KETIKA
AKU BISA MENDONGKRAK SEJARAH
Pagi ini, aku harus
kembali bekerja di laboratorium milikku sendiri. Mulai dari bangun tidur, aku
sudah mengambil baju putih dan kaca mata khusus laboratorium. Aku sangat senang
dengan eksperimen, maka dari itu, ketika tabunganku sudah cukup, aku membuat
laboratorium pribadi, agar aku bisa bereskperimen sepuasnya di dalam sana.
Namaku Irfano, teman-teman sering memanggilku dengan sebutan Nano, aku masih
single, dan aku juga termasuk pria muda yang sukses, umurku masih 24 tahun,
dengan segala kerja keras aku bisa mencapai suatu kesuksesan. Saat ini pekerjaan
utamaku adalah sebagai manager di perusahaan Pertambangan Pontianak, dan
pekerjaan sampinganku adalah bereskperimen. Aku sering melakukan eksperimen,
dan kali ini, aku akan membuat suatu benda yang mungkin terdengar sangat
mustahil. Yup! Aku akan membuat sebuah mesin waktu, aku tahu, ini memang
terdengar sangat gila dan mustahil. Tapi, aku sangat penasaran bagaimana
rasanya jika aku bisa kembali ke beberapa tahun yang telah lampau.
Hari ini hari Minggu,
aku tidak bekerja hari ini. Perutku mulai keroncongan ketika aku menuruni anak
tangga yang menghubungkan lantai atas dan ruang tamu. Aku pergi ke dapur untuk
mengambil beberapa potong roti dan selai kacang, kubuka kulkas dan mengambil
beberapa makanan ringan, kuolesi beberapa roti dengan selai kacang, kemudian
kuletakkan roti tersebut di atas pemanggang, sembari menunggu rotiku matang,
aku juga membuat segelas susu sapi, tanganku mengaduk-aduk susu di gelas, lalu,
mataku tertuju keluar jendela, di luar sana masih sangat sepi, padahal, waktu
telah menunjukkan pukul 09:00, tidak ada anak-anak yang sedang berlalu lalang
ataupun para orang tua yang beraktivitas, namun, mataku langsung mengarah
kepada sebuah Warnet (Warung internet), di sana banyak sekali anak-anak yang
sedang menghadapkan wajahnya ke layar monitor, tapi, semua itu memang sudah
biasa, di zaman modern ini, hal-hal seperti itu memang sudah menjadi kebiasaan
dari kehidupan kami. “Tiiing!!!” bunyi mesin pemanggang mengejutkanku, rotiku
sudah siap, sekarang aku harus kembali beraktivitas. Aku membawa sarapanku
menuju laboratorium, pintu depan kubuka, angin pagi berhembus masuk ke dalam
rumah, “selamat pagi Nano!” teriak Joshua dari seberang rumah.
“pagi” jawabku.
“apa yang akan kau
lakukan di Minggu pagi ini?” tanyanya
“biasa” aku tersenyum
“habiskan dulu
sarapanmu,” teriaknya bercanda
“tentu saja, akan aku
habiskan ini tanpa sisa” jawabku sambil menunjukkan sarapan yang ada di
tanganku, dan di balas ibu jari yang terangkat dari tangannya.
Jalan setapak yang
menghubungkan antara rumahku dan laboratorium, memang sengaja ku buat. Sinar laser
tiba-tiba muncul dari alat pendeteksi, laser kemudian mengidentifikasi diriku
dari atas hingga bawah. “berikan kata
sandi!” suara yang keluar dari alat tersebut. “Irfano Nano!” jawabku, lalu,
secara otomatis, pintu plat baja terbuka dengan sendirinya. Aku masuk dan
berjalan menuju meja kerjaku, kuletakkan sarapan ku dan membuka jubah hitam
yang menutupi alat eksperimen yang aku ciptakan, yaitu “mesin waktu”, perlu
beberapa sentuhan lagi, alat ini baru bisa kugunakan. Aku menjatuhkan diri ke
kursi malas yang aku letakkan di lab, aku menyuapkan beberapa potong roti ke
dalam mulutku, ku kunyah gumpalan-gumpalan tersebut, lalu ku telan, setelah
memakan rotiku, aku menenggak segelas susu sapi. Setelah sarapan, aku langsung
melanjutkan bereksperimen. Ku buka jubah hitam yang menutupi mesin waktunya,
lalu aku tambahkan beberapa kekurangannya, dengan beberapa peralatan otomotif,
dan kepandaian dalam merangkai, alat ini telah dapat di gunakan.
Aku sangat bangga bisa
menyelesaikan alat ini dengan cepat, alat yang sangat mustahil untuk di
pikirkan oleh banyak orang. Setelah di buat, tentu saja ada yang harus menjadi
tikus percobaanku, aku telah menyediakannya, yaitu kucingku, aku rekatkan di
badannya sebuah kamera dan perekam suara, setelah itu, aku letakkan dia di
dalam sebuah kotak yang sudah ku rancang, aku sedikit gugup ketika harus
menekan tombol-tombolnya, menarik nafas panjang, kuatur waktunya dan kuatur
beberapa kapasitas yang diperlukan, tinggal 1 tombol yang belum ku tekan, yaitu
tombol “Tansfer”, dengan percaya diri, diriku menekan tombol tersebut dan
akhirnya terjadi pentransferan dari tahun 3030 ke tahun 1980 di Kota Pontianak.
Sinar-sinar yang memancar dari kotak mesin waktu, membuatku semakin gugup akan
keberhasilan alat ini, lalu, sinar tersebut menghilang, dan aku cek ke dalam,
kucingku juga menghilang, dengan segera aku pergi menghadap layar monitorku,
melihat apakah sekarang kucingku sedang berada di tahun 80 an, setelah ku cek
semuanya, aku tidak melihat apa-apa di layar monitorku, layar monitornya
tiba-tiba runyam, aku khawatir akan kucingku, jadi aku tekan kembali tombol
yang betuliskan “reverse” untuk mengembalikan kucingku ke tahun 3030,
sinar-sinar yang memancar terjadi lagi, dan terdengar suara gemuruh yang begitu
keras, setelah semua itu selesai, aku melihat, kucingku telah kembali, kucingku
baik-baik saja tanpa ada sedikit luka di tubuhnya, tapi, kenapa kameranya tidak
berfungsi? Aku lumayan stress memikirkan masalah ini, butuh waktu beberapa
bulan untuk bisa menyelesaikan sebuah alat yang sangat rumit dan bisa di bilang
mustahil! Aku benar-benar bingung, apa yang salah dengan kameranya, setelah aku
tes di lab ku, kamera tersebut baik-baik saja, gambar yang di ambilnya pun
sangat jernih. Aku coba mengecek yang lainnya, dengan sangat teliti, tidak ada
satu pun kerusakan yang terjadi, dan semuanya baik-baik saja, akhirnya aku
memutuskan untuk mencobanya sendiri, semua sudah ku atur, dan tombol transfer
sudah ku tekan, aku langsung memasuki kotak dan menunggu apa yang akan terjadi setelah
ini. Ketika semuanya terjadi, aku merasakan badanku seperti tercabik-cabik,
sangat sakit, dan aku tidak ingat apa-apa lagi, setelah merasakan itu.
Suara gaduh terdengar
di telingaku ketika aku membuka mata, tiba-tiba aku di kagetkan dengan orang-orang
yang sangat aneh memperhatikanku. “udah bangon, mintak aek puteh” suara yang
keluar dari bibir seorang ibu-ibu, aku merasa tidak asing dengan bahasa yang ia
pakai, nenekku pernah mengajariku menggunakan bahasa ini, kalau tidak salah,
bahasa yang ia pakai adalah bahasa melayu Pontianak. Tiba-tiba dia menyodorkan
segelas air putih menggunakan gelas plastic yang kuno, modelnya tidak sebagus
gelas-gelas di rumahku, setelah menenggak beberapa kali, aku baru tersadar,
bahwa terakhir kali, aku sedang mencoba mesin waktu yang aku rancang sendiri.
Aku berusaha berdiri dari tempat yang aku duduki, dengan pakaian laboratorium
yang aku pakai membuat mereka heran, aku berjalan mendekati sebuah jendela, di
luar ternyata banyak sekali warga menunggu, dan mereka heran melihat
penampilanku. “nak, kau dari mane?” Tanya seorang bapak-bapak, yang
mengagetkanku.
“hmm,,, saya tidak
ingat pak,” jawabku dengan keadaan sangat bingung.
“oh,,, istirahatlah
dulok, ganti baju kau dan istri bapak udah siapkan makan” katanya sambil membawaku
masuk ke dalam ruang tengah.
“pak, ini tahun berapa
ya?” tanyaku penasaran, karena melihat model arsitektur rumah yang sangat
jadul.
“wah, kau benar-benar
ndak ingat ini taon berape? Ini taon 1980 nak, kenape?”
“hah! Tidak pak, saya
hanya bertanya” Ternyata, kerja kerasku selama berbulan-bulan, akhirnya
berhasil, aku bisa kembali ke tahun 1980, ini benar-benar luar biasa!
Setelah makan dan
mengganti bajuku, aku berkeliling desa, di sini sangat ramai, anak-anak bermain
dan para orang dewasa sedang bekerja di sawah. Aku bingung dengan permainan
anak-anak yang sedang di mainkan, ada yang melompat-lompat di dalam sebuah
kotak yang mereka gambar menggunakan tanah, dan ada pula yang bermain dengan
beberapa buah biji kopi. Aku duduk di atas anak tangga setelah berkeliling, di
depan rumah Pak herman, Bapak yang menjadi ayah angkatku di tahun ini, di depan
rumahnya banyak sekali anak-anak bermain, aku memperhatikan kelincahan mereka,
di tahun 3030, permainan ini tidak pernah di mainkan di komplekku, anak-anak di
sana hanya sering bermain dengan computer mereka. Tiba-tiba seorang anak kecil
menarik tanganku, dan menyuruhku ikut bermain. “apa nama permainan ini?”
tanyaku kagok.
“ ini namenye maen
tabak, tak tau ke bang?” seorang anak yang sangat kecil ini, mengajariku
bermain tabak.
Banyak tawa ketika kami
bermain, apalagi, ketika aku harus menjadi orang yang sangat awam dalam
permainan ini, selain bermain tabak, aku di ajari bermain congklak, getah,
tapok pipit dan kejar-kejaran, sore hari yang penuh dengan keringat, serta
kegembiraan.
Hari semakin sore,
anak-anak sudah pulang ke rumah mereka masing-masing, begitu pula aku, aku
langsung membersihkan diri dari bau yang tidak sedap dan lumpur yang mengotori
kakiku. Jujur saja, aku tidak pernah merasakan kegembiraan seperti ini
sebelumnya, di tahun 3030, aku selalu merasa tertekan dengan semua pekerjaan
yang semakin menumpuk. Tapi di sini aku benar-benar merasakan relaksasi yang
sangat luar biasa. Sekarang waktunya aku pergi membersihkan diri, ketika sampai
di dalam kamar mandi, aku kebingungan. “Pak Herman, saya mandi pakai apa ya
pak?”
“itu kan ade gayung,
pakai itu lah…” jawab Pak Herman sambil menunjukkan sebuah gayung.
“ini pak? Apakah tidak
ada shower?”
“untok ape pake tower?”
Tanya Pak Herman.
“b,,bukan tower pak,
tapi, shower, S-H-O-W-E-R!” ulangku
“oh sower,,, ape tu?”
Aku lupa bahwa ini
adalah tahun 80 an, tidak mungkin Pak Herman tahu soal shower. “tidak jadi pak”
Badanku sudah wangi dan
hari sudah sangat gelap, aku kesulitan berjalan di dalam rumah Pak Herman,
karena di tahun ini belum ada listrik, mungkin ini juga penyebab kenapa
kameraku tidak berfungsi di tahun 80 an. Pak Herman hanya menggunakan lilin.
BRAAK!!! Tiba-tiba diriku menabrak dinding kamar. “aduuuh!!! Ih,,, kenapa
dindingnya ada di sini sih! Nyusahin aja, udah tau gelap!” omelku pada diri
sendiri. Lalu, aku di minta untuk menikmati makan malam yang telah di buat oleh
Bu Herman, aku duduk di antara Bapak dan Bu Herman, aku melihat makan malam
kali ini sangat berbeda, model makanan ini mirip dengan muntah kucingku. “bu,
ini makanan apa?”
“ini namenye bubur
pedas, enak, cobe lah lok sikit”
Aku agak ragu mau
menyoba makanan ini, tapi, apa salahnya kalau hanya sedikit. Perlahan-lahan aku
menyuapkan sesendok bubur pedas ke dalam mulut, dan perlahan-lahan aku
merasakan bumbu yang ada di dalamnya. Ini tidak buruk, walaupun bentuknya mirip
muntah kucing, tapi, rasanya sangat luar biasa enak. Selain dengan santapan
yang lezat ini, aku merasakan tali kekeluargaan yang sangat erat, aku di
kelilingi dua orang yang terlihat sangat harmonis, apalagi ketika berkumpul,
aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya, aku merasa lengkap dengan kehadiran
keluarga, di tahun 3030, aku tidak tinggal bersama Mama dan Papa, aku memilih
untuk tinggal sendiri, ketika aku sudah memiliki pekerjaan, dan setelah
pekerjaan itu membuat waktu senggangku berkurang, aku jarang bahkan tidak
pernah berkumpul dengan mereka lagi, seandainya saja, Pak dan Bu Herman ini
adalah Mama dan Papa.
Hari sudah semakin
larut, waktunya diriku untuk beristirahat. Dengan bantal kecil beralaskan tikar
tipis, aku tidur bersama Pak Herman, tidurku sedikit gelisah, karena permukaan
yang kasar, berkali-kali diriku terbangun dan membenarkan posisi yang enak
untuk tidur.
“ayo! Siape yang paleng
kuat ngangkat ini!?” teriakan dari luar rumah, membisingkan telingaku, aku
membuka mata, dan sekelebat cahaya masuk ke dalamnya, ternyata ini sudah pagi.
Aku bangun dari tidurku dan melihat keluar jendela, beberapa anak sedang
membawa karung-karung, dengan segera, aku mencuci muka dan berlari menghampiri
salah satu dari mereka. “hei, tunggu!” aku melihat anak laki-laki yang satu ini
mengangkat sekarung jagung. “perlu bantuan?” tanyaku
Bocah itu melihat
wajahku “hei abang, endak bang, ini ringan, abang mau nyobe gak ke?”
“hmm,,, boleh”
Bocah itu menaruh
sekarung jagung di punggungku, aku langsung tersungkur ke atas tanah, karena
tidak kuat mengangkat beban seberat itu. “yang benar saja, ini yang harus kamu
angkat setiap hari? Untukku saja sudah sangat berat, bagaimana kamu bisa bilang
bahwa ini ringan?”
“bang, ini udah ringan
bang! Biasenye kamek ngangkat 2 karong.”
“tidak mungkin!”
jawabku sambil berusaha mengangkat karung tersebut.
Alih-alih aku seret
karung berat itu, sampai ke pabrik pengolahnya. Sepanjang perjalanan, aku
banyak mengobrol dengan bocah itu, namanya Simon, dia memang anak yang rajin
dan baik, dia rela bekerja demi membantu kedua orang tuanya. Sesampainya di
pabrik, aku menemani Simon bekerja mengupas kulit jagung, berkilo-kilo jagung
sudah siap untuk dikupas, aku juga ikut membantunya, baru sepuluh jagung,
tanganku sudah terasa pegal dan gatal. “apakah harus setiap hari kau melakukan
ini?” tanyaku.
“iye bang” jawab Simon
singkat
“oh ya, kenapa tidak
sekolah?”
“mane ade duet bang,
makenye kamek kerje, sukor-sukor bise makan, nak sekolah segale, duet dari
mane?” jawabnya sambil terus bekerja.
Aku benar-benar terenyuh
ketika mendengar perkataannya. Dulu, aku selalu di tuntut untuk bersekolah, dan
tidak pernah menyentuh benda-benda kasar seperti ini. Aku benar-benar malu jika
dibandingkan dengannya, walaupun aku sudah menjadi pengusaha sukses, tetap saja
aku masih menjadi lelaki lemah. Tangan mungilnya yang lincah, membuatku hampir meneteskan
air mata, dan baru kali ini aku melihat ada bocah yang rela tidak sekolah demi
keluarganya, bahkan bocah ini lebih perkasa dari anak-anak zaman modern.
Setelah bekerja, Simon mengajakku ke suatu tempat, di sana, banyak anak-anak
yang bermain, ada yang membuatku menganga, yaitu ketika seorang anak sedang
menaiki bambu tinggi, dan berjalan dengan alat itu, kalau di tahun 3030, benda
ini seperti kaki badut sirkus yang sangat tinggi. “benda apa itu?”
“itu namenye Egrang
bang! Yok kesana!” ajak Simon.
Sesampainya di sana,
aku melihat beberapa anak perempuan dan laki-laki sedang belajar menari, aku
juga tidak pernah melihat tarian ini. Simon mengajakku ke sanggar tersebut dan
memperkenalkan aku dengan Lisa, seorang pelatih tari, aku agak canggung ketika
tiba-tiba Simon menarikku untuk ikut menari. “apa nama tarian ini?”
“ini namenye tari Dayak
bang, tarian khas Pontianak, masak abang tadak tau!”
Aku hanya tersenyum ketika Lisa
mengajariku menari, jari-jari lentiknya benar-benar lembut. Sampai hari semakin
sore, dan aku baru teringat bahwa aku sudah dua hari di zaman ini. Seharusnya
tadi pagi, aku sudah berangkat kerja dan pulang larut, tapi sekarang, aku masih
di sini dan tidak bekerja. Malam hari, aku duduk di teras rumah Pak Herman,
malam yang gelap ini diterangi dengan sinar bulan yang sangat terang. Aku
benar-benar mengambil banyak pelajaran selama dua hari di sini, tarian,
permainan dan kekeluargaan.
Hari ketiga, aku harus
pulang ke zaman modern. “Pak, terima kasih ya, atas kebaikan bapak, hari ini
saya harus pulang.”
“iye, hati-hati ye,
laen kali, maen agik lah ke sini” jawab Pak Herman
“nanti, ibu buatkan
bubur pedas agik” kata Bu Herman
“I,,iya bu, mungkin
saya akan kembali lagi kemari.” Jawabku sambil menyalami mereka.
Aku berpamitan dengan
orang-orang di sana, termasuk Simon. “Simon! Kamu jangan jadi anak nakal ya!
Kamu harus tetap membantu kedua orang tuamu. Oke!”
“oke bang!” jawabnya
bersemangat.
Walaupun hanya dua hari
di zaman ini, aku benar-benar tidak bisa melupakan semua pelajaran yang aku
dapatkan di sini. Aku menahan air mataku agar tidak keluar, lalu, aku mulai
menapakkan kaki ke hutan tempat di mana warga desa menemukanku, sesampainya di
hutan, pintu keluar dari mesin waktu masih menyala. Aku menarik napas panjang
dan mengambil ancang-ancang untuk melompat ke portal mesin waktu, beberapa
meter aku berdiri dari portal, dan aku mulai berlari hingga menghilang dari
tempat itu. Rasanya masih seperti ketika aku pergi, tubuhku seakan
tercabik-cabik, lalu kembali utuh.
Suara kucing kesayanganku
terdengar di luar sana, aku mulai membuka mata, dan suasana tampak berbeda, aku
berada di dalam sebuah kotak plat baja yang dingin, dan dari jendela kecil
kotak tersebut, kucingku sedang mengeong-ngeong. Aku sudah kembali ke tahun
3030, aku langsung keluar lab, di luar sana masih terlihat sekitar pukul
setengah sepuluh pagi. Aku berjalan menapaki jalan setapak dari labku, dan aku
benar-benar merasa lapar.
“hei kawan, bajumu
bagus juga, apakah itu hasil dari eksperimenmu? haha!!!” teriak tetanggaku mengejek.
Aku langsung memandang
penampilanku, ya ampun! Aku masih memakai pakaian tahun 80 an, ini benar-benar
ketinggalan jaman jika di pakai di zaman modern ini, baju dan kaca mata
laboratoriumku masih tertinggal di sana. “hmm,,, mungkin, sudah dulu ya, aku
ingin makan siang dulu, aku benar-benar lapar”
“hah! Bukankah baru 30
menit lalu kau menyantap sarapanmu, dengan roti selai kacang dan segelas susu?”
katanya heran.
Aku juga bingung, jadi,
dengan senyuman aku langsung berlari masuk ke rumah. Ini benar-benar gila! Aku
sudah dua hari berada di tahun 80 an, tapi, di dunia nyata aku baru
meninggalkan rumah selama 30 menit, kejadian luar biasa!
Beberapa minggu setelah
mencoba mesin waktuku, aku membangun sebuah sanggar tari dayak dan taman
bermain, yang meliputi permainan kuno seperti tapok pipit, lompat getah,
egrang, congklak, kejar-kejaran dan masih banyak lagi. Siapa sangka, ternyata,
anak-anak di sini menyukai permainan baru mereka yang lebih sehat dan dapat
bersosialisasi kepada teman-teman mereka. Karena keberhasilanku mendongkrak
kembali budaya kuno Pontianak yang sudah lama terkubur oleh zaman dan peradaban,
Presiden Indonesia memberiku penghargaan sebagai pemuda yang telah mengembalikan
sejarah Kota Pontianak. Disamping itu, saat ini, aku juga sudah bisa
menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah orang tuaku, dan berkumpul bersama.
Jika saja dari dulu aku sadar semua ini memang bisa membuatku lebih bahagia,
Kota Pontianak pasti sudah menjadi kota yang sehat dan semua sejarah, tidak
akan terkubur selama ini.
TAMAT
I AM YOUR #1 FANS
ReplyDelete