Wednesday, July 2, 2014


KETIKA AKU BISA MENDONGKRAK SEJARAH

Pagi ini, aku harus kembali bekerja di laboratorium milikku sendiri. Mulai dari bangun tidur, aku sudah mengambil baju putih dan kaca mata khusus laboratorium. Aku sangat senang dengan eksperimen, maka dari itu, ketika tabunganku sudah cukup, aku membuat laboratorium pribadi, agar aku bisa bereskperimen sepuasnya di dalam sana. Namaku Irfano, teman-teman sering memanggilku dengan sebutan Nano, aku masih single, dan aku juga termasuk pria muda yang sukses, umurku masih 24 tahun, dengan segala kerja keras aku bisa mencapai suatu kesuksesan. Saat ini pekerjaan utamaku adalah sebagai manager di perusahaan Pertambangan Pontianak, dan pekerjaan sampinganku adalah bereskperimen. Aku sering melakukan eksperimen, dan kali ini, aku akan membuat suatu benda yang mungkin terdengar sangat mustahil. Yup! Aku akan membuat sebuah mesin waktu, aku tahu, ini memang terdengar sangat gila dan mustahil. Tapi, aku sangat penasaran bagaimana rasanya jika aku bisa kembali ke beberapa tahun yang telah lampau.
Hari ini hari Minggu, aku tidak bekerja hari ini. Perutku mulai keroncongan ketika aku menuruni anak tangga yang menghubungkan lantai atas dan ruang tamu. Aku pergi ke dapur untuk mengambil beberapa potong roti dan selai kacang, kubuka kulkas dan mengambil beberapa makanan ringan, kuolesi beberapa roti dengan selai kacang, kemudian kuletakkan roti tersebut di atas pemanggang, sembari menunggu rotiku matang, aku juga membuat segelas susu sapi, tanganku mengaduk-aduk susu di gelas, lalu, mataku tertuju keluar jendela, di luar sana masih sangat sepi, padahal, waktu telah menunjukkan pukul 09:00, tidak ada anak-anak yang sedang berlalu lalang ataupun para orang tua yang beraktivitas, namun, mataku langsung mengarah kepada sebuah Warnet (Warung internet), di sana banyak sekali anak-anak yang sedang menghadapkan wajahnya ke layar monitor, tapi, semua itu memang sudah biasa, di zaman modern ini, hal-hal seperti itu memang sudah menjadi kebiasaan dari kehidupan kami. “Tiiing!!!” bunyi mesin pemanggang mengejutkanku, rotiku sudah siap, sekarang aku harus kembali beraktivitas. Aku membawa sarapanku menuju laboratorium, pintu depan kubuka, angin pagi berhembus masuk ke dalam rumah, “selamat pagi Nano!” teriak Joshua dari seberang rumah.
“pagi” jawabku.
“apa yang akan kau lakukan di Minggu pagi ini?” tanyanya
“biasa” aku tersenyum
“habiskan dulu sarapanmu,” teriaknya bercanda
“tentu saja, akan aku habiskan ini tanpa sisa” jawabku sambil menunjukkan sarapan yang ada di tanganku, dan di balas ibu jari yang terangkat dari tangannya.
Jalan setapak yang menghubungkan antara rumahku dan laboratorium, memang sengaja ku buat. Sinar laser tiba-tiba muncul dari alat pendeteksi, laser kemudian mengidentifikasi diriku dari atas hingga bawah. “berikan kata sandi!” suara yang keluar dari alat tersebut. “Irfano Nano!” jawabku, lalu, secara otomatis, pintu plat baja terbuka dengan sendirinya. Aku masuk dan berjalan menuju meja kerjaku, kuletakkan sarapan ku dan membuka jubah hitam yang menutupi alat eksperimen yang aku ciptakan, yaitu “mesin waktu”, perlu beberapa sentuhan lagi, alat ini baru bisa kugunakan. Aku menjatuhkan diri ke kursi malas yang aku letakkan di lab, aku menyuapkan beberapa potong roti ke dalam mulutku, ku kunyah gumpalan-gumpalan tersebut, lalu ku telan, setelah memakan rotiku, aku menenggak segelas susu sapi. Setelah sarapan, aku langsung melanjutkan bereksperimen. Ku buka jubah hitam yang menutupi mesin waktunya, lalu aku tambahkan beberapa kekurangannya, dengan beberapa peralatan otomotif, dan kepandaian dalam merangkai, alat ini telah dapat di gunakan.
Aku sangat bangga bisa menyelesaikan alat ini dengan cepat, alat yang sangat mustahil untuk di pikirkan oleh banyak orang. Setelah di buat, tentu saja ada yang harus menjadi tikus percobaanku, aku telah menyediakannya, yaitu kucingku, aku rekatkan di badannya sebuah kamera dan perekam suara, setelah itu, aku letakkan dia di dalam sebuah kotak yang sudah ku rancang, aku sedikit gugup ketika harus menekan tombol-tombolnya, menarik nafas panjang, kuatur waktunya dan kuatur beberapa kapasitas yang diperlukan, tinggal 1 tombol yang belum ku tekan, yaitu tombol “Tansfer”, dengan percaya diri, diriku menekan tombol tersebut dan akhirnya terjadi pentransferan dari tahun 3030 ke tahun 1980 di Kota Pontianak. Sinar-sinar yang memancar dari kotak mesin waktu, membuatku semakin gugup akan keberhasilan alat ini, lalu, sinar tersebut menghilang, dan aku cek ke dalam, kucingku juga menghilang, dengan segera aku pergi menghadap layar monitorku, melihat apakah sekarang kucingku sedang berada di tahun 80 an, setelah ku cek semuanya, aku tidak melihat apa-apa di layar monitorku, layar monitornya tiba-tiba runyam, aku khawatir akan kucingku, jadi aku tekan kembali tombol yang betuliskan “reverse” untuk mengembalikan kucingku ke tahun 3030, sinar-sinar yang memancar terjadi lagi, dan terdengar suara gemuruh yang begitu keras, setelah semua itu selesai, aku melihat, kucingku telah kembali, kucingku baik-baik saja tanpa ada sedikit luka di tubuhnya, tapi, kenapa kameranya tidak berfungsi? Aku lumayan stress memikirkan masalah ini, butuh waktu beberapa bulan untuk bisa menyelesaikan sebuah alat yang sangat rumit dan bisa di bilang mustahil! Aku benar-benar bingung, apa yang salah dengan kameranya, setelah aku tes di lab ku, kamera tersebut baik-baik saja, gambar yang di ambilnya pun sangat jernih. Aku coba mengecek yang lainnya, dengan sangat teliti, tidak ada satu pun kerusakan yang terjadi, dan semuanya baik-baik saja, akhirnya aku memutuskan untuk mencobanya sendiri, semua sudah ku atur, dan tombol transfer sudah ku tekan, aku langsung memasuki kotak dan menunggu apa yang akan terjadi setelah ini. Ketika semuanya terjadi, aku merasakan badanku seperti tercabik-cabik, sangat sakit, dan aku tidak ingat apa-apa lagi, setelah merasakan itu.
Suara gaduh terdengar di telingaku ketika aku membuka mata, tiba-tiba aku di kagetkan dengan orang-orang yang sangat aneh memperhatikanku. “udah bangon, mintak aek puteh” suara yang keluar dari bibir seorang ibu-ibu, aku merasa tidak asing dengan bahasa yang ia pakai, nenekku pernah mengajariku menggunakan bahasa ini, kalau tidak salah, bahasa yang ia pakai adalah bahasa melayu Pontianak. Tiba-tiba dia menyodorkan segelas air putih menggunakan gelas plastic yang kuno, modelnya tidak sebagus gelas-gelas di rumahku, setelah menenggak beberapa kali, aku baru tersadar, bahwa terakhir kali, aku sedang mencoba mesin waktu yang aku rancang sendiri. Aku berusaha berdiri dari tempat yang aku duduki, dengan pakaian laboratorium yang aku pakai membuat mereka heran, aku berjalan mendekati sebuah jendela, di luar ternyata banyak sekali warga menunggu, dan mereka heran melihat penampilanku. “nak, kau dari mane?” Tanya seorang bapak-bapak, yang mengagetkanku.
“hmm,,, saya tidak ingat pak,” jawabku dengan keadaan sangat bingung.
“oh,,, istirahatlah dulok, ganti baju kau dan istri bapak udah siapkan makan” katanya sambil membawaku masuk ke dalam ruang tengah.
“pak, ini tahun berapa ya?” tanyaku penasaran, karena melihat model arsitektur rumah yang sangat jadul.
“wah, kau benar-benar ndak ingat ini taon berape? Ini taon 1980 nak, kenape?”
“hah! Tidak pak, saya hanya bertanya” Ternyata, kerja kerasku selama berbulan-bulan, akhirnya berhasil, aku bisa kembali ke tahun 1980, ini benar-benar luar biasa!
Setelah makan dan mengganti bajuku, aku berkeliling desa, di sini sangat ramai, anak-anak bermain dan para orang dewasa sedang bekerja di sawah. Aku bingung dengan permainan anak-anak yang sedang di mainkan, ada yang melompat-lompat di dalam sebuah kotak yang mereka gambar menggunakan tanah, dan ada pula yang bermain dengan beberapa buah biji kopi. Aku duduk di atas anak tangga setelah berkeliling, di depan rumah Pak herman, Bapak yang menjadi ayah angkatku di tahun ini, di depan rumahnya banyak sekali anak-anak bermain, aku memperhatikan kelincahan mereka, di tahun 3030, permainan ini tidak pernah di mainkan di komplekku, anak-anak di sana hanya sering bermain dengan computer mereka. Tiba-tiba seorang anak kecil menarik tanganku, dan menyuruhku ikut bermain. “apa nama permainan ini?” tanyaku kagok.
“ ini namenye maen tabak, tak tau ke bang?” seorang anak yang sangat kecil ini, mengajariku bermain tabak.
Banyak tawa ketika kami bermain, apalagi, ketika aku harus menjadi orang yang sangat awam dalam permainan ini, selain bermain tabak, aku di ajari bermain congklak, getah, tapok pipit dan kejar-kejaran, sore hari yang penuh dengan keringat, serta kegembiraan.
Hari semakin sore, anak-anak sudah pulang ke rumah mereka masing-masing, begitu pula aku, aku langsung membersihkan diri dari bau yang tidak sedap dan lumpur yang mengotori kakiku. Jujur saja, aku tidak pernah merasakan kegembiraan seperti ini sebelumnya, di tahun 3030, aku selalu merasa tertekan dengan semua pekerjaan yang semakin menumpuk. Tapi di sini aku benar-benar merasakan relaksasi yang sangat luar biasa. Sekarang waktunya aku pergi membersihkan diri, ketika sampai di dalam kamar mandi, aku kebingungan. “Pak Herman, saya mandi pakai apa ya pak?”
“itu kan ade gayung, pakai itu lah…” jawab Pak Herman sambil menunjukkan sebuah gayung.
“ini pak? Apakah tidak ada shower?”
“untok ape pake tower?” Tanya Pak Herman.
“b,,bukan tower pak, tapi, shower, S-H-O-W-E-R!” ulangku
“oh sower,,, ape tu?”
Aku lupa bahwa ini adalah tahun 80 an, tidak mungkin Pak Herman tahu soal shower. “tidak jadi pak”
Badanku sudah wangi dan hari sudah sangat gelap, aku kesulitan berjalan di dalam rumah Pak Herman, karena di tahun ini belum ada listrik, mungkin ini juga penyebab kenapa kameraku tidak berfungsi di tahun 80 an. Pak Herman hanya menggunakan lilin. BRAAK!!! Tiba-tiba diriku menabrak dinding kamar. “aduuuh!!! Ih,,, kenapa dindingnya ada di sini sih! Nyusahin aja, udah tau gelap!” omelku pada diri sendiri. Lalu, aku di minta untuk menikmati makan malam yang telah di buat oleh Bu Herman, aku duduk di antara Bapak dan Bu Herman, aku melihat makan malam kali ini sangat berbeda, model makanan ini mirip dengan muntah kucingku. “bu, ini makanan apa?”
“ini namenye bubur pedas, enak, cobe lah lok sikit”
Aku agak ragu mau menyoba makanan ini, tapi, apa salahnya kalau hanya sedikit. Perlahan-lahan aku menyuapkan sesendok bubur pedas ke dalam mulut, dan perlahan-lahan aku merasakan bumbu yang ada di dalamnya. Ini tidak buruk, walaupun bentuknya mirip muntah kucing, tapi, rasanya sangat luar biasa enak. Selain dengan santapan yang lezat ini, aku merasakan tali kekeluargaan yang sangat erat, aku di kelilingi dua orang yang terlihat sangat harmonis, apalagi ketika berkumpul, aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya, aku merasa lengkap dengan kehadiran keluarga, di tahun 3030, aku tidak tinggal bersama Mama dan Papa, aku memilih untuk tinggal sendiri, ketika aku sudah memiliki pekerjaan, dan setelah pekerjaan itu membuat waktu senggangku berkurang, aku jarang bahkan tidak pernah berkumpul dengan mereka lagi, seandainya saja, Pak dan Bu Herman ini adalah Mama dan Papa.
Hari sudah semakin larut, waktunya diriku untuk beristirahat. Dengan bantal kecil beralaskan tikar tipis, aku tidur bersama Pak Herman, tidurku sedikit gelisah, karena permukaan yang kasar, berkali-kali diriku terbangun dan membenarkan posisi yang enak untuk tidur.
“ayo! Siape yang paleng kuat ngangkat ini!?” teriakan dari luar rumah, membisingkan telingaku, aku membuka mata, dan sekelebat cahaya masuk ke dalamnya, ternyata ini sudah pagi. Aku bangun dari tidurku dan melihat keluar jendela, beberapa anak sedang membawa karung-karung, dengan segera, aku mencuci muka dan berlari menghampiri salah satu dari mereka. “hei, tunggu!” aku melihat anak laki-laki yang satu ini mengangkat sekarung jagung. “perlu bantuan?” tanyaku
Bocah itu melihat wajahku “hei abang, endak bang, ini ringan, abang mau nyobe gak ke?”
“hmm,,, boleh”
Bocah itu menaruh sekarung jagung di punggungku, aku langsung tersungkur ke atas tanah, karena tidak kuat mengangkat beban seberat itu. “yang benar saja, ini yang harus kamu angkat setiap hari? Untukku saja sudah sangat berat, bagaimana kamu bisa bilang bahwa ini ringan?”
“bang, ini udah ringan bang! Biasenye kamek ngangkat 2 karong.”
“tidak mungkin!” jawabku sambil berusaha mengangkat karung tersebut.
Alih-alih aku seret karung berat itu, sampai ke pabrik pengolahnya. Sepanjang perjalanan, aku banyak mengobrol dengan bocah itu, namanya Simon, dia memang anak yang rajin dan baik, dia rela bekerja demi membantu kedua orang tuanya. Sesampainya di pabrik, aku menemani Simon bekerja mengupas kulit jagung, berkilo-kilo jagung sudah siap untuk dikupas, aku juga ikut membantunya, baru sepuluh jagung, tanganku sudah terasa pegal dan gatal. “apakah harus setiap hari kau melakukan ini?” tanyaku.
“iye bang” jawab Simon singkat
“oh ya, kenapa tidak sekolah?”
“mane ade duet bang, makenye kamek kerje, sukor-sukor bise makan, nak sekolah segale, duet dari mane?” jawabnya sambil terus bekerja.
Aku benar-benar terenyuh ketika mendengar perkataannya. Dulu, aku selalu di tuntut untuk bersekolah, dan tidak pernah menyentuh benda-benda kasar seperti ini. Aku benar-benar malu jika dibandingkan dengannya, walaupun aku sudah menjadi pengusaha sukses, tetap saja aku masih menjadi lelaki lemah. Tangan mungilnya yang lincah, membuatku hampir meneteskan air mata, dan baru kali ini aku melihat ada bocah yang rela tidak sekolah demi keluarganya, bahkan bocah ini lebih perkasa dari anak-anak zaman modern. Setelah bekerja, Simon mengajakku ke suatu tempat, di sana, banyak anak-anak yang bermain, ada yang membuatku menganga, yaitu ketika seorang anak sedang menaiki bambu tinggi, dan berjalan dengan alat itu, kalau di tahun 3030, benda ini seperti kaki badut sirkus yang sangat tinggi. “benda apa itu?”
“itu namenye Egrang bang! Yok kesana!” ajak Simon.
Sesampainya di sana, aku melihat beberapa anak perempuan dan laki-laki sedang belajar menari, aku juga tidak pernah melihat tarian ini. Simon mengajakku ke sanggar tersebut dan memperkenalkan aku dengan Lisa, seorang pelatih tari, aku agak canggung ketika tiba-tiba Simon menarikku untuk ikut menari. “apa nama tarian ini?”
“ini namenye tari Dayak bang, tarian khas Pontianak, masak abang tadak tau!”
Aku hanya tersenyum ketika Lisa mengajariku menari, jari-jari lentiknya benar-benar lembut. Sampai hari semakin sore, dan aku baru teringat bahwa aku sudah dua hari di zaman ini. Seharusnya tadi pagi, aku sudah berangkat kerja dan pulang larut, tapi sekarang, aku masih di sini dan tidak bekerja. Malam hari, aku duduk di teras rumah Pak Herman, malam yang gelap ini diterangi dengan sinar bulan yang sangat terang. Aku benar-benar mengambil banyak pelajaran selama dua hari di sini, tarian, permainan dan kekeluargaan.
Hari ketiga, aku harus pulang ke zaman modern. “Pak, terima kasih ya, atas kebaikan bapak, hari ini saya harus pulang.”  
“iye, hati-hati ye, laen kali, maen agik lah ke sini” jawab Pak Herman
“nanti, ibu buatkan bubur pedas agik” kata Bu Herman
“I,,iya bu, mungkin saya akan kembali lagi kemari.” Jawabku sambil menyalami mereka.
Aku berpamitan dengan orang-orang di sana, termasuk Simon. “Simon! Kamu jangan jadi anak nakal ya! Kamu harus tetap membantu kedua orang tuamu. Oke!”
“oke bang!” jawabnya bersemangat.
Walaupun hanya dua hari di zaman ini, aku benar-benar tidak bisa melupakan semua pelajaran yang aku dapatkan di sini. Aku menahan air mataku agar tidak keluar, lalu, aku mulai menapakkan kaki ke hutan tempat di mana warga desa menemukanku, sesampainya di hutan, pintu keluar dari mesin waktu masih menyala. Aku menarik napas panjang dan mengambil ancang-ancang untuk melompat ke portal mesin waktu, beberapa meter aku berdiri dari portal, dan aku mulai berlari hingga menghilang dari tempat itu. Rasanya masih seperti ketika aku pergi, tubuhku seakan tercabik-cabik, lalu kembali utuh.
Suara kucing kesayanganku terdengar di luar sana, aku mulai membuka mata, dan suasana tampak berbeda, aku berada di dalam sebuah kotak plat baja yang dingin, dan dari jendela kecil kotak tersebut, kucingku sedang mengeong-ngeong. Aku sudah kembali ke tahun 3030, aku langsung keluar lab, di luar sana masih terlihat sekitar pukul setengah sepuluh pagi. Aku berjalan menapaki jalan setapak dari labku, dan aku benar-benar merasa lapar.
“hei kawan, bajumu bagus juga, apakah itu hasil dari eksperimenmu? haha!!!” teriak tetanggaku mengejek.
Aku langsung memandang penampilanku, ya ampun! Aku masih memakai pakaian tahun 80 an, ini benar-benar ketinggalan jaman jika di pakai di zaman modern ini, baju dan kaca mata laboratoriumku masih tertinggal di sana. “hmm,,, mungkin, sudah dulu ya, aku ingin makan siang dulu, aku benar-benar lapar”
“hah! Bukankah baru 30 menit lalu kau menyantap sarapanmu, dengan roti selai kacang dan segelas susu?” katanya heran.
Aku juga bingung, jadi, dengan senyuman aku langsung berlari masuk ke rumah. Ini benar-benar gila! Aku sudah dua hari berada di tahun 80 an, tapi, di dunia nyata aku baru meninggalkan rumah selama 30 menit, kejadian luar biasa!
Beberapa minggu setelah mencoba mesin waktuku, aku membangun sebuah sanggar tari dayak dan taman bermain, yang meliputi permainan kuno seperti tapok pipit, lompat getah, egrang, congklak, kejar-kejaran dan masih banyak lagi. Siapa sangka, ternyata, anak-anak di sini menyukai permainan baru mereka yang lebih sehat dan dapat bersosialisasi kepada teman-teman mereka. Karena keberhasilanku mendongkrak kembali budaya kuno Pontianak yang sudah lama terkubur oleh zaman dan peradaban, Presiden Indonesia memberiku penghargaan sebagai pemuda yang telah mengembalikan sejarah Kota Pontianak. Disamping itu, saat ini, aku juga sudah bisa menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah orang tuaku, dan berkumpul bersama. Jika saja dari dulu aku sadar semua ini memang bisa membuatku lebih bahagia, Kota Pontianak pasti sudah menjadi kota yang sehat dan semua sejarah, tidak akan terkubur selama ini.

TAMAT

1 comment:

Takdir Menjerit Padaku ... Jiwaku masih terasa tak di sini, rasanya seperti ia terhuyung kesana kemari oleh angin sore. Aku merasa ke...

Baca Ini Dulu Biar sah!