Takdir Menjerit Padaku ...
Jiwaku
masih terasa tak di sini, rasanya seperti ia terhuyung kesana kemari oleh angin
sore. Aku merasa kekosongan sejenak dalam hidupku, seperti ada aliran listrik
1000 Volt yang telah menyengat, sarafku tak seluruhnya bekerja dengan baik.
Yang kurasa hanya saraf pernapasan yang bekerja seperempat dari yang
seharusnya, napasku tersendat-sendat setelah kabar buruk ini sampai padaku. Aku
akan lewati bagian ini. Karena ini terlalu berat dan sakit untuk pembuka.
Hari ini akan aku ceritakan pada kalian tentang dia yang
mengajariku betapa pentingnya menekan tombol hijau pada telpon genggammu.
Sudah
setengah jam aku duduk di lapangan basket bersama teman sekelasku yang kini
sudah kuanggap seperti bagian dari keluargaku. Sesekali mataku melirik pada
layar handpohone untuk memastikan
pesan baru tak kulewatkan. Sudah beberapa pesan dari teman-temanku yang
mengatakan mereka akan sedikit terlambat sampai ke sana. Sembari jari-jariku
masih asyik mengetikkan balasan, mataku tertuju kepada seorang gadis
berkacamata yang sedang berjalan sendirian di jalan sisi sebelah kiri lapangan
basket ini. Apa yang dilakukannya di sana sendirian? Pikirku, tapi wajahnya tak
asing di mata ini, seperti sudah terlalu familiar di keseharianku. Tapi siapa?
Sesekali dia menilik handphone nya,
lalu ia bergerak menjauhi tempatnya tadi ke tempat parkiran. Apa yang membuatku
sampai harus memperhatikannya seperti itu?
Aku
masih menunggu teman-teman sampai kemari, setelah sepuluh menit, baru lah satu
per satu dari mereka sampai. Berulang kali mereka mengatakan maaf lalu
menjelaskan sederet kesibukan yang harus mereka selesaikan sebelum kemari. Aku
memahami mereka, mereka memiliki banyak amanah di kampus masing-masing dan aku
tahu tidak pernah mudah mengatur waktu itu, dan beruntungnya aku, mereka bisa
meluangkan setidaknya sebagian kecil dari waktu luang yang mereka punya untuk
menemuiku di sini.
Kami
berpindah tempat ke tempat yang lebih teduh, tidak jauh dari lapangan basket,
atau mungkin hanya beberapa meter dari tempatku duduk tadi. Lalu teman-temanku
berlarian menuju sesuatu yang tidak kuketahui siapa itu sampai akhirnya aku
menolehkan kepala dan mendapati gadis berkacamata tadilah yang mereka tuju.
Mereka terlihat saling melepaskan rindu, sibuk sekali nampaknya, sampai tak
punya waktu untuk saling bertemu. Mereka kembali bersama gadis berkacamata
tadi. Semakin dekatnya jarak pandangku terhadap gadis itu, semakin jelas pula
identitasnya. Aku sedikit tersentak tak percaya dengan apa yang aku lihat.
Bukankah
___ bukankah dia adalah Raina Raehan? Orang yang selama ini aku kenal melalui
media sosial?
“Hai
...” katanya sambil menawarkan tangan kepadaku dan temanku.
Kami
berdua terdiam, terutama aku yang masih melongo tak percaya dengan gadis yang
berdiri di hadapanku ini.
“Yang
mana yang namanya Owie?” tanyanya. Sontak si Yuli temanku langsung menjabat
tangannya lalu melakukan bualan yang ternyata dianggap Raina sungguhan.
“Saya,
kenalin saya Raisa.” Kata Yuli.
“Raisa?
Wah namanya seperti artis ya ... berarti ini Owie?” dia menunjukku.
“Bukan
,,,” aku malah menunjuk Yuli, lalu Yuli menunjuk balik kepadaku.
Wajah
Raina terlihat bingung dan sedikit kesal.
“Jadi
yang mana yang namanya Owie?”
Kami
masih saling tunjuk menunjuk. Akhirnya karena mungkin dia sedikit kesal dia
menurunkan tangannya lalu pergi meninggalkan kami dan mengadu pada dua temanku
di sana. Bukan merasa bersalah, aku justru merasa hatiku tergelitik dengan
tingkahnya. Hahaha ... tingkahnya lucu sekali, wajahnya jauh lebih imut dari
yang pernah kulihat di layar ponselku selama ini.
Tak
banyak yang terjadi di sana selain pertemuan kami yang singkat, karena aku
harus kembali ke kampus. Tapi sejak pertemuan singkat itulah aku merasa
jantungku berdetak tak senormal biasanya.
Aku
masih tak percaya bisa melihat wajah Raina Raehan secara langsung hari ini.
Sejak SMA aku sudah sangat senang dengan tulisan-tulisan yang ia posting di
Facebook, tak pernah satu judulpun aku lewatkan dari tulisan pendek yang ia
posting. Rasanya seperti aku baru saja bertemu langsung dengan idolaku. Ya! Dia
memang idolaku, dan selama 3 tahun terakhir, aku hanya memperhatikannya melalui
layar ponsel ini. Memasuki tahun ke-4, siapa yang bisa menebak jika akhirnya
aku ditakdirkan bertemu langsung dengannya?
Sejak
hari itu, temanku membuat sebuah grup untuk menjaga tali silaturahmi kami dan
bersyukurnya aku karena di situ juga ada nomor Raina Raehan. Tak berpikir
panjang, aku langsung menyimpan nomor itu. Raina juga pernah memposting nomor
telponnya di media sosial, untuk urusan promosi maupun bisnis yang sedang ia
tekuni tapi aku masih malu-malu untuk menyimpan nomornya dan hari ini tak lagi
aku sia-siakan kesempatan itu.
Selang
beberapa hari, kami saling berkomunikasi melalui grup tersebut, dan di hari
ketiga setelah grup itu terbentuk, saat aku sedang menjelajahi deretan WA story di Hpku aku mendapati WA story milik Raina. Hatiku senang bukan
main, karena itu artinya dia juga sudah menyimpan nomorku di kontak WA nya. Aku
membalas WA storynya dan sejak saat
itu kami mulai sering berbagi cerita di jaringan pribadi WA.
Sempat
sekali aku keluar dari grup karena ada masalah dengan salah seorang di antara
mereka yang ada di grup tersebut dan tak kusangka Raina adalah orang yang
begitu kecewa dengan tindakanku ini. Dia sempat berhenti menghubungiku, chatku tak digubrisnya hingga pada suatu
hari ia luapkan seluruh kekecewaannya padaku. Dia bilang keluar dari grup
adalah cara seorang anak kecil mengatasi masalah. Dia mengaku dia tak pernah
bersikap dewasa dan selalu merasa dirinya adalah anak kecil, tapi tak pernah
sedetikpun ketika sedang ada masalah, ia justru memilih untuk keluar grup yang
sebetulnya grup itu dibuat untuk memudahkan satu dan lainnya berkomunikasi.
Dia
juga mengutarakan betapa kecewanya ia dengan sikapku yang tadinya ia pikir akan
lebih dewasa dalam menyikapi masalah. Setelah panjang percakapan kami, akhirnya
aku bersedia jika ia ingin memasukkanku kembali ke grup.
Bukan
merasa aneh dan benci karena dari kekecewaannya justru ia terlihat seperti
mengatur hidupku. Tapi aku justru semakin menyayanginya, aku tak pernah tahu
bila ia begitu peduli terhadapku sampai ia tak rela aku keluar dari lingkaran
pertamanan yang diikat oleh grup itu. Setelah aku kembali ke grup, semua
berjalan normal kembali. Aku dan Raina kembali bercakap-cakap di WA mengenai
apapun yang sebenarnya itu jarang sekali aku lakukan dengan yang lain.
Jujur,
aku hanya ingin membalas chat orang
yang benar-benar sedang membutuhkanku saja dan pembahasan yang sangat penting.
Dan sangat jarang aku meladeni chat
yang hanya berisi “Assalamualikum Owie, sedang apa?” atau bahkan “Owie, sudah
makan?” chat yang isinya hanya
percakapan ringan dan tak penting.
Tapi,
entah mengapa justru Raina adalah orang yang kuperlakukan jauh berbeda dari
yang lain, dia sering sekali memulai percakapan dengan hanya mengirim kata
“Owie ...” satu kata itu justru merembet menjadi percakapan panjang yang kadang
membuatku kesulitan tidur. Sudah kuduga, Raina memang mahir dalam hal menulis,
sering kali ia merayuku dengan kata-kata yang ia tulis dan kuakui itu selalu
berhasil membuatku tersipu malu dan tersenyum senyum sendiri di tengah malam.
Sama
halnya di media sosial lain, aku juga tak pernah melewati story yang Raina buat di WA.
Bahkan
akhir akhir ini Raina merengek padaku agar aku mau mengangkat telpon darinya. Mana
mungkin! Aku adalah orang yang sangat pemalu dan sangat penakut, apalagi dalam
hal mengangkat telpon dari orang lain. Aku dan dia baru saling mengenal
beberapa minggu ini, tapi Raina tak pernah sungkan berbagi cerita denganku
bahkan sekarang dia merengek seperti anak kecil karena ingin berbicara padaku
melalui telpon.
Dia
bilang padaku, “Owie dengarkan saja aku bicara, nggak apa-apa kok kalau Owie
tidak mau bicara.”
“Yakin?”tanyaku
“Iya,
lagipula wanita lembut mana yang tega mendengar temannya berbicara sendiri
terus menerus, iya kan?” jawabnya begitu PD.
“Jadi
kamu sudah yakin aku akan bicara di telpon itu?
“Tentu
saja!”
Di
percobaannya yang ke-3, akhirnya aku mau menekan tombol hijau pada ponselku
saat ia menelpon. Dia berbicara apapun yang ingin ia sampaikan, suaranya
terdengar lebih halus dan lucu kali ini dan sepertinya ia tidak peduli apakah
aku mendengarkannya atau tidak. Dia seperti seorang penyiar yang berbicara
sendiri. Tapi, tentu aku mendengarkannya dengan baik. Menit di telpon semakin
berjalan, sesekali ia berhenti bercerita dan memintaku untuk berbicara, tapi
aku tetap sunyi. Sampai akhirnya di menit ke-50, aku membalas nya dengan
suaraku yang malu-malu.
“Alhamdulillah,
akhirnya ngomong juga.” Terdengar desah napas leganya di seberang sana.
Kami
terus berbincang mengenai apapun yang ingin kami bahas malam itu. Sampai
akhirnya terdengar suara Raina yang mulai lelah, kamipun akhirnya mengakhiri
pembicaraan. Namun sebelum itu kusempatkan untuk mengatakan sesuatu padanya.
“Raina,
aku tahu kita baru saja saling kenal. Dan aku tahu aku mungkin saja belum masuk
dalam daftar teman dekatmu. Tapi harus kuakui, sejak hari di mana kita bertemu
di lapangan basket itu. Aku merasakan bahwa aku sungguh menyayangimu seperti
aku menyayangi teman-teman yang sudah kuanggap sebagai saudara.”
Tak
banyak yang kami bicarakan lagi setelah itu, Rainapun mematikan telponnya dan
aku terbelalak setelah melihat riwayat catatan waktu di sana menuliskan 3 jam.
Aku tak pernah sekalipun dalam hidupku melakukan perbincangan di telpon selama
3 jam. Apa yang menyihirku sampai bersedia melakukan perbincangan itu? Hanya
Raina yang berhasil membuatku seperti ini.
Hari
demi hari berlalu menjadi minggu lalu minggupun berlalu menjadi bulan. Sudah
berbulan-bulan kami terus melakukan percakapan di WA dan semakin ke sini entah
mengapa aku semakin bersyukur dan sangat senang bisa berteman dengan Raina,
gadis berkacamata yang tak pernah kehabisan ide untuk membuat orang di
sekitarnya tersenyum. Bukan hanya aku, tapi semua ornag yang kukenal juga
mengenalnya sebagai gadis periang dan penuh candaan.
Sampai
akhirnya, suatu hari untuk kesekian kalinya ia memintaku mengangkat telpon
darinya. Alasan klasik dan tak pernah membuatku bosan mendengarnya adalah
rindu, dia bilang dia rindu sekali mendengar suaraku dan rindu sekali ingin
berbagi cerita padaku. Tapi hari itu aku cukup sibuk, aku punya sederet
kegiatan yang membuatku tak sedetikpun dapat menggubrisnya.
“Owie,
kenapa tidak angkat telponnya?” pesannya masuk ke WA ku.
“Owie?
Aku akan pergi ke panti asuhan hari ini, mau melakukan bakti sosial di sana.”
Pesannya lagi.
“Owie?
Masih sibuk? Tolong angkat telponnya sebelum aku pergi, aku pergi 10 menit
lagi.” Masih belum kubaca pesannya.
“Ya
sudah, aku pergi dulu. Sampai nanti ... Assalamualaikum, Cuma mau ngasih tau,
aku rindu padamu hihi ...”
Aku
tidak terlalu memperhatikan pesan darinya sehingga aku hanya membalas singkat
“Maaf, aku sedang sibuk hubungi aku nanti.”
“Baiklah,
maafkan aku, selesaikanlah tugasmu dan aku ingatkan jangan memikirkanku ya,
nanti pekerjaanmu tidak akan selesai hihi ...”guyonan sekaligus pesan terakhir
yang ia kirim.
Hari
semakin sore, langit jingga mulai terlihat, anginnya sedikit berbeda hari ini
dan bersamaan angin itu aku juga tiba-tiba merasakan hatiku mulai gelisah dan
gusar. Baru kusadari, seharian ini aku tidak mengecek ponselku, dengan segera
aku mengambilnya dari dalam tas. Ada 15 panggilan, dan itu semua dari Raina.
Aku tersenyum-senyum membaca pesan-pesan yang ia kirim, ada rasa kasihan juga.
Tapi biarlah, toh pikirku nanti malam dia akan menelpon lagi. Aku mengetikkan
balasan untuknya dan untuk beberapa pesan dari teman-temanku. Raina masih belum
membalas pesanku, anehnya dia terakhir online 5 jam yang lalu, terlalu lama
ukurannya bagi seorang Raina si Ratu medsos hahaha!
Aku
terus membiarkan jari jempolku mengscroll
down layar WA hingga aku dapati pesan dari temanku yang belum kubalas.
Temanku satu ini satu kampus dengan Raina dan dia kenal betul Raina itu seperti
apa. Bersamaan dengan pesannya yang kubaca di saat itu pula hatiku yang tadi
gelisah berubah menjadi sakit, sakit tak tertahankan bagaikan dihujam ribuan
pedang. Semakin aku membaca pesan itu, darahku seakan mengalir terlalu deras
seakan akan rasanya ia ingin muncrat keluar dari hidungku. Paru-paru ku seperti
sedang terikat oleh sesuatu yang sangat kencang sampai-sampai tak rela
membiarkan satu oksigenpun masuk kedalamnya. Badanku terhuyung, air mataku
mulai membanjiri pipi dan menetes-menetes ke bajuku.
“Assalamualaikum,
Innalillahi wainnailaihirajiun. Telah berpulang ke Rahmatullah, teman kita
Raina Raehan dalam perjalanan pulangnya dari panti asuhan karena kecelakaan.
Mari kita kirimkan alfatihah untuk almarhumah semoga segala amal baik yang ia
lakukan di dunia dapat diterima oleh Allah subhanahuwata’ala. Aamiin,
alamarhumah akan dimakamkan hari ini juga di rumah kediaman orang tuanya ...”
Itulah
pesan yang berhasil membuatku roboh dari tegapnya cara berdiriku. Aku masih tak
percaya Raina begitu cepat pergi meninggalkan dunia ini, meninggalkan sanak saudara
dan teman-teman di sini, dan yang lebih menyakitkan adalah Raina telah
meninggalkanku. Aku berlutut dan menangis sejadi-jadinya. Raina adalah orang
yang memiliki aktivitas lebih banyak dariku, tapi tak pernah sedikitpun ia
acuhkan pesan-pesan dariku, dia selalu punya waktu buatku. Tapi aku? Aku
mendengar suara takdir menjerit keras di telingaku terdengar seperti ia pun tak
tega mengabarkan kabar pedih ini padaku.
Tidak
ada lagi WA story lucu darinya, tidak
ada lagi percakapan tak penting darinya, tidak ada lagi rengekan yang memintaku
mengangkat telpon darinya. Aku __ aku merasa begitu sakit sekarang, dia
mengajarkanku banyak hal, terutama betapa pentingnya menekan tombol hijau pada
layar ponselku.
Sumber :
Diambil dari karya murni seorang Penulis Kalimantan Barat, Inaq Real.
note : Cerita ini tidak seluruhnya nyata, jika ada kesamaan peristiwa dengan yang terjadi pada anda. itu artinya tulisan ini punya makna tersembunyi yang harus anda tahu.
Cerita yang sangat menarik �� jadikan pelajaran untuk diri kita, sesibuk apapun kita jng pernah melalaikan orang-orang yang berada disekeliling kita. Jng pernah merasa bosan di hubungi mau itu melalui cht atau via tlpn, karena suatu saat nti kerinduan yang akan menyiksa kita sndiri.
ReplyDeleteInaqReal