Saturday, June 9, 2018


Takdir Menjerit Padaku ...

Jiwaku masih terasa tak di sini, rasanya seperti ia terhuyung kesana kemari oleh angin sore. Aku merasa kekosongan sejenak dalam hidupku, seperti ada aliran listrik 1000 Volt yang telah menyengat, sarafku tak seluruhnya bekerja dengan baik. Yang kurasa hanya saraf pernapasan yang bekerja seperempat dari yang seharusnya, napasku tersendat-sendat setelah kabar buruk ini sampai padaku. Aku akan lewati bagian ini. Karena ini terlalu berat dan sakit untuk pembuka.
Hari ini akan aku ceritakan pada kalian tentang dia yang mengajariku betapa pentingnya menekan tombol hijau pada telpon genggammu.


Sudah setengah jam aku duduk di lapangan basket bersama teman sekelasku yang kini sudah kuanggap seperti bagian dari keluargaku. Sesekali mataku melirik pada layar handpohone untuk memastikan pesan baru tak kulewatkan. Sudah beberapa pesan dari teman-temanku yang mengatakan mereka akan sedikit terlambat sampai ke sana. Sembari jari-jariku masih asyik mengetikkan balasan, mataku tertuju kepada seorang gadis berkacamata yang sedang berjalan sendirian di jalan sisi sebelah kiri lapangan basket ini. Apa yang dilakukannya di sana sendirian? Pikirku, tapi wajahnya tak asing di mata ini, seperti sudah terlalu familiar di keseharianku. Tapi siapa? Sesekali dia menilik handphone nya, lalu ia bergerak menjauhi tempatnya tadi ke tempat parkiran. Apa yang membuatku sampai harus memperhatikannya seperti itu?
Aku masih menunggu teman-teman sampai kemari, setelah sepuluh menit, baru lah satu per satu dari mereka sampai. Berulang kali mereka mengatakan maaf lalu menjelaskan sederet kesibukan yang harus mereka selesaikan sebelum kemari. Aku memahami mereka, mereka memiliki banyak amanah di kampus masing-masing dan aku tahu tidak pernah mudah mengatur waktu itu, dan beruntungnya aku, mereka bisa meluangkan setidaknya sebagian kecil dari waktu luang yang mereka punya untuk menemuiku di sini.
Kami berpindah tempat ke tempat yang lebih teduh, tidak jauh dari lapangan basket, atau mungkin hanya beberapa meter dari tempatku duduk tadi. Lalu teman-temanku berlarian menuju sesuatu yang tidak kuketahui siapa itu sampai akhirnya aku menolehkan kepala dan mendapati gadis berkacamata tadilah yang mereka tuju. Mereka terlihat saling melepaskan rindu, sibuk sekali nampaknya, sampai tak punya waktu untuk saling bertemu. Mereka kembali bersama gadis berkacamata tadi. Semakin dekatnya jarak pandangku terhadap gadis itu, semakin jelas pula identitasnya. Aku sedikit tersentak tak percaya dengan apa yang aku lihat.
Bukankah ___ bukankah dia adalah Raina Raehan? Orang yang selama ini aku kenal melalui media sosial?
“Hai ...” katanya sambil menawarkan tangan kepadaku dan temanku.
Kami berdua terdiam, terutama aku yang masih melongo tak percaya dengan gadis yang berdiri di hadapanku ini.
“Yang mana yang namanya Owie?” tanyanya. Sontak si Yuli temanku langsung menjabat tangannya lalu melakukan bualan yang ternyata dianggap Raina sungguhan.
“Saya, kenalin saya Raisa.” Kata Yuli.
“Raisa? Wah namanya seperti artis ya ... berarti ini Owie?” dia menunjukku.
“Bukan ,,,” aku malah menunjuk Yuli, lalu Yuli menunjuk balik kepadaku.
Wajah Raina terlihat bingung dan sedikit kesal.
“Jadi yang mana yang namanya Owie?”
Kami masih saling tunjuk menunjuk. Akhirnya karena mungkin dia sedikit kesal dia menurunkan tangannya lalu pergi meninggalkan kami dan mengadu pada dua temanku di sana. Bukan merasa bersalah, aku justru merasa hatiku tergelitik dengan tingkahnya. Hahaha ... tingkahnya lucu sekali, wajahnya jauh lebih imut dari yang pernah kulihat di layar ponselku selama ini.
Tak banyak yang terjadi di sana selain pertemuan kami yang singkat, karena aku harus kembali ke kampus. Tapi sejak pertemuan singkat itulah aku merasa jantungku berdetak tak senormal biasanya.
Aku masih tak percaya bisa melihat wajah Raina Raehan secara langsung hari ini. Sejak SMA aku sudah sangat senang dengan tulisan-tulisan yang ia posting di Facebook, tak pernah satu judulpun aku lewatkan dari tulisan pendek yang ia posting. Rasanya seperti aku baru saja bertemu langsung dengan idolaku. Ya! Dia memang idolaku, dan selama 3 tahun terakhir, aku hanya memperhatikannya melalui layar ponsel ini. Memasuki tahun ke-4, siapa yang bisa menebak jika akhirnya aku ditakdirkan bertemu langsung dengannya?
Sejak hari itu, temanku membuat sebuah grup untuk menjaga tali silaturahmi kami dan bersyukurnya aku karena di situ juga ada nomor Raina Raehan. Tak berpikir panjang, aku langsung menyimpan nomor itu. Raina juga pernah memposting nomor telponnya di media sosial, untuk urusan promosi maupun bisnis yang sedang ia tekuni tapi aku masih malu-malu untuk menyimpan nomornya dan hari ini tak lagi aku sia-siakan kesempatan itu.
Selang beberapa hari, kami saling berkomunikasi melalui grup tersebut, dan di hari ketiga setelah grup itu terbentuk, saat aku sedang menjelajahi deretan WA story di Hpku aku mendapati WA story milik Raina. Hatiku senang bukan main, karena itu artinya dia juga sudah menyimpan nomorku di kontak WA nya. Aku membalas WA storynya dan sejak saat itu kami mulai sering berbagi cerita di jaringan pribadi WA.
Sempat sekali aku keluar dari grup karena ada masalah dengan salah seorang di antara mereka yang ada di grup tersebut dan tak kusangka Raina adalah orang yang begitu kecewa dengan tindakanku ini. Dia sempat berhenti menghubungiku, chatku tak digubrisnya hingga pada suatu hari ia luapkan seluruh kekecewaannya padaku. Dia bilang keluar dari grup adalah cara seorang anak kecil mengatasi masalah. Dia mengaku dia tak pernah bersikap dewasa dan selalu merasa dirinya adalah anak kecil, tapi tak pernah sedetikpun ketika sedang ada masalah, ia justru memilih untuk keluar grup yang sebetulnya grup itu dibuat untuk memudahkan satu dan lainnya berkomunikasi.
Dia juga mengutarakan betapa kecewanya ia dengan sikapku yang tadinya ia pikir akan lebih dewasa dalam menyikapi masalah. Setelah panjang percakapan kami, akhirnya aku bersedia jika ia ingin memasukkanku kembali ke grup.
Bukan merasa aneh dan benci karena dari kekecewaannya justru ia terlihat seperti mengatur hidupku. Tapi aku justru semakin menyayanginya, aku tak pernah tahu bila ia begitu peduli terhadapku sampai ia tak rela aku keluar dari lingkaran pertamanan yang diikat oleh grup itu. Setelah aku kembali ke grup, semua berjalan normal kembali. Aku dan Raina kembali bercakap-cakap di WA mengenai apapun yang sebenarnya itu jarang sekali aku lakukan dengan yang lain.
Jujur, aku hanya ingin membalas chat orang yang benar-benar sedang membutuhkanku saja dan pembahasan yang sangat penting. Dan sangat jarang aku meladeni chat yang hanya berisi “Assalamualikum Owie, sedang apa?” atau bahkan “Owie, sudah makan?” chat yang isinya hanya percakapan ringan dan tak penting.
Tapi, entah mengapa justru Raina adalah orang yang kuperlakukan jauh berbeda dari yang lain, dia sering sekali memulai percakapan dengan hanya mengirim kata “Owie ...” satu kata itu justru merembet menjadi percakapan panjang yang kadang membuatku kesulitan tidur. Sudah kuduga, Raina memang mahir dalam hal menulis, sering kali ia merayuku dengan kata-kata yang ia tulis dan kuakui itu selalu berhasil membuatku tersipu malu dan tersenyum senyum sendiri di tengah malam.
Sama halnya di media sosial lain, aku juga tak pernah melewati story yang Raina buat di WA.
Bahkan akhir akhir ini Raina merengek padaku agar aku mau mengangkat telpon darinya. Mana mungkin! Aku adalah orang yang sangat pemalu dan sangat penakut, apalagi dalam hal mengangkat telpon dari orang lain. Aku dan dia baru saling mengenal beberapa minggu ini, tapi Raina tak pernah sungkan berbagi cerita denganku bahkan sekarang dia merengek seperti anak kecil karena ingin berbicara padaku melalui telpon.
Dia bilang padaku, “Owie dengarkan saja aku bicara, nggak apa-apa kok kalau Owie tidak mau bicara.”
“Yakin?”tanyaku
“Iya, lagipula wanita lembut mana yang tega mendengar temannya berbicara sendiri terus menerus, iya kan?” jawabnya begitu PD.
“Jadi kamu sudah yakin aku akan bicara di telpon itu?
“Tentu saja!”
Di percobaannya yang ke-3, akhirnya aku mau menekan tombol hijau pada ponselku saat ia menelpon. Dia berbicara apapun yang ingin ia sampaikan, suaranya terdengar lebih halus dan lucu kali ini dan sepertinya ia tidak peduli apakah aku mendengarkannya atau tidak. Dia seperti seorang penyiar yang berbicara sendiri. Tapi, tentu aku mendengarkannya dengan baik. Menit di telpon semakin berjalan, sesekali ia berhenti bercerita dan memintaku untuk berbicara, tapi aku tetap sunyi. Sampai akhirnya di menit ke-50, aku membalas nya dengan suaraku yang malu-malu.
“Alhamdulillah, akhirnya ngomong juga.” Terdengar desah napas leganya di seberang sana.
Kami terus berbincang mengenai apapun yang ingin kami bahas malam itu. Sampai akhirnya terdengar suara Raina yang mulai lelah, kamipun akhirnya mengakhiri pembicaraan. Namun sebelum itu kusempatkan untuk mengatakan sesuatu padanya.
“Raina, aku tahu kita baru saja saling kenal. Dan aku tahu aku mungkin saja belum masuk dalam daftar teman dekatmu. Tapi harus kuakui, sejak hari di mana kita bertemu di lapangan basket itu. Aku merasakan bahwa aku sungguh menyayangimu seperti aku menyayangi teman-teman yang sudah kuanggap sebagai saudara.”
Tak banyak yang kami bicarakan lagi setelah itu, Rainapun mematikan telponnya dan aku terbelalak setelah melihat riwayat catatan waktu di sana menuliskan 3 jam. Aku tak pernah sekalipun dalam hidupku melakukan perbincangan di telpon selama 3 jam. Apa yang menyihirku sampai bersedia melakukan perbincangan itu? Hanya Raina yang berhasil membuatku seperti ini.
Hari demi hari berlalu menjadi minggu lalu minggupun berlalu menjadi bulan. Sudah berbulan-bulan kami terus melakukan percakapan di WA dan semakin ke sini entah mengapa aku semakin bersyukur dan sangat senang bisa berteman dengan Raina, gadis berkacamata yang tak pernah kehabisan ide untuk membuat orang di sekitarnya tersenyum. Bukan hanya aku, tapi semua ornag yang kukenal juga mengenalnya sebagai gadis periang dan penuh candaan.


Sampai akhirnya, suatu hari untuk kesekian kalinya ia memintaku mengangkat telpon darinya. Alasan klasik dan tak pernah membuatku bosan mendengarnya adalah rindu, dia bilang dia rindu sekali mendengar suaraku dan rindu sekali ingin berbagi cerita padaku. Tapi hari itu aku cukup sibuk, aku punya sederet kegiatan yang membuatku tak sedetikpun dapat menggubrisnya.
“Owie, kenapa tidak angkat telponnya?” pesannya masuk ke WA ku.
“Owie? Aku akan pergi ke panti asuhan hari ini, mau melakukan bakti sosial di sana.” Pesannya lagi.
“Owie? Masih sibuk? Tolong angkat telponnya sebelum aku pergi, aku pergi 10 menit lagi.” Masih belum kubaca pesannya.
“Ya sudah, aku pergi dulu. Sampai nanti ... Assalamualaikum, Cuma mau ngasih tau, aku rindu padamu hihi ...”
Aku tidak terlalu memperhatikan pesan darinya sehingga aku hanya membalas singkat “Maaf, aku sedang sibuk hubungi aku nanti.”
“Baiklah, maafkan aku, selesaikanlah tugasmu dan aku ingatkan jangan memikirkanku ya, nanti pekerjaanmu tidak akan selesai hihi ...”guyonan sekaligus pesan terakhir yang ia kirim.
Hari semakin sore, langit jingga mulai terlihat, anginnya sedikit berbeda hari ini dan bersamaan angin itu aku juga tiba-tiba merasakan hatiku mulai gelisah dan gusar. Baru kusadari, seharian ini aku tidak mengecek ponselku, dengan segera aku mengambilnya dari dalam tas. Ada 15 panggilan, dan itu semua dari Raina. Aku tersenyum-senyum membaca pesan-pesan yang ia kirim, ada rasa kasihan juga. Tapi biarlah, toh pikirku nanti malam dia akan menelpon lagi. Aku mengetikkan balasan untuknya dan untuk beberapa pesan dari teman-temanku. Raina masih belum membalas pesanku, anehnya dia terakhir online 5 jam yang lalu, terlalu lama ukurannya bagi seorang Raina si Ratu medsos hahaha!
Aku terus membiarkan jari jempolku mengscroll down layar WA hingga aku dapati pesan dari temanku yang belum kubalas. Temanku satu ini satu kampus dengan Raina dan dia kenal betul Raina itu seperti apa. Bersamaan dengan pesannya yang kubaca di saat itu pula hatiku yang tadi gelisah berubah menjadi sakit, sakit tak tertahankan bagaikan dihujam ribuan pedang. Semakin aku membaca pesan itu, darahku seakan mengalir terlalu deras seakan akan rasanya ia ingin muncrat keluar dari hidungku. Paru-paru ku seperti sedang terikat oleh sesuatu yang sangat kencang sampai-sampai tak rela membiarkan satu oksigenpun masuk kedalamnya. Badanku terhuyung, air mataku mulai membanjiri pipi dan menetes-menetes ke bajuku.
“Assalamualaikum, Innalillahi wainnailaihirajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah, teman kita Raina Raehan dalam perjalanan pulangnya dari panti asuhan karena kecelakaan. Mari kita kirimkan alfatihah untuk almarhumah semoga segala amal baik yang ia lakukan di dunia dapat diterima oleh Allah subhanahuwata’ala. Aamiin, alamarhumah akan dimakamkan hari ini juga di rumah kediaman orang tuanya ...”
Itulah pesan yang berhasil membuatku roboh dari tegapnya cara berdiriku. Aku masih tak percaya Raina begitu cepat pergi meninggalkan dunia ini, meninggalkan sanak saudara dan teman-teman di sini, dan yang lebih menyakitkan adalah Raina telah meninggalkanku. Aku berlutut dan menangis sejadi-jadinya. Raina adalah orang yang memiliki aktivitas lebih banyak dariku, tapi tak pernah sedikitpun ia acuhkan pesan-pesan dariku, dia selalu punya waktu buatku. Tapi aku? Aku mendengar suara takdir menjerit keras di telingaku terdengar seperti ia pun tak tega mengabarkan kabar pedih ini padaku.
Tidak ada lagi WA story lucu darinya, tidak ada lagi percakapan tak penting darinya, tidak ada lagi rengekan yang memintaku mengangkat telpon darinya. Aku __ aku merasa begitu sakit sekarang, dia mengajarkanku banyak hal, terutama betapa pentingnya menekan tombol hijau pada layar ponselku.





Sumber :
Diambil dari karya murni seorang Penulis Kalimantan Barat, Inaq Real.

note : Cerita ini tidak seluruhnya nyata, jika ada kesamaan peristiwa dengan yang terjadi pada anda. itu artinya tulisan ini punya makna tersembunyi yang harus anda tahu.

1 comment:

  1. Cerita yang sangat menarik �� jadikan pelajaran untuk diri kita, sesibuk apapun kita jng pernah melalaikan orang-orang yang berada disekeliling kita. Jng pernah merasa bosan di hubungi mau itu melalui cht atau via tlpn, karena suatu saat nti kerinduan yang akan menyiksa kita sndiri.
    InaqReal

    ReplyDelete

Takdir Menjerit Padaku ... Jiwaku masih terasa tak di sini, rasanya seperti ia terhuyung kesana kemari oleh angin sore. Aku merasa ke...

Baca Ini Dulu Biar sah!