti Anjasmara.”
“Ah,,, Abang ini bisa saja,
memangnya cuma Abang saja yang boleh tampan memakai pakaian nikah? Aku pun
boleh juga lah…”
“Hahaha!!! Tak terasa ya,
adik kecil ku sudah tumbuh dewasa, sekarang sudah siap untuk menikah.”
Prima hanya tertawa kecil,
dan memeluk kakaknya.
“Sudah, ayo cepat, kita
berangkat, Melinda pasti sudah menunggumu.” Hafizh melepas pelukan adiknya.
“Iya Bang”
Dengan satu unit mobil
putih, Prima beserta rombongan pergi ke rumah Melinda, rasa deg-degan mulai
menyelimutinya, sudah tiga bulan mereka menunggu hal ini terjadi, sekarang
adalah saatnya. Di sana sudah melengkung sebuah janur kuning, tempat resepsi
pun telah dihias dengan sangat cantik, para rombongan mengiringi langkah Prima
menuju rumah tersebut. Di dalam sana, sudah ada seorang penghulu duduk di depan
meja kecil yang di atasnya terletak beberapa kertas beserta map nya. Prima duduk di depan sang
penghulu dan bersiap melangsungkan akad nikah, menarik nafas terlebih dahulu,
dan bersiap melafaskan kalimat yang harus ia ucapkan.
“Ananda Prima, saya nikahkan
engkau dengan Melinda Fagista binti Ahmad, dengan mas kawin seperangkat alat
sholat, dibayar tunai!” suara penghulu menggema di setiap penjuru ruangan.
“Saya terima nikahnya
Melinda Fagista binti Ahmad dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayat
tunai!” balas Prima dengan sangat lantang tanpa sedikitpun kesalahan.
Terdengar suara dua pria di
luar sana, air mata Melinda satu per satu mulai menuruni pipinya yang halus,
suasana penuh haru kala itu, benar-benar mengundang air mata untuk berjatuhan.
Ketika waktunya mempertemukan mempelai wanita dan mempelai pria, Melinda
mengusap air matanya dan menarik nafas panjang, dirinya mulai melangkah keluar
dari ruangan yang terpisah dari ruangan berlangsungnya akad nikah. Di luar
sudah banyak orang-orang yang menantinya, Melinda menjadi pusat perhatian
selama beberapa menit, baju dan kerudung putih yang dikenakannya benar-benar
cantik dan anggun. Melinda mulai duduk di samping Prima dan mencium tangannya,
serta ia pun diberi ciuman di kening dari Prima. Dua insan yang telah berpisah
selama tiga bulan, menjalani masa-masa sulit masing-masing, tidak menggoyahkan
rasa cinta mereka, hingga berada di atas pelaminan.
Malam telah larut, setelah
menggelar resepsi sehari semalam, memang telah menguras tenaga mereka berdua,
Prima melepas satu per satu kancing bajunya dan menggantinya dengan piyama. Terlihat
Melinda yang tengah duduk kelelahan di atas ranjang, masih dengan pakaian
pernikahan yang sangat indah. Prima melangkah mendekati Melinda yang bukan lagi
menyandang status calon istri, tetapi, wanita ini telah menjadi istrinya yang
sah oleh Negara dan agama.
“Melinda, sekarang aku sudah
menjadi suamimu. Maka, kalau aku boleh meminta, aku ingin melihat rambutmu.”
Melinda tersenyum dan mulai
melepaskan berbagai perhiasan yang ada di kepalanya, dan dengan perlahan,
Melinda membuka khimarnya yang panjang dan membiarkan rambutnya tergerai indah.
Prima terkesima melihat geraian rambut istrinya yang sangat indah, tangannya
mulai meraba rambut Melinda, rasa halus memanjakan kulit tangannya.
“Subhanallah,,, indah sekali
rambutmu sayang…”
Melinda meraih tangan Prima
dan meletakkan tangan itu di pipinya. Prima pun mengelus-elus wajah Melinda
yang sangat halus dan cantik, satu kecupan di kening dari Prima.
“Prima, kamu mau berjanji
dengan ku?” Melinda menatap Prima.
“Iya, apapun itu…”
“Kamu berjanji tidak akan
mengecewakanku?”
“Iya, aku berjanji, di kala
kamu sedang bahagia maupun sakit, aku tidak akan pernah meninggalkanmu dan aku
tidak akan mengecewakanmu sayang…”
“Terima kasih Prima, aku
tahu, kamu adalah lelaki yang tidak pernah ingkar pada janji.”
“Melinda, nanti, ikutlah
bersama ku ke Jakarta, kita tinggal di sana, aku tidak bisa meninggalkan
pekerjaanku begitu saja.”
“Iya, karena kamu sudah
menjadi suamiku, maka, aku berkewajiban melayanimu dan menurutimu.”
Sudah dua hari Prima di
Medan, tinggal bersama sang istri tercinta, namun, hari ini, mereka harus pergi
ke Jakarta. Mereka telah bersiap pergi dengan barang-barang yang sudah ada di
dalam mobil Ryan, Prima dan Melinda berpamitan pada seluruh anggota
keluarganya.
“Ayah,,, Melinda pergi dulu
ya, kami mohon do’a restu dari Ayah dan Ibu.” Melinda mencium tangan kedua
orang tuanya.
“Tidak kamu minta pun, kami
sudah pasti mendo’akan kalian.” Sahut Ayahnya.
“Yah, kami pergi dulu ya,
maaf atas kesalahan saya selama di sini.” Prima menyalami mertuanya.
“Kamu tidak pernah bersalah
Prima, terima kasih ya, sudah menepati janjimu, dan Ayah minta, tolong jaga
Melinda ya.”
“Iya Yah, insyaAllah…”
Setelah berpamitan,
merekapun pergi ke bandara, dan berangkat dengan pesawat. Kemesraan mereka
semakin bertambah, setelah menjadi kekasih halal, mereka tidak perlu khawatir
soal adanya fitnah.
Sejak ditinggal Prima ke
Medan, kondisi Eliza semakin memburuk, dirinya lebih sering mengeluh sakit di
kepala, dan sering pingsan sehabis menjalani aktivitasnya di kampus. Ia pun
dirawat di rumah sakit, karena kanker otak yang dideritanya. Pak Hilman, berusaha
melakukan apapun demi putrinya semata wayang, karena hanya Eliza lah yang Ia
punya.
Di kantor, Prima kembali
bekerja seperti biasa, setelah menikah, Prima lebih bersemangat bekerja,
hari-harinya kini tidak akan mungkin terasa sepi, walaupun hanya tinggal di
rumah kontrakkan, tapi keharmonisan yang mereka bina di dalam rumah itu,
membuat rumah itu seakan-akan seperti rumah termewah di dunia. Deringan telepon
dari Pak Hilman, menghentikan pekerjaannya sejenak, setelah menerima telepon
dari Pak Hilman, Prima bersegera pergi ke ruangan Pak Hilman.
“Maaf Pak, ada laporan yang
harus saya perbaiki lagi?” Prima bertanya pada Pak Hilman.
“E,,, tidak, kemari lah,
duduk dulu, saya mau bicara.”
“Baiklah.” Prima duduk di
hadapan Pak Hilman.
“Begini, Prima, kamu
mengenal putri saya kan?”
“Iya Pak.”
“Sejak, dia mengenalmu, dia
tidak pernah sekalipun terlihat sedih seperti sebelumnya, dia terlihat sangat
bersemangat di tiap harinya, tapi…”
“Tapi apa Pak?”
“Semenjak dia mengetahui
bahwa dirimu akan menikah dengan wanita lain, kondisinya semakin memburuk, dia
sering mengeluh sakit kepala bahkan sering pingsan, dan saya rasa, Eliza
menyukaimu.”
“Tapi Pak…”
“Iya, saya tahu, kamu sudah
punya istri, tapi, saya mohon, saya ingin kamu nikahi juga anak saya.”
Prima tidak berkata apapun,
ia sangat mengenal Eliza, wanita manis yang sangat baik terhadapnya, kini jatuh
sakit karena dirinya.
“Saya tidak memaksamu untuk
menjawab sekarang, ada baiknya, jika kamu meminta izin dengan istrimu dulu.”
“Iya Pak, maaf, saya harus
permisi dulu.”
Sore hari, setelah jam kerja
usai, Prima kembali ke rumahnya, di sana sudah dihidangkan makanan kesukaannya,
dan kedatangannya disambut baik dengan Melinda. Melinda membantu melepaskan
dasinya dan membawakan koper kerjanya, setelah membersihkan diri dan sholat
maghrib, Prima pergi ke meja makan, untuk makan malam bersama istrinya.
Kata-kata dari Pak Hilman, masih belum hilang dari benaknya, dia sangat bingung
bagaimana akan memberitahu pada Melinda, sedangkan usia pernikahan mereka baru
empat hari. Usai makan, Prima pergi ke ruang tengah dan menonton acara di TV, Melinda
menghampirinya dan memijat-mijat lengannya yang saat itu memang terasa sangat
pegal.
“Melinda, aku boleh bicara?”
“Tentu saja boleh, ada apa?”
“Jika aku menikah lagi,
apakah kamu mengizinkanku?”
Tangan Melinda tiba-tiba
berhenti memijat, dan matanya menatap tajam ke arah Prima.
“Melinda, aku bisa jelaskan,
Eliza temanku, dia saat ini sedang sakit parah, dan aku tidak pernah tahu bahwa
selama ini dia menyukaiku. Sejak dia mengetahui bahwa diriku akan menikah
denganmu, kondisinya semakin memburuk.” Tangan Prima menggenggam erat tangan
Melinda.
“Tapi Prima… aku tidak
mungkin melepaskanmu begitu saja, usia pernikahan kita baru empat hari, dan
penantian ku selama tiga bulan, masa-masa sulit selama ini, hanya kuperjuangkan
demi dirimu, tapi sekarang, kau malah ingin mendua?”
“Melinda, aku tidak pernah
berniat untuk mendua, tapi aku harus melakukan ini demi seseorang.”
“Lalu, bagaimana denganku!?”
bentak Melinda.
“Dia sakit Mel! Kanker otak
adalah penyakit yang deritanya saat ini! Dia butuh seseorang yang ia cintai
untuk membuat ia bertahan melawan penyakitnya!” Prima pun membalas bentakan
itu, dengan nada lebih tinggi.
Suara ketukan pintu,
menghentikan pertengkaran mereka, Prima beranjak dan membukakan pintu. Ternyata
itu adalah Pak Hilman, tiba-tiba dia menyembah kepada Prima dan menangis.
“Prima, saya mohon…. Eliza
semakin memburuk, dia selalu menyebut-nyebut namamu.”
“Astaghfirullah!!! Pak,
bangunlah, jangan lakukan hal ini.”
“Saya tidak peduli, saya
hanya ingin anak saya sembuh. Tolong nikahi dia Prima.” Pak Hilman semakin
tersedu-sedu.
Melinda mendekat kepada
Prima dan Pak Hilman, Prima menoleh padanya dan menandakan bahwa itu adalah
bukti yang sangat kuat, bahwa Prima hanya ingin menyelamatkan hidup seseorang
dari penyakit ganas.
“Pak, tolong jangan lakukan
ini, saya istri Prima, Prima sudah menjelaskan banyak hal tentang putri bapak,
dan saya mengizinkan Prima untuk menikahi Eliza, putri bapak.”
Prima terkesiap mendengar
pernyataan dari Melinda, padahal baru saja mereka bertengkar soal permasalahan
ini, tapi sekarang ia membuat keputusan untuk mengizinkan Prima menikah lagi.
“Terima kasih nak, saya
berterima kasih sekali.” Pak Hilman bangkit dan menyatukan kedua telapak
tangannya berterima kasih kepada dua insane yang rela membantu putrinya.
“Iya Pak, saya akan segera
menikahi Eliza.” Prima membalas itu dengan senyuman terpaksa.
Setelah keluar dari rumah
sakit, Eliza dan Prima melaksanakan akad nikah, dan resepsi di hari yang sama. Eliza
terlihat sangat senang dapat menjadi istri pria yang ia cintai. Usai resepsi,
Prima berniat pulang.
“Melinda, malam ini aku akan
pulang ke rumah bersama Eliza.”
“Tidak Prima! Tidur lah dulu
di rumah Pak Hilman, dan habiskan malam pertama kalian bersama di sini, aku
akan pulang dan menunggumu di rumah hingga esok.”
“Tapi,,,”
Tangan lembut Melinda
mengelus-elus pipi Prima, dan senyum manis pun ditebarkannya untuk sang suami
tercinta. Walaupun dalam hatinya, rasa sakit telah menusuk bagaikan pedang
samurai tertajam di dunia.
Selama beberapa hari, Prima
menjalani hidupnya bersama dua istri yang sangat ia cintai, dan Prima selalu
menemani Eliza untuk menjalani pengobatan kemoterapi. Melinda memilih untuk
menjadi guru matematika di sebuah sekolah dasar, sembari menghabiskan waktu
kosongnya, sebenarnya Prima sudah melarang dirinya untuk bekerja, tapi Melinda
tetap ingin bekerja. Malam ini, Prima berniat ingin tidur bersama Melinda.
“Melinda, hari ini, aku
ingin tidur denganmu…?”
“Iya, silahkan…” jawab
Melinda.
“Prima, hari ini, kamu bisa
menemaniku?” Eliza tiba-tiba keluar dari kamar, dan memohon kepada Prima.
“Tapi,,,,”
“Sudah lah,,, iya Eliza,
malam ini Prima akan menemanimu.” Potong Melinda.
Prima hanya memperhatikan
Melinda, bagaimana bisa selama ini Melinda lebih sering mengalah, padahal
sebelumnya, dia bersih keras untuk melarang Prima untuk menikah lagi.
“Melinda, tapi, bukankah…”
“Prima, dia sedang sakit,
jagalah dia dan aku masih sehat, jangan khawatirkan aku.”
Siang hari, setelah
mengajar, Melinda pergi ke sebuah taman kota, di sana dia menghabiskan waktunya
bersama buku-buku pelajaran, dan menenangkan urat-uratnya yang tegang setelah
seharian bekerja. Melinda menuliskan beberapa soal beserta jawabannya, tiba-tiba,
noda merah jatuh di atas bukunya, semakin lama, noda itu semakin banyak, noda
itu berasal dari hidung Melinda, darah segar tengah mengalir di sana. Tangannya
mengusap sedikit demi sedikit darah itu menggunakan sebuah tisu, dengan waktu
beberapa menit, sudah banyak tisu yang dilumuri darah dari hidung Melinda,
kepalanya mulai terasa sangat sakit, rasa sakitnya sama seperti gejala
orang-orang yang mengidap penyakit kanker otak. Ini bukan pertama kalinya
Melinda merasakan gejala ini, sejak ia keluar dari rumah sakit, dia sering
mengeluh sakit kepala dan hidungnya selalu mengeluarkan darah, dan ketika ia
dan Prima pindah ke Jakarta, Melinda memeriksakan keadaannya tanpa
sepengetahuan Prima, dan dokter memvonis Melinda mengidap penyakit kanker
Nesofaring, kanker yang terjadi pada bagian hidung.
Hal ini, masih disembunyikan
Melinda, karena ia tak mau Prima akan terbawa beban pikiran, cukuplah Eliza
yang Prima rawat saat ini, sekedar dapat melayani dan menemani hidup Prima saja
sudah lebih dari cukup untuk kebahagiannya. Tangan Melinda mengambil ponsel dan
menelpon Prima, ia rasa lebih baik jika hari ini Ia pulang bersama Prima.
“Halo sayang..” suara Prima
di balik telepon.
“Prima, bisakah kamu
menjemputku sekarang? Di taman kota.”
“Aduh, maaf sayang, kalau
sekarang, aku tidak bisa, aku sedang menemani Eliza menjalani kemoterapi, kalau
kamu mau tiga puluh menit lagi, aku akan menjemput kamu.”
“Ya sudah, tidak usah aku
pulang pakai taksi saja, tidak apa-apa kok.”
“Maaf ya…”
Kepala Melinda semakin
terasa sangat sakit, dia berusaha pergi mencari taksi untuk pulang, dalam sepuluh
menit taksi belum juga ada melintas, tanpa diduga Ryan melintas dan menyapanya.
Ryan terlihat bingung melihat Melinda mengeluarkan ekspresi kesakitan.
“Melinda, kamu baik-baik saja?”
“Kebetulan ada kamu, Ryan,
bisakah kamu mengantarku pulang?”
“Oh, tentu saja, silahkan.”
“Terima kasih.”
Dalam perjalanan, Melinda
tidak henti-hentinya memegangi hidungnya yang terus-terusan dialiri darah, dan
dia selalu terbatuk-batuk. Sekitar lima belas menit, mereka akhirnya sampai di
depan rumah, Melinda tiba-tiba mengambang dan batuknya semakin menjadi.
“Melinda, kamu baik-baik
saja?”
Melinda tidak dapat
menjawab, hidungnya semakin banyak mengeluarkan darah.
“Melinda apa yang terjadi? Hidungmu?
Ayo mari kita masuk dulu.”
Setelah masuk, dan Melinda
duduk di kursi, kepalanya semakin sakit, darah terus mengalir, matanya
berkunang-kunang.
“Ryan, tolong ambilkan
obatku, di bawah lemari kayu di sana.”
“Iya, tunggu dulu,,, ini
dia…”
“Terima kasih…”
“Mel, apa yang terjadi? Kamu
sakit apa?”
“Ryan, aku mohon, jangan
beritahu ini kepada Prima.”
“Tapi, bagaimana? Dia itu
suamimu Mel, sekarang dia ke mana?”
“Dia sedang menemani Eliza
berobat, aku mohon, apapun alasannya, jangan beritahu dia.”
“Baiklah, tapi, sekarang
jelaskan padaku, sejak kapan kamu mengidap penyakit ini? Kamu sakit apa?”
“Sejak aku keluar dari rumah
sakit dulu, karena hampir setiap hari aku menghisap kepulan asap yang
dihasilakan dari pabrik industri, di dekat tempatku bekerja. Kata dokter, ini
namanya kanker Nesofaring.”
“Apa! Ya ampun, seharusnya
Prima mengetahui ini Mel, kamu tidak bisa terus-terusan menyembunyikan ini.”
“Iya, aku tahu, dia akan
tahu, tapi tidak untuk saat ini.”
Beberapa menit, setelah
Melinda selesai membersihkan lumuran darah dari wajahnya, Prima datang bersama
Eliza. Tampak Eliza tengah memeluk Prima, yang dibalas peluk serta ciuman di
keningnya dari Prima, mereka terlihat sangat mesra.
“Ryan… kamu mencariku ya?”
Prima memanggil.
“E,, Tidak, gue tadi habis
nganter Melinda, gue nggak sengaja liat dia di taman, jadi gue pulang bareng
dia.”
“Oh,,, gitu, oh ya maaf ya
sayang, tadi aku tidak bisa menjemput kamu.”
“Iya, tidak apa-apa.” Sahut
Melinda dengan senyumnya.
“Ya udah gue pulang dulu.”
Ryan memotong.
“Iya, terima kasih ya Ryan.”
“Prima, aku masuk ke kamar
dulu ya.” Eliza menambah sambil mencium pipi Prima.
“Iya,” jawab Prima dengan
senyum berkarismanya.
Prima mendekat kepada
Melinda dan mencium pipinya beberapa kali, Melinda hanya tertawa dan berusaha
mengelak untuk ciuman selanjutnya.
“Hentikan Prima…”
“Hei,,, Melinda ku
tersayang, aku sudah lama tidak menciummu, hari ini aku tidur denganmu ya.”
Melinda hanya mengangguk, mereka
mengahabiskan malam ini bersama. Kemesraan mereka semakin terasa ketika tidak
ada satupun yang mengganggu mereka.
Sudah satu bulan, mereka
menjalani hidup bersama, hidup bertiga dalam satu rumah benar-benar sangat
menyenangkan, terlebih lagi Eliza yang sudah divonis sembuh dari sakit yang
dideritanya selama ini. Kebahagian mereka bertambah, terlebih lagi bagi Prima,
keakuran kedua istrinya benar-benar membuatnya senang. Hari demi hari mereka
lalui bersama.
Pukul menunjukkan 22.00 WIB,
Melinda mengeluh sakit yang luar biasa di kepalanya, dia terbangun dari
tidurnya, dan berusaha menahan tangisnya, karena malam ini Prima tidur
bersamanya. Darah segar mulai mengalir dari hidungnya, kepalanya semakin sakit,
tenggorokannya tiba-tiba gatal, dan mengakibatkan dirinya harus terbatuk-batuk,
Melinda berusaha mencari obatnya di dalam laci. Keributan yang dihasilkan
Melinda membuat Prima terbangun dari tidurnya dan dia heran melihat Melinda
tergesa-gesa dalam mencari sesuatu.
“Melinda, kamu sedang
mencari apa? Obat batuk ada di luar sayang.” Prima mencoba membantunya.
“Oh, iya aku lupa, aku akan keluar.”
Melinda berusaha menyembunyikan wajahnya yang sudah dilumuri darah.
“Melinda, kamu baik-baik
saja?” Prima menarik tangannya.
“Iya, aku baik-baik saja.”
Melinda tidak ingin menolehkan kepalanya.
“Hei, kamu kenapa, lihat
aku…”
“Aku tidak apa-apa Prima…”
“Coba aku lihat dulu,,,”
Prima menarik paksa tubuh Melinda, sehingga membuat Melinda berhadapan
dengannya.
“Astaghfirullah! Melinda,
apa yang terjadi?” tambahnya.
“Aku tidak apa-apa…”
“Bagaimana kau bisa bilang
ini tidak apa-apa!? Sejak kapan kau sakit?”
“Aku tidak sakit Prima…”
“Jangan bohong padaku! Sejak
kapan!?” bentak Prima.
“Sejak aku keluar dari rumah
sakit di Medan!.”
“Ayo! Sekarang kita ke rumah
sakit!”
“Tidak, aku tidak apa-apa…”
“Jangan membantah! Aku tidak
mau kau kenapa-napa, pakai kerudungmu cepat!”
“Ada apa Prima.” Eliza
terbangun dari tidurnya.
“Ayo, Eliza, kamu juga ikut,
kita ke rumah sakit sekarang!”
“Astaghfirullah! Melinda
kenapa?” Eliza tersentak melihat kondisi Melinda.
“Aku baik-baik saja Prima…”
Melinda memaksa.
“Melinda! Dengar ya! Kalau
kamu sampai kenapa-napa, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri! Ngerti kamu!
Sekarang kita harus ke rumah sakit!”
Dalam perjalanan, kepala
Melinda semakin sakit, matanya terlihat kabur dan seluruh pandangan telah
gelap, Melinda tak sadarkan diri. Setibanya mereka di rumah sakit, Melinda
langsung mendapatkan perawatan, dia masuk ke ruang ICU dan harus mendapatkan
perawatan intensif. Dari luar, Prima hanya melihatnya terbaring lemas dengan
beberapa alat medis. Selama sekitar dua puluh menit, para dokter menangani
Melinda.
“Dok, bagaimana keadaan
istri saya?”
“Pak Prima, boleh saya
bicara.”
“Iya boleh dok, ada apa?”
“Istri Bapak mengidap
penyakit kanker Nesofaring, dia sudah benar-benar kehilangan banyak darah,
sebenarnya penyakit ini masih stadium awal, tapi ini benar-benar sudah parah,
dan kami tidak bisa memastikan, bahwa beliau masih bisa bertahan.”
“Maksud dokter!? Dokter
jangan macam-macam ya! Dia itu masih bisa sembuh dok! Dokter jangan sembarangan!”
Prima terbawa emosi ketika mendengar bahwa hanya ada kemungkinan kecil Melinda
akan sembuh.
“Prima sudah!” cegah Eliza.
“Kami sudah berusaha, kita
hanya harus terus berdo’a agar keajaiban dapat membantu istri bapak untuk
sembuh.”
“Astaghfirullah Melinda…”
Prima mulai mengeluarkan air matanya.
Prima diizinkan untuk masuk
ke dalam ruang ICU, di dalam sana, suara monitor pendeteksi detak jantung
berdenging di telinga Prima. Terbaring lemas Melinda di atas ranjang, dengan
berbagai alat bantu pernafasan yang terpasang di tubuhnya.
“Melinda, kenapa kamu tidak
bilang bahwa kamu punya penyakit ini sejak lama? Kenapa kamu baru bilang
sekarang? Selama tiga bulan kita berjuang mempertahankan hubungan jarak jauh,
dan di masa-masa sulitku, kamu selalu mendukungku, ketika aku hadir dan menepati
janjiku, saat itu lah aku melihat kebahagian yang sebenarnya. Tapi, ketika
bahtera rumah tangga kita yang masih berusia sangat muda, harus dihadapkan
dengan satu masalah, kamu selalu mengalah, dan mementingkan kebahagianku
dibandingkan kebahagiaan dirimu. Kamu adalah jiwaku Melinda, aku mohon jangan
tinggalkan aku, bukankah aku pernah berjanji di malam pertama setelah resepsi
pernikahan kita telah usai, aku akan tetap menjagamu dan aku tidak akan pernah
mengecewakanmu, tapi tanpa aku sadari, bukan aku yang melaksanakan janji itu,
tapi kamu lah yang melaksanakannya, kamu berusaha tidak mengecewakanku dalam
hal apapun, kamu berusaha menjagaku, sedangakan kau tidak memikirkan bagaimana
keadaanmu sendiri. Melinda jangan tinggalkan aku, aku mohon.” Air mata telah
membasahi wajah Prima, dia berharap Melinda bisa segera sembuh.
“Prima…”
“Melinda, kamu sadar,
Alhamdulillah. Dokter! Dokter!” teriak Prima.
“Prima, jangan panggil
dokter, aku cuma ingin minta maaf jika selama ini, aku belum bisa menjadi istri
yang baik untukmu.”
“Kamu sudah menjadi istri
yang sangat baik bagiku sayang… Melinda,, Melinda! Dokter! Dokter!” Prima panik
ketika melihat Melinda menutup matanya lagi.
Dokter memeriksa keadaan
Melinda, namun, tidak terdeteksi detak jantung dan pernapasannya. Sejak itu
lah, Melinda tidak lagi membuka matanya untuk selama-lamanya. Tangis Prima
pecah seketika, ketika melihat Melinda sudah terbujur kaku, Eliza pun tak
sanggup membendung air matanya, melihat kesedihan di hadapannya.
Setelah pemakaman, Prima
duduk di pantai bersama Eliza, melepas kesedihan yang baru saja terjadi.
“Melinda, aku sangat
bersyukur pernah punya istri seperti dirimu, kamu adalah bidadari dunia yang
Allah utus untuk menemani setengah dari waktuku. Walaupun hanya sebentar waktu
kita untuk bersama, itu tidak pernah ku sesali, karena kau mengajariku untuk
tetap tabah dan sabar dalam menghadapi segalanya. Aku mencintaimu Melinda. ”
Prima membatin dengan mata berlinang.
TAMAT.