Thursday, July 3, 2014


MIMPI DI BALIK RERUNTUHAN

Hawa dingin mulai terasa menusuk kulit, ketika seluruh warga sedang sibuk beraktivitas. Matahari yang masih malu-malu menampakkan seluruh tubuhnya, membuat Kota Adiyaman terasa semakin dingin. Suara yang muncul dari berbagai jenis kendaraan yang beraktivitas membuat segalanya menjadi ramai. Pagi ini, tepat pukul enam pagi, seluruh warga kota sudah mulai sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing, ada yang bekerja, sekolah, kuliah dan para pengangguran yang tidak menyerah untuk mencari pekerjaan. Warga yang selalu bertegur sapa dan ramah membuat kota ini terlihat damai dan rukun.
 Sama seperti halnya dengan wanita yang satu ini. Dengan baju panjang dan rok menutupi mata kaki serta berkerudung rapi ini namanya Akasma Nuray Mirza, Ia biasa di panggil Mirza. Dia salah satu mahasiswi Universitas Merkez, yang juga merupakan universitas ternama di Kota Adiyaman. Wanita yang tampak bersahaja dan sangat anggun ini, memang di kenal sebagai wanita muslimah yang sangat kreatif dan kritis dalam menetapkan sesuatu. Pagi ini, di kampus, Ia sedang membaca buku Nick Vujicic, seorang motivator terbaik di dunia, setelah Jim Rohn dan Anthony Robbins. Nick Vujicic atau Nicholas James Vujicic adalah idolanya. Yang membuat Mirza lebih tertarik kepada Nick dari pada dua motivator sebelumnya adalah pria kelahiran Australia ini tidak memiliki kelengkapan fisik seperti dua motivator sebelumnya. Nick mengalami Tetraamelia Syndrome atau gangguan langka yang di tandai dengan tidak lengkapnya empat anggota badan sejak lahir, perjuangannya untuk tetap hidup tanpa kedua tangan dan kedua kaki, membuat Mirza semakin bangga padanya. “Mirza, hari ini kamu ada acara?” suara yang tiba-tiba mengagetkan Mirza dalam suasana tenangnya , ya, suara itu muncul dari bibir sahabatnya Elif.
“astagfirullah, ukhti… mengagetkan saya saja” jawab Mirza dengan suara lembutnya
“maaf ukhti,,, saya hanya ingin bertanya, pulang kuliah, ukhti ada acara atau tidak? Kalau tidak mari kita bicarakan soal komunitas yang akan kita bentuk” kata Elif dengan nada lebih rendah dari sebelumnya.
“oh, tentu saja, hari ini saya tidak ada acara, mari lah kita bicarakan, di mana tempatnya?” sahut Mirza semangat.
“baiklah, sepulang kuliah ini, mari kita semua berkumpul di taman kota, nanti saya beri tahu yang lain.”
“baiklah, terima kasih ukhti, sudah mengingatkan saya.” Ujar Mirza dengan senyum manisnya
“sama-sama, sudah dulu ya ukhti.” Sahut Elif sambil bersalaman dan beranjak dari tempat ia duduk di samping Mirza.
Waktu telah menunjukkan pukul dua siang. Mirza dan teman-temannya sudah berkumpul di sebuah taman kota tidak jauh dari kampus mereka. Elif mulai membuka rapat tersebut dan mempersilahkan Mirza untuk berbicara soal komunitas yang akan di bentuknya. “Assalamualaikum wr.wb. pertama-tama saya mohon maaf karena sudah mengganggu aktivitas ukhti, dan yang kedua saya sangat berterima kasih karena ukhti sudah mau menghadiri rapat kecil-kecilan ini. Langsung saja, jadi, begini, saya dan rekan saya Elif, ingin membentuk suatu komunitas yang insya allah bermanfaat bagi kita dan juga orang lain. Nama komunitas yang kami ingin bentuk adalah “Komunitas Motivator Pemuda”, jadi, di sini kami ingin mengajak ukhti untuk bergabung dalam komunitas kami, guna mewujudkan suatu generasi yang baik dan termotivasi. Kita akan bekerja sama untuk memberi motivasi kepada pemuda yang sedang dalam masalah ataupun tidak.”
Suara lembut namun ada unsur ketegasan di beberapa kalimat, membuat seluruh audience hanya tercengang melihatnya, bukan karena membosankan, tapi, mereka belum berminat untuk mengikuti hal ini, mereka berfikir ini adalah pekerjaan yang berat, apa lagi, harus berurusan dengan generasi. Alih-alih ketika Mirza selesai berbicara dan menutupnya dengan salam, Elif menawarkan kepada mereka untuk mendaftarkan diri bergabung ke dalam komunitas tersebut. Dari dua puluh audience yang datang, hanya 5 orang yang mendaftarkan diri mereka. Seluruh audience di sini semuanya adalah wanita, namun, hanya 5 orang lah yang berani ikut membangun bangsa, selebihnya hanya memikirkan kekhawatiran mereka akan sebuah kegagalan. 5 orang yang ikut komunitas ini, tetap istiqomah dan tetap menjalani seluruh kegiatan sesuai dengan yang sudah di atur oleh Mirza dan Elif. Mereka saling berkerja sama dalam melakukan aktivitasnya, mereka lebih banyak belajar dari buku-buku motivator dan jejaring social soal motivasi.
Baru-baru ini, terdengar berita bahwa Negara Perancis tidak senang dengan perkembangan otomotif di Turki yang sangat pesat. Mobil buatan Negara tersebut baru-baru ini tembus ke pasar Amerika Serikat dengan budget yang sangat tinggi mengalahkan Negara Perancis, Colombia dan Jepang. Dan terdengar kabar bahwa Negara Perancis akan menjatuhkan Negara Turki dari dalam.
Mendengarkan berita tersebut, KMP (Komunitas Motivator Pemuda) berinisiatif untuk mempertahankan Negara mereka. Mirza tampak berfikir namun tetap bersikap tenang. Elif semakin heran  dengan wajah Mirza yang berubah sedikit takut. “kamu baik-baik saja Ukhti?” Elif mulai mendekat dan bertanya.
“tidak, teman-teman, mari mendekat sebentar.” Ujar Mirza sambil membenarkan posisi duduknya di kursi kayu yang lebar.
Teman-teman mereka langsung mengambil posisi duduk merapat dan membentuk lingkaran. Mirza mulai melanjutkan pembicaraannya.
“kalian tahu, apa maksudnya Negara Perancis akan menjatuhkan Negara Turki dari dalam?” tidak ada satu pun yang menjawab, mereka malah saling toleh-menoleh. Dengan segera, Mirza melanjutkan. “baiklah, saya ibaratkan, sebuah rumah megah dan nyaman yang baru saja di bangun. Namun, datang sebuah mobil besar menabrak  beberapa pondasi rumah, hingga rumah tersebut hancur. Kalian mengerti!?” ujar Mirza dengan sedikit penekanan, namun, mereka belum juga mengerti. “baiklah, rumah adalah Negara ini, dan rumah ini bisa berdiri tegak jika pondasi rumahnya juga kuat, dan pondasi ini adalah kita, kita sebagai pemuda penerus generasi di Negara ini. Negara ini bisa berdiri tegak jika generasinya kuat. Kalian tahu apa yang harus kita lakukan? Ya! kita harus memotivasi seluruh pemuda untuk tidak mudah terjerumus dalam hal-hal negative, terutama para pemuda muslim dan muslimah!” setelah mendengar penjelasan Mirza, mereka semua baru mengerti.
Mereka mulai perlahan-lahan memberi motivasi kepada beberapa pemuda di Kota Adiyaman. Sudah 3 hari mereka menjalankan aktivitas tersebut, dengan bantuan Allah SWT, banyak pemuda yang mulai bisa mengetahui jati diri mereka di dalam Negara itu. Akhirnya KMP juga memutuskan untuk pergi ke luar kota dan memberikan motivasi di sana. Sebelum pergi, seluruh anggota KMP meminta izin dengan keluarga untuk misi yang akan mereka kerjakan di luar sana. “Ummi, besok Mirza akan pergi ke kota seberang, Ummi jaga diri ya di rumah.” Kata Mirza sembari duduk di dekat Ibunya.
“iya Mirza, kamu jangan lama-lama ya di sana, semenjak Abi tiada, Cuma kamu yang Ummi punya, jangan lah lama-lama, di sini Ummi tinggal sendirian.” Jawab Ibunya dengan mata berkaca-kaca
 “iya Ummi, Mirza hanya 1 hari di sana”
“dengar putriku, kamu adalah anak Ummi satu-satunya yang bisa Ummi andalkan, kamu adalah calon generasi baru yang berprestasi. Jika suatu hari nanti Ummi tiada, kamu jangan menyerah untuk terus memotivasi pemuda ya nak, jangan kecewakan Ummi” kata-kata Ibunya merasuk ke dalam hati Mirza sehingga membuatnya meneteskan air mata.
“Ummi, jangan lah berkata seperti itu, Mirza berjanji akan jadi anak yang baik, dan Mirza janji akan menjaga Ummi dalam keadaan apapun.” Jawab Mirza dengan tersedu-sedu.
Keesokan harinya tanggal 23 Oktober 1999, KMP mulai pergi ke kota seberang, dengan 1 buah unit mobil pribadi. Berharap mereka bisa menguatkan para pemuda di Negara Turki. Namun, Negara Perancis ternyata bukan hanya ingin menjatuhkan Negara Turki dari dalam tetapi juga dari luar, ketika seluruh warga tengah beraktivitas, ketika semua tidak menyadari apa yang akan terjadi, Negara Perancis datang dengan beberapa pesawat tempur yang melintas di udara wilayah Kota Adiyaman, tepat di atas taman kota, sebuah benda berat yang terbuat dari logam dan berbentuk kerucut di salah satu ujungnya meluncur dari sebuah pesawat dan menuju taman kota yang saat itu tengah ramai mahasiswa dan mahasiswi sedang bersantai. Tiba-tiba!  BOOOM!!!! Terdengar suara yang sangat keras dari taman kota, ledakan terjadi di sana dan mengenai seluruh lingkungan yang berada di sekitar taman, bahkan dengan jarak sangat jauh. Seketika, seluruh bangunan runtuh dan rumah rata dengan tanah, seluruh umat manusia di sana tergeletak tak bernyawa dengan bersimbah darah segar dari tubuh mereka.
Sore hari, KMP telah tiba di kota mereka, alangkah terkejutnya mereka ketika melihat pemandangan tragis di hadapan mereka, gedung-gedung tinggi yang tadinya menjulang mencakar langit kini rata dengan tanah, toko-toko yang tadinya berderet dengan berbagai macam barang dagangan kini tinggal bayangan, warga yang sedang beraktivitas dengan suka cita kini tergeletak di atas tanah dengan luka parah bahkan tanpa nyawa. Mereka mulai berjalan menyusuri kota dengan mobil, seluruh anggota KMP menangis, dan Mirza baru teringat akan Ibunya di rumah, dengan segera Ia kendarai mobil itu dengan kecepatan tinggi, ketika sampai di depan rumah, Mirza turun dengan air mata bercucuran, berlari menghampiri puing-puing rumahnya, dan dia berusaha mencari sosok sang Ibu yang Ia cintai, dengan bantuan teman-temannya, Mirza mengangkat puing-puing dan menjauhkannya, terlihat sebuah tangan tergeletak di atas tanah, dengan cepat Mirza meraih tangan itu, dan menyingkirkan puing-puing yang menutupi bagian tangan tersebut. Memang benar, itu lah sang Ibu yang Ia cintai, sudah tak bernyawa, tangan kanan Ibunya tampak memegang sebuah foto dirinya dan sang Putri tercinta. “UMMIIII!!!!!” teriak Mirza dengan menangis sejadi-jadinya.
Kota Adiyaman sangat terpuruk ketika itu. Angin sore yang bertiupan kencang menerbangkan seluruh debu dari reruntuhan rumah dan gedung-gedung. Mirza berjalan menyusuri jalan yang penuh dengan puing dan orang-orang tak bernyawa, para medis dengan mengendarai ambulance berdatangan mengevakuasi para korban, air mata yang masih bercucuran keluar dari mata cokelatnya, terlihat jelas bahwa dia benar-benar sedih atas kepergian Ibu tercinta. Para orang-orang dari pusat pemerintahan meminta Mirza untuk pergi dari tempat itu dan mengungsi. Tapi, itu di urungkan karena Mirza ingin dirinya berada di kota itu untuk beberapa menit. Mirza berdiri di tengah-tengah taman kota, melihat seluruh kerusakan yang telah diperbuat oleh Negara Perancis. Beberapa menit kemudian, BOOM!!! Ledakan terjadi lagi beberapa meter jauhnya dari taman kota, asap yang di hasilkan dan angin yang bertiup kencang ke arah Mirza menyebabkan dirinya terlempar beberapa meter dari tempat Ia berdiri. Semuanya terasa gelap dan tak ingat apa-apa lagi.
Suara gaduh dan ribut yang di hasilkan di luar sana, pembicaraan yang terdengar samar-samar bercampur aduk di suasana yang masih terpuruk ini. Kelopak mata yang sudah dua hari tertutup, akhirnya terbuka perlahan-lahan, bulu mata yang lentik dan tebal mulai terangkat dan bola mata berlensa cokelat mulai terlihat. Suasana yang terlihat berbeda, tempat tidur kecil, tabung oksigen yang berada di samping ranjang serta selang infuse yang bergelantungan di ruangan tersebut, menandakan bahwa Mirza sedang berada di rumah sakit. Perasaan yang sangat berat dan tertekan membuat Mirza meneteskan air mata. Beberapa menit menangis, sebuah suara mulai terdengar di telinganya “Mirza, itu kah namamu? Kamu sudah mulai membaik” tangan Mirza yang lembut, mengusap air matanya dan Mirza memperhatikan seorang laki-laki bertubuh tegap dan berpakaian putih. “saya Dr. Mahmoed, sudah dua hari kamu di sini.” Lanjut lelaki itu, Mirza masih terdiam, dan mulai menggerakkan tubuhnya, namun, dia tidak bisa merasakan kedua kakinya.
“apa yang terjadi dengan kaki saya?” Tanya Mirza dengan tergesa-gesa
“begini Mirza, dirimu mengalami kelumpuhan di setengah bagian dari tubuhmu, karena kamu terlalu kuat terhempas di tanah dan mengakibatkan tulang punggungmu menjepit urat saraf di bagian belakang, dari pinggang hingga kakimu lumpuh total” Jawab Dr. Mahmoed.
Air mata, yang tadinya baru saja berhenti, sekarang bercucuran kembali. Tiba-tiba dirinya teringat akan teman-teman KMP. “dokter, dimana teman-teman saya? Bolehkah saya menemui mereka?”
“teman-temanmu? Entah lah,,, coba saja kamu lihat, mari saya bantu” sahut Dr. Mahmoed sembari membantu Mirza menduduki kursi rodanya.
Mereka mulai menyusuri lorong rumah sakit, namun, belum ada tanda-tanda keberadaan anggota KMP. Lalu, Mirza meminta untuk memberhentikan kursi rodanya di sebuah papan besar bertuliskan nama-nama korban yang telah meninggal. Sekilas, Mirza melihat nama yang sudah di kenalnya sejak lama, nama yang selama ini berjasa dalam hidupnya, “ELIF KEYLA PERK”, seorang sahabat lamanya yang selama ini menemaninya dalam suka maupun duka. Seketika tangisnya pecah, hatinya remuk ketika mengetahui bahwa orang-orang yang Ia sayangi harus pergi meninggalkan dirinya.
Untuk beberapa bulan, Mirza menjadi orang yang sangat pendiam dan tidak memiliki semangat, mata sembab dan berkantung, menandakan dirinya memang semakin memburuk. Kerudung yang mulai lusuh dan dan baju kurungnya yang tampak sudah tak terurus, mengakibatkan orang-orang berfikir bahwa dirinya adalah wanita gila. Mirza mulai memutar roda di kursinya hingga Ia maju ke depan, kekejaman yang di lakukan Negara Perancis belum juga usai, korban semakin bertambah, para prajurit menyiapkan senjata untuk melawan Negara Perancis. Mirza terus berjalan menyusuri jalan, tak ada satu pun orang yang memperdulikan dirinya. Seluruh dokter tengah sibuk menangani para korban, dengan pandangan kosong, Mirza masih tetap berjalan, debu-debu yang berterbangan tertiup angin, dan suara-suara tangisan mengiringi perjalanannya. Setelah sekitar satu jam menyusuri kota yang telah rata dengan tanah, Mirza berhenti di sebuah tempat yang sering Ia kunjungi, tempat yang sudah sangat berbeda, dan suasana yang juga sangat berbeda. Ya! Taman kota, tempat di mana Ia sering bersantai dengan sahabatnya Elif seusai kuliah. Mirza mulai menggerakkan kursi rodanya mendekat sebuah pohon besar yang masih berdiri, pohon yang dulunya rindang dan nyaman, kini telah di tumpuk berbagai debu putih dan sudah tampak sangat kering. Dengan tangan lembutnya, Mirza menyentuh kulit pohon yang besar itu, kemudian, memori di kepalanya terputar kembali ke belakang mengingat masa-masa dirinya bersama sang sahabat sejati. Ketika mereka sedang membaca sebuah buku tentang motivator, tertawa bersama, serta menangis bersama, di bawah pohon yang sama pula.
Air mata kembali menuruni pipinya, seluruh memori manis yang sudah mereka ukir bersama, sekarang tinggal lah kenangan. Tak sanggup terus-terusan melihat pohon penuh kenangan itu, Mirza menundukkan kepalanya, air matanya jatuh membasahi rok yang Ia pakai, air mata itu tidak henti-hentinya keluar membasahi kelopak dan bulu matanya yang indah. Sekilas, pandangan Mirza tertuju ke sebuah lembaran-lembaran kertas yang berserakan di bawah nya. Terlihat sebuah foto berukuran kecil di kertas tersebut, foto yang benar-benar tak asing, dengan baju kemeja hitam berlengan pendek dan celana kain pendek yang sangat rapi. Tangan Mirza mulai meraih lembaran tersebut, membersihkannya dari debu putih dan mulai telihat sebuah nama bertulisan tebal dengan tanda petik di setiap ujung tulisan tersebut. “Nick Vujicic”, itu adalah foto sang idola yang selalu menginspirasinya, dengan semua tulisan motivasi yang sangat menyentuh, namun, Mirza saat ini tidak sekuat dulu, Ia merasa tak sanggup untuk berdiri tanpa orang-orang tercinta di sekitarnya, Ia baru menyadari bahwa dirinya telah keluar dari jalur semangat hidup, dirinya saat ini tidak seperti dirinya yang dulu, yang selalu kritis dalam melakukan sesuatu dan selalu bersemangat serta menyemangati orang lain terutama para pemuda. Air mata mulai membasahi kertas yang Ia letakkan di atas paha, dan dia pun mulai memutar balikkan kursi rodanya dan kembali ke tempat pengungsian.
Hari sudah semakin sore, para prajurit selalu berlalu-lalang berpatroli menjaga tempat pengungsian. Mirza yang baru sampai dari perjalanannya, mulai terdiam di depan ranjang, matanya masih terlihat sangat sembab, lalu, tangannya mulai meraih foto Nick yang masih berada di paha. Di perhatikannya benar-benar wajah sang idola dan dia mulai membaca kata-kata motivasi di sebelah foto tersebut. “aku sadar aku tidak memiliki kedua tangan ataupun kedua kaki, dulu, aku berharap bisa punya ke empatnya, namun, tentu saja itu mustahil, karena kenyataannya aku tidak memiliki semua itu. Aku juga tidak pernah terfikir untuk memiliki kehidupan selanjutnya ketika mengetahui bahwa aku adalah pria cacat. Aku punya cita-cita membangun bangsa ini untuk tetap bersemangat dan bersyukur dalam segala hal yang mereka jalani. Tidak semua orang mengalami apa yang aku alami, tapi, bagiku sama saja, ada atau tidaknya lengan dan kaki, lengkap atau tidaknya anggota tubuh tidak berpengaruh dalam hidup ini, yang berpengaruh adalah semangat hidup dan rasa bersyukur yang tinggi dari diri mereka masing-masing. Aku masih bisa hidup sampai saat ini, aku masih bisa menyelesaikan sekolahku dan aku masih bisa menjalani segala aktivitas seperti orang-orang normal karena aku menanamkan prinsip semangat hidup dan selalu bersyukur. Aku percaya Tuhan selalu berada di sampingku kapanpun aku butuhkan dan kemanapun aku pergi.”
Kalimat-kalimat motivasi yang terpapar di lembaran tersebut, membuat Mirza semakin tersadar bahwa dirinya masih beruntung hanya lumpuh di kedua kakinya saja, kedua lengannya masih normal. Lalu dia kembali menggerakkan kursi rodanya keluar kamar, dan dia sengaja memberhentikan kursi tersebut di sebuah kaca besar di perempatan lorong gedung pengungsian, Ia mulai memperhatikan penampilannya yang sangat buruk, Mirza mulai membuka matanya lebar-lebar dan membawanya berkeliling melihat para korban yang ada di sekitar lorong, banyak anak muda yang menangis dan duduk ketakutan, perasaan cemas sangat jelas tergambar di raut wajah mereka. Mirza tersadar dari lamunan panjangnya yang tidak berguna, Mirza memilih  kembali ke kamar untuk mengambil handuk dan pakaiannya, Ia bersegera membersihkan tubuhnya yang sangat kotor dan terlihat tak terurus. Di dalam kamar mandi, dirinya tidak habis pikir kenapa dia melakukan hal yang sangat-sangat merugikan, dalam beberapa bulan, Ia biarkan anak muda merasa ketakutan dan negaranya semakin terpuruk. Setelah beberapa menit di dalam kamar mandi, Mirza kembali ke kamarnya dan suara Adzan maghrib mulai berkumandang di sekitar pengungsian. Air wudhu yang sudah diambilnya dari kamar mandi tadi, membuat tubuhnya terasa sejuk, setelah azan berkumandang, Mirza membentang sajadahnya di atas lantai, dan Ia perlahan-lahan menuruni kursi rodanya. Dengan duduk, dia melaksanakan sholat maghrib, subhanallah, dia merasakan jati dirinya kembali lagi, selama beberapa bulan dirinya tidak melaksanakan sholat dan bahkan membersihkan diri pun tidak pernah. Kedua salam mengakhiri sholatnya, Mirza mulai menadahkan kedua tangannya di depan wajah dan air matanya mulai menghujani seluruh bagian wajah halusnya.
“Ya Allah tuhan yang Maha Adil dan pemilik seluruh alam semesta beserta isinya, hamba mohon ampun Ya Allah, karena hamba telah melupakanMu selama ini, hamba sia-siakan seluruh waktu hamba hanya untuk berdiam diri dan merenungi nasib. Hamba bahkan berfikir Engkau tidak lah adil terhadap hamba, Engkau telah mengambil orang-orang yang hamba sayangi dan cintai, Engkau biarkan hamba hidup seorang diri di situasi yang sangat terpuruk ini. Tapi, apa lah daya, semua itu hanya lah titipan, karena hanya Engkau lah yang berhak mengatur dan menata segalanya, Engkau yang telah menciptakan mereka, maka berhak lah Engkau mengambil mereka lagi. Ya Allah, hamba benar-benar mohon ampun, ampuni segala dosa-dosa hamba dan dosa orang-orang yang telah mendahului hamba. Jika Engkau punya rencana yang lebih indah untuk hamba, maka biarkan lah hamba menerimanya, jika boleh hamba meminta, hamba ingin Engkau kuatkan diri hamba dan lindungi hamba dari godaan setan yang akan menjerumuskan hamba dan para anak muda ke dalam nerakamu Ya Allah.”
Air mata yang terus mengalir dan do’a yang sangat khusyuk, membuat Mirza menjadi lebih tenang dan lega. Setelah sholat, Ia kembali meduduki kursi rodanya, beberapa menit kemudian, dokter Mahmoed datang sembari membawa makanan dan minuman untuknya. “Mirza, baru selesai sholat ya? Maaf mengganggu, saya hanya ingin mengantarkan makan malammu. Tunggu dulu, sudah beberapa bulan ini, saya tidak pernah melihat kamu melaksanakan sholat, dan wajahmu selalu tampak kusut dan sedih, sekarang, kamu sudah berbeda, apa yang menyebabkan ini semua, jika saya boleh tahu.” Kalimat-kalimat yang sangat lembut keluar dari bibir dokter Mahmoed, sembari meletakkan makanan Mirza di atas meja.
“iya, terima kasih dok, saya tidak merasa terganggu. Ya! Saya baru sadar bahwa beberapa bulan kemarin saya melakukan hal yang sangat fatal, saya melupakan segala hal yang sebenarnya harus saya lakukan, tapi saya malah membiarkan diri saya berdiam dan termenung tak berguna.” Jawab Mirza dengan suara agak berat dan nada yang sangat rendah.
Tanpa sengaja dokter Mahmoed melihat secarik kertas dengan foto Nick Vujicic di atasnya. “hei, saya mengenal orang ini, dia adalah seorang motivator terbaik di dunia bukan?” pertanyaan semangat untuk Mirza, dan hanya dibalas anggukan serta senyum manis dari Mirza. “jujur saja, saya sangat kagum terhadapnya, tanpa kedua tangan dan kedua kaki, dia bisa bertahan hidup dan bisa menjadi orang yang benar-benar dikenal oleh seluruh orang di dunia ini.”
“dia adalah idola saya dok,” beberapa detik, mereka saling berpandangan, lalu Mirza mengalihkan pandangannya dan lanjut berbicara. “dia lah penyebabnya kenapa saya bisa berubah saat ini, kalimat motivasi yang tertera di sebelah fotonya, membangkitkan semangat saya sekaligus mengingatkan saya akan jati diri yang sebenarnya. Saya memang tidak bisa berjalan, tapi, saya masih punya kedua tangan yang masih normal dan masih bisa membantu saya menggerakkan kursi roda ini, saya memang telah di tinggal mati oleh Ibu dan sahabat sejati saya, dan kedua orang ini sangat lah penting dalam hidup saya, mereka lah penyemangat terbaik yang pernah ada. Tapi, saya baru tersadar bahwa saya masih memiliki Allah SWT, tuhan yang selalu berada di dekat makhluknya, saya juga baru sadar bahwa semua orang yang saya sayangi dan cintai hanyalah titipan dari-Nya, mereka semua tidak akan mungkin menjadi milik saya selamanya, saya pun akan meninggal suatu hari nanti, jika itu memang kehendak Allah.” Suasana masih sunyi, dokter Mahmoed hanya mendengarkan pembicaraan Mirza tanpa mengeluarkan sedikit pun kata-kata. Mirza membenarkan posisi duduknya dan mengangkat wajahnya melihat langit-langit di kamar. “memang sulit rasanya memaksakan diri untuk tetap tersenyum, bahkan dalam keadaan seperti ini. Terkadang saya masih bisa merasakan kehadiran Ibu dan sahabat saya di sini, tapi kenyataannya, mereka tidak ada, mungkin mereka sudah berada di tempat yang nyaman di sisi-Nya. Terakhir kali saya melihat Ibu saya, beliau mengatakan bahwa saya harus tetap memotivasi anak muda di Negara ini, saya tidak pernah menyadari bahwa itu adalah kata-kata bermakna terakhir yang keluar dari bibirnya. Begitu pun sahabat saya, Elif, kami pergi ke luar kota untuk memberikan motivasi kepada pemuda di sana, ketika pulang kemari, saya mulai kehilangan akal, seingat saya, setelah melihat jasad Ummi, saya pergi ke taman kota dengan pikiran yang sangat kacau, saya tidak memikirkan kemana dan sedang apa Elif saat itu, tiba-tiba, saya sudah di rumah sakit dan mengetahui dia telah meninggal dunia, saya benar-benar sudah putus asa ketika itu, tapi, sekarang saya bersyukur bisa kembali lagi.” Butiran air mata membasahi pipinya, dengan segera dokter Mahmoed merogoh sakunya dan mengambil saputangan dan memberikannya kepada Mirza. Mirza menghapus air mata itu dengan sangat perlahan. “baiklah, sepertinya, saya harus bertugas kembali, selamat malam, maaf, karena saya sudah membuat kamu menangis, saya harus pergi sekarang.” Kata dokter Mahmoed sambil berjalan keluar dari kamar Mirza.
Mirza masih berdiam diri di kamar, setelah beberapa menit berdiam, Ia merasakan lapar, kemudian, diputarnya roda di kursinya, agar mendekat ke meja yang di atasnya telah terdapat sepiring gandum dan segelas air putih. Dengan Basmallah, dia mengawali makan malamnya, perlahan-lahan tangannya menyuapkan sesendok gandum ke dalam mulut, dengan perlahan pula Ia mengunyah-ngunyah gandum tersebut. Batinnya masih tertekan, sebetulnya, Mirza belum sepenuhnya membaik, pikirannya masih kacau, air matanya masih meronta-ronta ingin keluar, memori-memori di kepalanya selalu terputar mengingatkan kembali kenangan dirinya bersama 2 orang yang sangat Ia cintai. Dengan air mata bercucuran, Mirza menghabiskan makanan dan minumannya, setelah itu, Ia pergi keluar melihat suasana di luar. Semuanya masih sama, masih terlihat buruk, pandangan Mirza tak lepas dari para pemuda yang benar-benar putus asa akan serangan dari Perancis. Dirinya mulai mendekat ke salah satu pria muda berkulit putih, dan berambut cokelat, pria itu benar-benar terlihat ketakutan, duduk dengan pandangan kosong. “maaf mengganggu, kamu baik-baik saja?” Mirza memulai pembicaraan.
“memangnya apa yang membuatmu berfikir bahwa diriku baik-baik saja dalam keadaan seperti ini?” jawab pria itu dengan kesal.
“saya hanya bertanya, jika tidak keberatan, boleh kah saya tahu, kenapa kamu terlihat sangat takut?” Tanya Mirza lagi.
“kau tidak lihat di luar sana! Negara Perancis memporak-poranda Negara kita! Sekarang kau masih bertanya, kenapa aku takut!?” bentak sang pria.
“apakah kau mencintai Negara ini?” Tanya Mirza
“tentu saja! Ini Negara kelahiranku, dan tempat dimana diriku di besarkan!”
“Alka, itu kah namamu?” Mirza menebak, sambil melihat jahitan nama di baju sang pria.
“iya” jawabnya singkat
Mirza menekuk tubuhnya ke bawah, lalu, dengan sangat cepat, Mirza mengambil sepatu yang Alka gunakan untuk alas kakinya, setelah mendapatkan sepatu tersebut dengan kasar, di hadapan pemiliknya  Mirza merobek sepatu tersebut dengan kasar. Melihat itu, Alka tidak ingin berdiam diri, dirinya langsung merampas sepatunya kembali dan memarahi Mirza.
“hei! Wanita cacat! Apa yang kau lakukan?!” bentak Alka.
“kenapa kau mengambilnya? Biarkan saja aku merobeknya” sahut Mirza dengan tenang.
“tentu saja aku mengambilnya kembali, ini adalah sepatu kesayanganku! Aku tidak akan membiarkanmu merusak ini!” jawab Alka dengan sangat kesal.
“kalau kau tidak ingin milik kesayanganmu di rusak oleh orang lain, kenapa kau masih membiarkan sesuatu yang kau cintai diporak-poranda oleh orang lain?” Tanya Mirza sambil menatap lurus ke luar gedung.
“apa maksudmu?” Alka semakin bingung.
“kau tidak senang jika sepatumu di rusak olehku, kau memarahiku dengan sangat kasar dan merampasnya kembali, padahal ini hanya sepatu dan bisa dibeli lain waktu! Tapi, kau malah berdiam diri di sini dengan wajah ketakutan, sedangkan Negara yang kau cintai di porak-poranda oleh Negara lain! Kenapa kau tidak berusaha merampasnya seperti kau merampas sepatumu dariku?” jawab Mirza dengan nada tegas.
Alka masih bingung dengan perkataan dari Mirza, dia hanya diam dan kembali duduk, karena tadi dia sempat berdiri dan berencana menyakiti Mirza. Beberapa detik, mereka saling diam, suara Adzan Isya terdengar, Mirza memilih untuk memutar kursinya menuju kamar mandi dan ingin melaksanakan sholat serta beristirahat di ranjang kecilnya. “pikirkan itu baik-baik!” kata-kata penutup dari Mirza sebelum mereka berpisah.
Alka membiarkan Mirza kembali ke kamarnya, tanpa satupun jawaban yang di lontarkan untuk Mirza, kemudian dia beranjak dari tempat duduk dan pergi ke kamar. Alka menjatuhkan tubuhnya dengan tenang di atas ranjang, diambil sepatu robek yang ada di kaki sebelah kirinya, diperhatikannya benar-benar sepatu tersebut dan menyimpulkan maksud dari perkataan Mirza, namun, dirinya masih tidak mengerti. Dia tetap berusaha menyimpulkan kata-kata dari bibir wanita tersebut.
Pagi hari yang sama, dimana seluruh orang masih tampak putus asa, masih terlihat ketakutan akan serangan selanjutnya yang akan di lakukan Negara Perancis. Mirza mengenakan khimarnya, dan memasang bros satu-satunya yang Ia miliki di khimar tersebut. Setelah pakaiannya rapi, Ia keluar untuk melihat suasana, Mirza benar-benar prihatin atas keterpurukan yang belum usai di negaranya saat ini, apalagi, jika harus melihat pemandangan lemah dari wajah-wajah para pemuda dan pemudi di sana. Mirza menjalankan kursi rodanya di lorong gedung, tiba-tiba para prajurit kewalahan, menggotong temannya yang sekarat tertembak dari jauh oleh prajurit Negara Perancis, para medis berlarian sambil membawa koper P3K nya. Lalu terdengar suara yang samar-samar, “kita butuh prajurit lagi,,, kita kehabisan tenaga, kita harus meminta para lelaki untuk membantu kita komandan.” Suara yang benar-benar pelan, “tapi, tidak semudah itu, para pemuda di sini telah kehilangan semangat, mereka ketakutan akan hal ini.” Suara itu benar-benar serius, Mirza langsung pergi ke lorong dekat kamarnya, di situ lah banyak para lelaki, para pemuda yang bisa menjalankan tugas Negara. Sebelum Mirza berbicara, salah seorang prajurit sedang menawarkan kepada mereka.
“ayo lah,,, bapak-bapak! Kita harus membela Negara ini! Kita bisa mati jika kita tidak melawan mereka! Kami butuh bantuan bapak-bapak di sini.”
Para lelaki yang mendengarkan, hanya berdiam dan saling toleh-menoleh, tak ada satupun yang berniat ikut serta dalam pembelaan Negara. Akhirnya Mirza bertindak, dia mendekatkan diri ke sebelah sang prajurit, dan mulai berbicara dengan nada tegasnya.
“ayo lah! Kita semua pasti bisa, jangan takut dengan kematian, karena Allah selalu ada untuk melindungi kita!” semua orang masih terdiam. “jika bukan, bapak-bapak dan teman-teman di sini, lalu, siapa lagi yang akan membantu para prajurit  ini membela Negara kita? Ini Negara kita kan? Anggap saja ini adalah rumah kita, dan kita sebagai pondasinya, jika pondasinya saja sudah lemah, maka rumah akan roboh dan hancur! Kita harus menjadi orang yang kuat! Memiliki keberanian untuk melawan semua ini!” teriak Mirza kepada mereka semua.
“memangnya, tahu apa kamu soal keberanian? Kamu itu hanya wanita cacat, apa yang membuatmu berani melawan semua ini! Kau itu sama saja! Kau tidak bisa menjaga tubuhmu sendiri, sekarang, kau malah mau menjaga Negara ini? Kakimu saja lumpuh, apalagi Negara ini! Bisa hancur!” jawaban yang sangat tidak enak keluar dari mulut seorang lelaki tua.
Mirza menahan air matanya, dia berusaha untuk tidak terlihat sakit hati. “saya menyadari bahwa saya tidak bisa berjalan, saya sadar, saya hanya wanita cacat! Tapi, saya sadar peranan saya di sini! Saya adalah generasi bagi Negara ini! Dalam hidup ini, tidak akan berpengaruh jika kita punya 1 kaki atau bahkan tidak punya sama sekali! Hidup ini hanya harus di syukuri, semua yang dapat kita syukuri, akan membuahkan kenikmatan di dalam batin! Hidup ini bukan untuk di ratapi! Tapi untuk diperbaiki! Hidup ini butuh semangat! Semangat yang bisa membuat kita menghasilkan sesuatu yang menguntungkan! Jika bukan saat ini saya berjuang, kapan lagi saya bisa melanjutkan hidup?! Jika bukan saat ini kita bertindak! Kapan lagi Negara ini akan merdeka?!” kata-kata yang di lontarkan penuh emosional dan ketegasan! Membuat semua orang terdiam. Lalu, seorang pria muda tiba-tiba keluar dari kamarnya dan merebut seorang anak laki-laki dari pelukan sang ayah, Ia menodongkan pisau ke leher anak itu. Seisi lorong tegang, prajurit menodongkan senapannya dan para lelaki tadi hanya berdiri dan bersiap menyerang sang pria. Mirza menoleh ke arah wajah pria itu, ternyata dia adalah Alka.
“ayo! Ambil anak ini! Akan saya gorok lehernya hingga putus! Ayo ambil dia!” ancamnya dengan mata pisau yang sangat tajam.
“Alka! Apa yang kamu lakukan?!” teriak Mirza
“hei! Dia anakku, kembalikan dia! Dasar lelaki bangsat!” makian dari ayah sang anak.
Prajurit dan segerombolan lelaki langsung menyerangnya dan berhasil merampas sang anak tanpa ada sedikit pun luka di tubuhnya. Sang ayah dari anak tadi, mencekik leher Alka.
“baiklah! Dengarkan saya! Kau menyayangi anakmu kan?” Tanya Alka dengan suara berat karena tercekik.
“tentu saja aku menyayanginya! Orang tua mana yang tidak menyayangi anaknya? Maksudmua apa melakukan hal ini?” kata lelaki itu sambil menekan tangannya lebih keras.
“uhuk,,,uhuk,,, lepaskan dulu tanganmu dari leherku!” pinta Alka yang sudah lemas
Lelaki itu langsung melepaskan cengkramannya yang kuat, dan membiarkan Alka berbicara. Dengan terengah-engah, Alka berusaha melanjutkan pembicaraannya.
“baiklah! Dengarkan saya benar-benar! Kau menyayangi anakmu bukan? Dan kau tidak akan membiarkannya terbunuh oleh pisauku ini kan? Kau juga mencekikku dan merampasnya kembali kepelukanmu! Lalu! Kenapa kau tak lakukan itu untuk Negara ini?!” semua orang terlihat bingung. “kenapa tidak kalian lakukan ini untuk Negara Turki? Kenapa kalian tidak merampas Negara kita dan mencekik Negara Perancis? Kenapa? Jika kalian hanya diam di sini dan menunggu orang lain! Itu tidak akan mungkin, Perancis akan datang dan mengebom tempat ini, kalian bukan hanya kehilangan nyawa, tapi juga keluarga kalian dan juga seluruh kota di Negara ini! Ayo! Kita semua pasti bisa!” kata-kata yang pernah di katakan oleh Mirza ini, ternyata sudah dicermati oleh Alka. Mendengar semua perkataan dari Alka, semua orang memutuskan untuk terjun ke medan peperangan di luar sana, mereka mengambil persediaan senjata dan turun ke lapangan. Alka tersenyum kepada Mirza yang bangga dengan motivasi darinya.
Pesawat tempur milik turki sudah siap di terbangkan, sebelum berangkat, Mirza meminta untuk diperbolehkan ikut ke dalam pesawat itu. Butuh beberapa menit, permintaan izin dari Mirza, baru lah komandan mengizinkannya, dengan digotong oleh prajurit ke dalam pesawat, mereka siap untuk berangkat. Aba-aba telah menunjukkan mereka harus terbang sekarang, dengan kecepatan tinggi, dan perbekalan senjata yang cukup, mereka siap membombardir Negara Perancis. Ketika sampai di zona udara Negara Perancis, mereka sudah di serang dengan berbagai peluru dari bawah sana.
“cari markas mereka!” pinta Mirza
“untuk apa? Komandan tidak memerintahkan itu!” jawab sang pilot
“jika kita ingin mematikan seluruh lampu di kota Adiyaman, maka kita harus mencari sumber listriknya, jika kita ingin menghancurkan Negara ini! Kita harus mencari markasnya. Hubungkan saya  dengan komandanmu!” ujar Mirza.
Setelah di sambungkan dengan komandan mereka, Mirza meminta agar komandan bisa memberi mereka tugas, setelah beberapa menit berdebat, akhirnya komandan mengizinkan mereka. Mereka melaju dengan kecepatan tinggi, perlu beberapa menit dan ketelitian yang sungguh-sunggu untuk bisa mendapatkan letak markas dari Negara Perancis. Akhirnya, mereka mendapatkan markas tersebut, tampak beberapa buah pesawat terparkir di sana dan beberapa meriam sudah di siapkan di sana, tanpa berfikir panjang, empat buah bom langsung di jatuhkan mengelilingi sekitar markas tersebut. Ledakan besar-besaran terjadi sana, dengan segera pesawat tempur Turki kembali ke markas, dari belakang, pesawat mereka di tembak oleh musuh, mereka benar-benar panik, karena terdapat percikan api di belakang pesawat. Syukurnya, di belakang masih ada pesawat Negara Turki yang menembakkan pelurunya ke pesawat musuh hingga terjatuh ke darat. Namun, sayang, pesawat Turki yang di tumpangi Mirza kehilangan kendali Karena tertembak, ketika jaraknya sudah sangat dekat dengan daratan, pesawat tersebut langsung jatuh mengahantam permukaan tanah. Seluruh awak pesawat berhamburan keluar, termasuk Mirza, dia kesulitan untuk lari, karena terhimpit sayap pesawat. Pesawat tidak meledak, hanya saja, pesawat telah terbakar, prajurit yang terluka kesulitan membantu Mirza keluar dari himpitan tersebut. Akhirnya para medis dan para prajurit yang lain menyusul ke tempat kejadian, dan membantu Mirza, karena terlalu lama terhimpit, Mirza mengalami sesak napas, dirinya tampak sekarat. Dokter Mahmoed mengeluarkan oksigen dan memberikannya kepada Mirza.
Beberapa menit menghirup oksigen, Mirza masih tampak sekarat, ketika para medis ingin membawanya kembali ke markas, Mirza menolak.
“ayo, cepat bawa dia ke markas!” teriak dokter Mahmoed sambil mencoba berdiri dengan Mirza di pelukannya.
“jangan dok,,, jangan habiskan waktu kalian dan tenaga kalian untuk saya. Ini memang sudah waktunya.” Kata Mirza dengan nada tersendat-sendat.
“apa maksudmu Mirza?” Tanya Alka.
“dokter, Alka, dan semuanya. Seseorang yang hidup, pasti akan mati, begitu juga saya, saya sudah tidak kuat, dan ini memang sudah takdir yang ditentukan Allah.” Suara Mirza semakin berat.
“kamu harus bertahan Mirza!” pinta dokter Mahmoed
“kamu masih bisa bertahan Mirza, jika kau berkata seperti itu, bagaimana dengan mimpimu, kau punya mimpi kan?” kata Alka sambil meneteskan air mata yang selalu jatuh ke atas tangan Mirza yang di genggamnya.
“kematian tidak pernah memandang siapa kamu, dari mana kamu, dan berapa usiamu, kematian akan datang kapanpun dan di manapun jika Allah sudah berkehendak. Mimpi saya, ada di balik reruntuhan itu,,, jika itu bisa kembali menjadi bangunan megah, maka mimpi saya telah terwujud………………….. La’ilaha’ilallah…. Muhammadurrasulullah!” kata-kata terakhir yang telah di ucapkan Mirza, pahlawan wanita yang sangat tangguh dan berani ini akhirnya menghembuskan nafas diperjuangan terakhirnya. Seluruh orang yang telah mengenalnya, menetesakan air mata mereka, ketika jasad Mirza di kebumikan. Persaan duka yang mendalam yang tengah di rasakan mereka semua, menggambarkan bahwa, Mirza memang wanita yang sangat berjasa di dalam hidup mereka, terutama untuk Alka dan dokter Mahmoed. Setelah proses pemakaman selesai, Alka dan dokter Mahmoed memilih untuk membersihkan kamar yang di tinggali oleh Mirza dulu. Ketika sedang berkemas, dokter Mahmoed memandang foto Nick Vujicic yang terpampang di dinding kamar tersebut.
“saya salut dengan lelaki ini, tapi, saya lebih salut dengan perjuangan penggemarnya, Mirza. Saya tahu bagaimana rasanya jadi dirinya ketika semua orang yang Ia cinta harus pergi, dan hebatnya, dia bisa bersemangat dan menyemangati orang lain, walaupun sebenarnya dia dalam keadaan yang sangat buruk.” Kata dokter Mahmoed dengan mata yang berkaca-kaca.
“ya, dia adalah seorang motivator terbaik yang pernah saya termui. Akasma Nuray Mirza” jawab Alka.
Beberapa minggu kemudian, Negara Turki mendapatkan surat perdamaian dari Negara Perancis. Surat yang di kirim langsung oleh Presiden Perancis untuk Turki, menandakan bahwa kedua Negara ini akhirnya berdamai. Dan beberapa tahun kemudian, Negara Turki kembali menjadi Negara yang damai, seluruh bangunan telah berdiri kembali dan seluruh orang sudah memiliki kehidupan mereka yang nyaman. Termasuk dokter Mahmoed dan Alka.
“kau ingat ketika Mirza bilang mimpinya ada di balik reruntuhan?” Tanya dokter Mahmoed sambil melihat secarik kertas dengan foto Nick Vujicic.
“tentu saja, sekarang mimpinya telah terwujud. Itu, Nick Vujucic kan? Lihat, aku masih menyimpan sepatuku yang pernah di robek oleh Mirza” jawab Alka sambil tertawa kecil sekaligus menyimpan rasa rindu yang mendalam untuk wanita terbaik yang pernah di kenalnya.

No comments:

Post a Comment

Takdir Menjerit Padaku ... Jiwaku masih terasa tak di sini, rasanya seperti ia terhuyung kesana kemari oleh angin sore. Aku merasa ke...

Baca Ini Dulu Biar sah!