MIMPI
DI BALIK RERUNTUHAN
Hawa dingin mulai
terasa menusuk kulit, ketika seluruh warga sedang sibuk beraktivitas. Matahari
yang masih malu-malu menampakkan seluruh tubuhnya, membuat Kota Adiyaman terasa
semakin dingin. Suara yang muncul dari berbagai jenis kendaraan yang
beraktivitas membuat segalanya menjadi ramai. Pagi ini, tepat pukul enam pagi,
seluruh warga kota sudah mulai sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing, ada
yang bekerja, sekolah, kuliah dan para pengangguran yang tidak menyerah untuk
mencari pekerjaan. Warga yang selalu bertegur sapa dan ramah membuat kota ini
terlihat damai dan rukun.
Sama seperti halnya dengan wanita yang satu
ini. Dengan baju panjang dan rok menutupi mata kaki serta berkerudung rapi ini
namanya Akasma Nuray Mirza, Ia biasa di panggil Mirza. Dia salah satu mahasiswi
Universitas Merkez, yang juga merupakan universitas ternama di Kota Adiyaman.
Wanita yang tampak bersahaja dan sangat anggun ini, memang di kenal sebagai
wanita muslimah yang sangat kreatif dan kritis dalam menetapkan sesuatu. Pagi
ini, di kampus, Ia sedang membaca buku Nick Vujicic, seorang motivator terbaik
di dunia, setelah Jim Rohn dan Anthony Robbins. Nick Vujicic atau Nicholas
James Vujicic adalah idolanya. Yang membuat Mirza lebih tertarik kepada Nick
dari pada dua motivator sebelumnya adalah pria kelahiran Australia ini tidak
memiliki kelengkapan fisik seperti dua motivator sebelumnya. Nick mengalami
Tetraamelia Syndrome atau gangguan langka yang di tandai dengan tidak
lengkapnya empat anggota badan sejak lahir, perjuangannya untuk tetap hidup
tanpa kedua tangan dan kedua kaki, membuat Mirza semakin bangga padanya. “Mirza,
hari ini kamu ada acara?” suara yang tiba-tiba mengagetkan Mirza dalam suasana
tenangnya , ya, suara itu muncul dari bibir sahabatnya Elif.
“astagfirullah, ukhti… mengagetkan
saya saja” jawab Mirza dengan suara lembutnya
“maaf ukhti,,, saya
hanya ingin bertanya, pulang kuliah, ukhti ada acara atau tidak? Kalau tidak
mari kita bicarakan soal komunitas yang akan kita bentuk” kata Elif dengan nada
lebih rendah dari sebelumnya.
“oh, tentu saja, hari
ini saya tidak ada acara, mari lah kita bicarakan, di mana tempatnya?” sahut
Mirza semangat.
“baiklah, sepulang
kuliah ini, mari kita semua berkumpul di taman kota, nanti saya beri tahu yang
lain.”
“baiklah, terima kasih
ukhti, sudah mengingatkan saya.” Ujar Mirza dengan senyum manisnya
“sama-sama, sudah dulu
ya ukhti.” Sahut Elif sambil bersalaman dan beranjak dari tempat ia duduk di
samping Mirza.
Waktu telah menunjukkan
pukul dua siang. Mirza dan teman-temannya sudah berkumpul di sebuah taman kota
tidak jauh dari kampus mereka. Elif mulai membuka rapat tersebut dan
mempersilahkan Mirza untuk berbicara soal komunitas yang akan di bentuknya.
“Assalamualaikum wr.wb. pertama-tama saya mohon maaf karena sudah mengganggu
aktivitas ukhti, dan yang kedua saya sangat berterima kasih karena ukhti sudah
mau menghadiri rapat kecil-kecilan ini. Langsung saja, jadi, begini, saya dan
rekan saya Elif, ingin membentuk suatu komunitas yang insya allah bermanfaat
bagi kita dan juga orang lain. Nama komunitas yang kami ingin bentuk adalah
“Komunitas Motivator Pemuda”, jadi, di sini kami ingin mengajak ukhti untuk
bergabung dalam komunitas kami, guna mewujudkan suatu generasi yang baik dan
termotivasi. Kita akan bekerja sama untuk memberi motivasi kepada pemuda yang
sedang dalam masalah ataupun tidak.”
Suara lembut namun ada
unsur ketegasan di beberapa kalimat, membuat seluruh audience hanya tercengang
melihatnya, bukan karena membosankan, tapi, mereka belum berminat untuk
mengikuti hal ini, mereka berfikir ini adalah pekerjaan yang berat, apa lagi,
harus berurusan dengan generasi. Alih-alih ketika Mirza selesai berbicara dan
menutupnya dengan salam, Elif menawarkan kepada mereka untuk mendaftarkan diri
bergabung ke dalam komunitas tersebut. Dari dua puluh audience yang datang,
hanya 5 orang yang mendaftarkan diri mereka. Seluruh audience di sini semuanya
adalah wanita, namun, hanya 5 orang lah yang berani ikut membangun bangsa,
selebihnya hanya memikirkan kekhawatiran mereka akan sebuah kegagalan. 5 orang
yang ikut komunitas ini, tetap istiqomah dan tetap menjalani seluruh kegiatan
sesuai dengan yang sudah di atur oleh Mirza dan Elif. Mereka saling berkerja
sama dalam melakukan aktivitasnya, mereka lebih banyak belajar dari buku-buku
motivator dan jejaring social soal motivasi.
Baru-baru ini,
terdengar berita bahwa Negara Perancis tidak senang dengan perkembangan
otomotif di Turki yang sangat pesat. Mobil buatan Negara tersebut baru-baru ini
tembus ke pasar Amerika Serikat dengan budget yang sangat tinggi mengalahkan
Negara Perancis, Colombia dan Jepang. Dan terdengar kabar bahwa Negara Perancis
akan menjatuhkan Negara Turki dari dalam.
Mendengarkan berita
tersebut, KMP (Komunitas Motivator Pemuda) berinisiatif untuk mempertahankan
Negara mereka. Mirza tampak berfikir namun tetap bersikap tenang. Elif semakin
heran dengan wajah Mirza yang berubah
sedikit takut. “kamu baik-baik saja Ukhti?” Elif mulai mendekat dan bertanya.
“tidak, teman-teman,
mari mendekat sebentar.” Ujar Mirza sambil membenarkan posisi duduknya di kursi
kayu yang lebar.
Teman-teman mereka
langsung mengambil posisi duduk merapat dan membentuk lingkaran. Mirza mulai
melanjutkan pembicaraannya.
“kalian tahu, apa
maksudnya Negara Perancis akan menjatuhkan Negara Turki dari dalam?” tidak ada
satu pun yang menjawab, mereka malah saling toleh-menoleh. Dengan segera, Mirza
melanjutkan. “baiklah, saya ibaratkan, sebuah rumah megah dan nyaman yang baru
saja di bangun. Namun, datang sebuah mobil besar menabrak beberapa pondasi rumah, hingga rumah tersebut
hancur. Kalian mengerti!?” ujar Mirza dengan sedikit penekanan, namun, mereka
belum juga mengerti. “baiklah, rumah adalah Negara ini, dan rumah ini bisa
berdiri tegak jika pondasi rumahnya juga kuat, dan pondasi ini adalah kita,
kita sebagai pemuda penerus generasi di Negara ini. Negara ini bisa berdiri
tegak jika generasinya kuat. Kalian tahu apa yang harus kita lakukan? Ya! kita
harus memotivasi seluruh pemuda untuk tidak mudah terjerumus dalam hal-hal
negative, terutama para pemuda muslim dan muslimah!” setelah mendengar
penjelasan Mirza, mereka semua baru mengerti.
Mereka mulai
perlahan-lahan memberi motivasi kepada beberapa pemuda di Kota Adiyaman. Sudah
3 hari mereka menjalankan aktivitas tersebut, dengan bantuan Allah SWT, banyak
pemuda yang mulai bisa mengetahui jati diri mereka di dalam Negara itu.
Akhirnya KMP juga memutuskan untuk pergi ke luar kota dan memberikan motivasi
di sana. Sebelum pergi, seluruh anggota KMP meminta izin dengan keluarga untuk
misi yang akan mereka kerjakan di luar sana. “Ummi, besok Mirza akan pergi ke
kota seberang, Ummi jaga diri ya di rumah.” Kata Mirza sembari duduk di dekat
Ibunya.
“iya Mirza, kamu jangan
lama-lama ya di sana, semenjak Abi tiada, Cuma kamu yang Ummi punya, jangan lah
lama-lama, di sini Ummi tinggal sendirian.” Jawab Ibunya dengan mata
berkaca-kaca
“iya Ummi, Mirza hanya 1 hari di sana”
“dengar putriku, kamu
adalah anak Ummi satu-satunya yang bisa Ummi andalkan, kamu adalah calon
generasi baru yang berprestasi. Jika suatu hari nanti Ummi tiada, kamu jangan
menyerah untuk terus memotivasi pemuda ya nak, jangan kecewakan Ummi” kata-kata
Ibunya merasuk ke dalam hati Mirza sehingga membuatnya meneteskan air mata.
“Ummi, jangan lah
berkata seperti itu, Mirza berjanji akan jadi anak yang baik, dan Mirza janji
akan menjaga Ummi dalam keadaan apapun.” Jawab Mirza dengan tersedu-sedu.
Keesokan harinya
tanggal 23 Oktober 1999, KMP mulai pergi ke kota seberang, dengan 1 buah unit
mobil pribadi. Berharap mereka bisa menguatkan para pemuda di Negara Turki.
Namun, Negara Perancis ternyata bukan hanya ingin menjatuhkan Negara Turki dari
dalam tetapi juga dari luar, ketika seluruh warga tengah beraktivitas, ketika
semua tidak menyadari apa yang akan terjadi, Negara Perancis datang dengan
beberapa pesawat tempur yang melintas di udara wilayah Kota Adiyaman, tepat di
atas taman kota, sebuah benda berat yang terbuat dari logam dan berbentuk
kerucut di salah satu ujungnya meluncur dari sebuah pesawat dan menuju taman
kota yang saat itu tengah ramai mahasiswa dan mahasiswi sedang bersantai. Tiba-tiba! BOOOM!!!! Terdengar suara yang sangat keras
dari taman kota, ledakan terjadi di sana dan mengenai seluruh lingkungan yang
berada di sekitar taman, bahkan dengan jarak sangat jauh. Seketika, seluruh
bangunan runtuh dan rumah rata dengan tanah, seluruh umat manusia di sana
tergeletak tak bernyawa dengan bersimbah darah segar dari tubuh mereka.
Sore hari, KMP telah
tiba di kota mereka, alangkah terkejutnya mereka ketika melihat pemandangan
tragis di hadapan mereka, gedung-gedung tinggi yang tadinya menjulang mencakar
langit kini rata dengan tanah, toko-toko yang tadinya berderet dengan berbagai
macam barang dagangan kini tinggal bayangan, warga yang sedang beraktivitas
dengan suka cita kini tergeletak di atas tanah dengan luka parah bahkan tanpa
nyawa. Mereka mulai berjalan menyusuri kota dengan mobil, seluruh anggota KMP
menangis, dan Mirza baru teringat akan Ibunya di rumah, dengan segera Ia
kendarai mobil itu dengan kecepatan tinggi, ketika sampai di depan rumah, Mirza
turun dengan air mata bercucuran, berlari menghampiri puing-puing rumahnya, dan
dia berusaha mencari sosok sang Ibu yang Ia cintai, dengan bantuan
teman-temannya, Mirza mengangkat puing-puing dan menjauhkannya, terlihat sebuah
tangan tergeletak di atas tanah, dengan cepat Mirza meraih tangan itu, dan
menyingkirkan puing-puing yang menutupi bagian tangan tersebut. Memang benar,
itu lah sang Ibu yang Ia cintai, sudah tak bernyawa, tangan kanan Ibunya tampak
memegang sebuah foto dirinya dan sang Putri tercinta. “UMMIIII!!!!!” teriak
Mirza dengan menangis sejadi-jadinya.
Kota Adiyaman sangat
terpuruk ketika itu. Angin sore yang bertiupan kencang menerbangkan seluruh
debu dari reruntuhan rumah dan gedung-gedung. Mirza berjalan menyusuri jalan
yang penuh dengan puing dan orang-orang tak bernyawa, para medis dengan
mengendarai ambulance berdatangan mengevakuasi para korban, air mata yang masih
bercucuran keluar dari mata cokelatnya, terlihat jelas bahwa dia benar-benar
sedih atas kepergian Ibu tercinta. Para orang-orang dari pusat pemerintahan
meminta Mirza untuk pergi dari tempat itu dan mengungsi. Tapi, itu di urungkan
karena Mirza ingin dirinya berada di kota itu untuk beberapa menit. Mirza
berdiri di tengah-tengah taman kota, melihat seluruh kerusakan yang telah diperbuat
oleh Negara Perancis. Beberapa menit kemudian, BOOM!!! Ledakan terjadi lagi beberapa
meter jauhnya dari taman kota, asap yang di hasilkan dan angin yang bertiup
kencang ke arah Mirza menyebabkan dirinya terlempar beberapa meter dari tempat
Ia berdiri. Semuanya terasa gelap dan tak ingat apa-apa lagi.
Suara gaduh dan ribut
yang di hasilkan di luar sana, pembicaraan yang terdengar samar-samar bercampur
aduk di suasana yang masih terpuruk ini. Kelopak mata yang sudah dua hari
tertutup, akhirnya terbuka perlahan-lahan, bulu mata yang lentik dan tebal
mulai terangkat dan bola mata berlensa cokelat mulai terlihat. Suasana yang
terlihat berbeda, tempat tidur kecil, tabung oksigen yang berada di samping
ranjang serta selang infuse yang bergelantungan di ruangan tersebut, menandakan
bahwa Mirza sedang berada di rumah sakit. Perasaan yang sangat berat dan
tertekan membuat Mirza meneteskan air mata. Beberapa menit menangis, sebuah suara
mulai terdengar di telinganya “Mirza, itu kah namamu? Kamu sudah mulai membaik”
tangan Mirza yang lembut, mengusap air matanya dan Mirza memperhatikan seorang
laki-laki bertubuh tegap dan berpakaian putih. “saya Dr. Mahmoed, sudah dua
hari kamu di sini.” Lanjut lelaki itu, Mirza masih terdiam, dan mulai
menggerakkan tubuhnya, namun, dia tidak bisa merasakan kedua kakinya.
“apa yang terjadi
dengan kaki saya?” Tanya Mirza dengan tergesa-gesa
“begini Mirza, dirimu
mengalami kelumpuhan di setengah bagian dari tubuhmu, karena kamu terlalu kuat
terhempas di tanah dan mengakibatkan tulang punggungmu menjepit urat saraf di
bagian belakang, dari pinggang hingga kakimu lumpuh total” Jawab Dr. Mahmoed.
Air mata, yang tadinya
baru saja berhenti, sekarang bercucuran kembali. Tiba-tiba dirinya teringat
akan teman-teman KMP. “dokter, dimana teman-teman saya? Bolehkah saya menemui mereka?”
“teman-temanmu? Entah
lah,,, coba saja kamu lihat, mari saya bantu” sahut Dr. Mahmoed sembari
membantu Mirza menduduki kursi rodanya.
Mereka mulai menyusuri
lorong rumah sakit, namun, belum ada tanda-tanda keberadaan anggota KMP. Lalu,
Mirza meminta untuk memberhentikan kursi rodanya di sebuah papan besar
bertuliskan nama-nama korban yang telah meninggal. Sekilas, Mirza melihat nama
yang sudah di kenalnya sejak lama, nama yang selama ini berjasa dalam hidupnya,
“ELIF KEYLA PERK”, seorang sahabat lamanya yang selama ini menemaninya dalam
suka maupun duka. Seketika tangisnya pecah, hatinya remuk ketika mengetahui
bahwa orang-orang yang Ia sayangi harus pergi meninggalkan dirinya.
Untuk beberapa bulan,
Mirza menjadi orang yang sangat pendiam dan tidak memiliki semangat, mata
sembab dan berkantung, menandakan dirinya memang semakin memburuk. Kerudung
yang mulai lusuh dan dan baju kurungnya yang tampak sudah tak terurus,
mengakibatkan orang-orang berfikir bahwa dirinya adalah wanita gila. Mirza
mulai memutar roda di kursinya hingga Ia maju ke depan, kekejaman yang di
lakukan Negara Perancis belum juga usai, korban semakin bertambah, para
prajurit menyiapkan senjata untuk melawan Negara Perancis. Mirza terus berjalan
menyusuri jalan, tak ada satu pun orang yang memperdulikan dirinya. Seluruh
dokter tengah sibuk menangani para korban, dengan pandangan kosong, Mirza masih
tetap berjalan, debu-debu yang berterbangan tertiup angin, dan suara-suara
tangisan mengiringi perjalanannya. Setelah sekitar satu jam menyusuri kota yang
telah rata dengan tanah, Mirza berhenti di sebuah tempat yang sering Ia
kunjungi, tempat yang sudah sangat berbeda, dan suasana yang juga sangat
berbeda. Ya! Taman kota, tempat di mana Ia sering bersantai dengan sahabatnya
Elif seusai kuliah. Mirza mulai menggerakkan kursi rodanya mendekat sebuah
pohon besar yang masih berdiri, pohon yang dulunya rindang dan nyaman, kini
telah di tumpuk berbagai debu putih dan sudah tampak sangat kering. Dengan
tangan lembutnya, Mirza menyentuh kulit pohon yang besar itu, kemudian, memori
di kepalanya terputar kembali ke belakang mengingat masa-masa dirinya bersama
sang sahabat sejati. Ketika mereka sedang membaca sebuah buku tentang
motivator, tertawa bersama, serta menangis bersama, di bawah pohon yang sama
pula.
Air mata kembali
menuruni pipinya, seluruh memori manis yang sudah mereka ukir bersama, sekarang
tinggal lah kenangan. Tak sanggup terus-terusan melihat pohon penuh kenangan
itu, Mirza menundukkan kepalanya, air matanya jatuh membasahi rok yang Ia
pakai, air mata itu tidak henti-hentinya keluar membasahi kelopak dan bulu
matanya yang indah. Sekilas, pandangan Mirza tertuju ke sebuah
lembaran-lembaran kertas yang berserakan di bawah nya. Terlihat sebuah foto
berukuran kecil di kertas tersebut, foto yang benar-benar tak asing, dengan
baju kemeja hitam berlengan pendek dan celana kain pendek yang sangat rapi.
Tangan Mirza mulai meraih lembaran tersebut, membersihkannya dari debu putih
dan mulai telihat sebuah nama bertulisan tebal dengan tanda petik di setiap
ujung tulisan tersebut. “Nick Vujicic”,
itu adalah foto sang idola yang selalu menginspirasinya, dengan semua tulisan
motivasi yang sangat menyentuh, namun, Mirza saat ini tidak sekuat dulu, Ia
merasa tak sanggup untuk berdiri tanpa orang-orang tercinta di sekitarnya, Ia
baru menyadari bahwa dirinya telah keluar dari jalur semangat hidup, dirinya
saat ini tidak seperti dirinya yang dulu, yang selalu kritis dalam melakukan
sesuatu dan selalu bersemangat serta menyemangati orang lain terutama para
pemuda. Air mata mulai membasahi kertas yang Ia letakkan di atas paha, dan dia
pun mulai memutar balikkan kursi rodanya dan kembali ke tempat pengungsian.
Hari sudah semakin
sore, para prajurit selalu berlalu-lalang berpatroli menjaga tempat
pengungsian. Mirza yang baru sampai dari perjalanannya, mulai terdiam di depan
ranjang, matanya masih terlihat sangat sembab, lalu, tangannya mulai meraih
foto Nick yang masih berada di paha. Di perhatikannya benar-benar wajah sang idola
dan dia mulai membaca kata-kata motivasi di sebelah foto tersebut. “aku sadar aku tidak memiliki kedua tangan
ataupun kedua kaki, dulu, aku berharap bisa punya ke empatnya, namun, tentu
saja itu mustahil, karena kenyataannya aku tidak memiliki semua itu. Aku juga
tidak pernah terfikir untuk memiliki kehidupan selanjutnya ketika mengetahui
bahwa aku adalah pria cacat. Aku punya cita-cita membangun bangsa ini untuk
tetap bersemangat dan bersyukur dalam segala hal yang mereka jalani. Tidak
semua orang mengalami apa yang aku alami, tapi, bagiku sama saja, ada atau
tidaknya lengan dan kaki, lengkap atau tidaknya anggota tubuh tidak berpengaruh
dalam hidup ini, yang berpengaruh adalah semangat hidup dan rasa bersyukur yang
tinggi dari diri mereka masing-masing. Aku masih bisa hidup sampai saat ini,
aku masih bisa menyelesaikan sekolahku dan aku masih bisa menjalani segala
aktivitas seperti orang-orang normal karena aku menanamkan prinsip semangat
hidup dan selalu bersyukur. Aku percaya Tuhan selalu berada di sampingku
kapanpun aku butuhkan dan kemanapun aku pergi.”
Kalimat-kalimat motivasi
yang terpapar di lembaran tersebut, membuat Mirza semakin tersadar bahwa
dirinya masih beruntung hanya lumpuh di kedua kakinya saja, kedua lengannya
masih normal. Lalu dia kembali menggerakkan kursi rodanya keluar kamar, dan dia
sengaja memberhentikan kursi tersebut di sebuah kaca besar di perempatan lorong
gedung pengungsian, Ia mulai memperhatikan penampilannya yang sangat buruk,
Mirza mulai membuka matanya lebar-lebar dan membawanya berkeliling melihat para
korban yang ada di sekitar lorong, banyak anak muda yang menangis dan duduk
ketakutan, perasaan cemas sangat jelas tergambar di raut wajah mereka. Mirza
tersadar dari lamunan panjangnya yang tidak berguna, Mirza memilih kembali ke kamar untuk mengambil handuk dan
pakaiannya, Ia bersegera membersihkan tubuhnya yang sangat kotor dan terlihat
tak terurus. Di dalam kamar mandi, dirinya tidak habis pikir kenapa dia
melakukan hal yang sangat-sangat merugikan, dalam beberapa bulan, Ia biarkan
anak muda merasa ketakutan dan negaranya semakin terpuruk. Setelah beberapa menit
di dalam kamar mandi, Mirza kembali ke kamarnya dan suara Adzan maghrib mulai
berkumandang di sekitar pengungsian. Air wudhu yang sudah diambilnya dari kamar
mandi tadi, membuat tubuhnya terasa sejuk, setelah azan berkumandang, Mirza
membentang sajadahnya di atas lantai, dan Ia perlahan-lahan menuruni kursi
rodanya. Dengan duduk, dia melaksanakan sholat maghrib, subhanallah, dia
merasakan jati dirinya kembali lagi, selama beberapa bulan dirinya tidak
melaksanakan sholat dan bahkan membersihkan diri pun tidak pernah. Kedua salam
mengakhiri sholatnya, Mirza mulai menadahkan kedua tangannya di depan wajah dan
air matanya mulai menghujani seluruh bagian wajah halusnya.
“Ya Allah tuhan yang
Maha Adil dan pemilik seluruh alam semesta beserta isinya, hamba mohon ampun Ya
Allah, karena hamba telah melupakanMu selama ini, hamba sia-siakan seluruh
waktu hamba hanya untuk berdiam diri dan merenungi nasib. Hamba bahkan berfikir
Engkau tidak lah adil terhadap hamba, Engkau telah mengambil orang-orang yang
hamba sayangi dan cintai, Engkau biarkan hamba hidup seorang diri di situasi
yang sangat terpuruk ini. Tapi, apa lah daya, semua itu hanya lah titipan, karena
hanya Engkau lah yang berhak mengatur dan menata segalanya, Engkau yang telah
menciptakan mereka, maka berhak lah Engkau mengambil mereka lagi. Ya Allah,
hamba benar-benar mohon ampun, ampuni segala dosa-dosa hamba dan dosa
orang-orang yang telah mendahului hamba. Jika Engkau punya rencana yang lebih
indah untuk hamba, maka biarkan lah hamba menerimanya, jika boleh hamba
meminta, hamba ingin Engkau kuatkan diri hamba dan lindungi hamba dari godaan
setan yang akan menjerumuskan hamba dan para anak muda ke dalam nerakamu Ya
Allah.”
Air mata yang terus
mengalir dan do’a yang sangat khusyuk, membuat Mirza menjadi lebih tenang dan
lega. Setelah sholat, Ia kembali meduduki kursi rodanya, beberapa menit
kemudian, dokter Mahmoed datang sembari membawa makanan dan minuman untuknya.
“Mirza, baru selesai sholat ya? Maaf mengganggu, saya hanya ingin mengantarkan
makan malammu. Tunggu dulu, sudah beberapa bulan ini, saya tidak pernah melihat
kamu melaksanakan sholat, dan wajahmu selalu tampak kusut dan sedih, sekarang,
kamu sudah berbeda, apa yang menyebabkan ini semua, jika saya boleh tahu.”
Kalimat-kalimat yang sangat lembut keluar dari bibir dokter Mahmoed, sembari
meletakkan makanan Mirza di atas meja.
“iya, terima kasih dok,
saya tidak merasa terganggu. Ya! Saya baru sadar bahwa beberapa bulan kemarin
saya melakukan hal yang sangat fatal, saya melupakan segala hal yang sebenarnya
harus saya lakukan, tapi saya malah membiarkan diri saya berdiam dan termenung
tak berguna.” Jawab Mirza dengan suara agak berat dan nada yang sangat rendah.
Tanpa sengaja dokter
Mahmoed melihat secarik kertas dengan foto Nick Vujicic di atasnya. “hei, saya
mengenal orang ini, dia adalah seorang motivator terbaik di dunia bukan?” pertanyaan
semangat untuk Mirza, dan hanya dibalas anggukan serta senyum manis dari Mirza.
“jujur saja, saya sangat kagum terhadapnya, tanpa kedua tangan dan kedua kaki,
dia bisa bertahan hidup dan bisa menjadi orang yang benar-benar dikenal oleh
seluruh orang di dunia ini.”
“dia adalah idola saya
dok,” beberapa detik, mereka saling berpandangan, lalu Mirza mengalihkan
pandangannya dan lanjut berbicara. “dia lah penyebabnya kenapa saya bisa
berubah saat ini, kalimat motivasi yang tertera di sebelah fotonya,
membangkitkan semangat saya sekaligus mengingatkan saya akan jati diri yang
sebenarnya. Saya memang tidak bisa berjalan, tapi, saya masih punya kedua
tangan yang masih normal dan masih bisa membantu saya menggerakkan kursi roda
ini, saya memang telah di tinggal mati oleh Ibu dan sahabat sejati saya, dan
kedua orang ini sangat lah penting dalam hidup saya, mereka lah penyemangat
terbaik yang pernah ada. Tapi, saya baru tersadar bahwa saya masih memiliki
Allah SWT, tuhan yang selalu berada di dekat makhluknya, saya juga baru sadar
bahwa semua orang yang saya sayangi dan cintai hanyalah titipan dari-Nya,
mereka semua tidak akan mungkin menjadi milik saya selamanya, saya pun akan
meninggal suatu hari nanti, jika itu memang kehendak Allah.” Suasana masih
sunyi, dokter Mahmoed hanya mendengarkan pembicaraan Mirza tanpa mengeluarkan
sedikit pun kata-kata. Mirza membenarkan posisi duduknya dan mengangkat
wajahnya melihat langit-langit di kamar. “memang sulit rasanya memaksakan diri
untuk tetap tersenyum, bahkan dalam keadaan seperti ini. Terkadang saya masih
bisa merasakan kehadiran Ibu dan sahabat saya di sini, tapi kenyataannya,
mereka tidak ada, mungkin mereka sudah berada di tempat yang nyaman di
sisi-Nya. Terakhir kali saya melihat Ibu saya, beliau mengatakan bahwa saya harus
tetap memotivasi anak muda di Negara ini, saya tidak pernah menyadari bahwa itu
adalah kata-kata bermakna terakhir yang keluar dari bibirnya. Begitu pun
sahabat saya, Elif, kami pergi ke luar kota untuk memberikan motivasi kepada
pemuda di sana, ketika pulang kemari, saya mulai kehilangan akal, seingat saya,
setelah melihat jasad Ummi, saya pergi ke taman kota dengan pikiran yang sangat
kacau, saya tidak memikirkan kemana dan sedang apa Elif saat itu, tiba-tiba,
saya sudah di rumah sakit dan mengetahui dia telah meninggal dunia, saya
benar-benar sudah putus asa ketika itu, tapi, sekarang saya bersyukur bisa
kembali lagi.” Butiran air mata membasahi pipinya, dengan segera dokter Mahmoed
merogoh sakunya dan mengambil saputangan dan memberikannya kepada Mirza. Mirza
menghapus air mata itu dengan sangat perlahan. “baiklah, sepertinya, saya harus
bertugas kembali, selamat malam, maaf, karena saya sudah membuat kamu menangis,
saya harus pergi sekarang.” Kata dokter Mahmoed sambil berjalan keluar dari
kamar Mirza.
Mirza masih berdiam
diri di kamar, setelah beberapa menit berdiam, Ia merasakan lapar, kemudian, diputarnya
roda di kursinya, agar mendekat ke meja yang di atasnya telah terdapat sepiring
gandum dan segelas air putih. Dengan Basmallah, dia mengawali makan malamnya,
perlahan-lahan tangannya menyuapkan sesendok gandum ke dalam mulut, dengan
perlahan pula Ia mengunyah-ngunyah gandum tersebut. Batinnya masih tertekan,
sebetulnya, Mirza belum sepenuhnya membaik, pikirannya masih kacau, air matanya
masih meronta-ronta ingin keluar, memori-memori di kepalanya selalu terputar
mengingatkan kembali kenangan dirinya bersama 2 orang yang sangat Ia cintai.
Dengan air mata bercucuran, Mirza menghabiskan makanan dan minumannya, setelah
itu, Ia pergi keluar melihat suasana di luar. Semuanya masih sama, masih
terlihat buruk, pandangan Mirza tak lepas dari para pemuda yang benar-benar
putus asa akan serangan dari Perancis. Dirinya mulai mendekat ke salah satu
pria muda berkulit putih, dan berambut cokelat, pria itu benar-benar terlihat
ketakutan, duduk dengan pandangan kosong. “maaf mengganggu, kamu baik-baik
saja?” Mirza memulai pembicaraan.
“memangnya apa yang
membuatmu berfikir bahwa diriku baik-baik saja dalam keadaan seperti ini?”
jawab pria itu dengan kesal.
“saya hanya bertanya,
jika tidak keberatan, boleh kah saya tahu, kenapa kamu terlihat sangat takut?”
Tanya Mirza lagi.
“kau tidak lihat di
luar sana! Negara Perancis memporak-poranda Negara kita! Sekarang kau masih
bertanya, kenapa aku takut!?” bentak sang pria.
“apakah kau mencintai
Negara ini?” Tanya Mirza
“tentu saja! Ini Negara
kelahiranku, dan tempat dimana diriku di besarkan!”
“Alka, itu kah namamu?”
Mirza menebak, sambil melihat jahitan nama di baju sang pria.
“iya” jawabnya singkat
Mirza menekuk tubuhnya
ke bawah, lalu, dengan sangat cepat, Mirza mengambil sepatu yang Alka gunakan
untuk alas kakinya, setelah mendapatkan sepatu tersebut dengan kasar, di
hadapan pemiliknya Mirza merobek sepatu
tersebut dengan kasar. Melihat itu, Alka tidak ingin berdiam diri, dirinya
langsung merampas sepatunya kembali dan memarahi Mirza.
“hei! Wanita cacat! Apa
yang kau lakukan?!” bentak Alka.
“kenapa kau
mengambilnya? Biarkan saja aku merobeknya” sahut Mirza dengan tenang.
“tentu saja aku
mengambilnya kembali, ini adalah sepatu kesayanganku! Aku tidak akan
membiarkanmu merusak ini!” jawab Alka dengan sangat kesal.
“kalau kau tidak ingin
milik kesayanganmu di rusak oleh orang lain, kenapa kau masih membiarkan
sesuatu yang kau cintai diporak-poranda oleh orang lain?” Tanya Mirza sambil
menatap lurus ke luar gedung.
“apa maksudmu?” Alka
semakin bingung.
“kau tidak senang jika
sepatumu di rusak olehku, kau memarahiku dengan sangat kasar dan merampasnya
kembali, padahal ini hanya sepatu dan bisa dibeli lain waktu! Tapi, kau malah
berdiam diri di sini dengan wajah ketakutan, sedangkan Negara yang kau cintai
di porak-poranda oleh Negara lain! Kenapa kau tidak berusaha merampasnya
seperti kau merampas sepatumu dariku?” jawab Mirza dengan nada tegas.
Alka masih bingung
dengan perkataan dari Mirza, dia hanya diam dan kembali duduk, karena tadi dia
sempat berdiri dan berencana menyakiti Mirza. Beberapa detik, mereka saling
diam, suara Adzan Isya terdengar, Mirza memilih untuk memutar kursinya menuju
kamar mandi dan ingin melaksanakan sholat serta beristirahat di ranjang
kecilnya. “pikirkan itu baik-baik!” kata-kata penutup dari Mirza sebelum mereka
berpisah.
Alka membiarkan Mirza
kembali ke kamarnya, tanpa satupun jawaban yang di lontarkan untuk Mirza,
kemudian dia beranjak dari tempat duduk dan pergi ke kamar. Alka menjatuhkan
tubuhnya dengan tenang di atas ranjang, diambil sepatu robek yang ada di kaki
sebelah kirinya, diperhatikannya benar-benar sepatu tersebut dan menyimpulkan
maksud dari perkataan Mirza, namun, dirinya masih tidak mengerti. Dia tetap
berusaha menyimpulkan kata-kata dari bibir wanita tersebut.
Pagi hari yang sama,
dimana seluruh orang masih tampak putus asa, masih terlihat ketakutan akan
serangan selanjutnya yang akan di lakukan Negara Perancis. Mirza mengenakan
khimarnya, dan memasang bros satu-satunya yang Ia miliki di khimar tersebut.
Setelah pakaiannya rapi, Ia keluar untuk melihat suasana, Mirza benar-benar
prihatin atas keterpurukan yang belum usai di negaranya saat ini, apalagi, jika
harus melihat pemandangan lemah dari wajah-wajah para pemuda dan pemudi di
sana. Mirza menjalankan kursi rodanya di lorong gedung, tiba-tiba para prajurit
kewalahan, menggotong temannya yang sekarat tertembak dari jauh oleh prajurit
Negara Perancis, para medis berlarian sambil membawa koper P3K nya. Lalu
terdengar suara yang samar-samar, “kita
butuh prajurit lagi,,, kita kehabisan tenaga, kita harus meminta para lelaki
untuk membantu kita komandan.” Suara yang benar-benar pelan, “tapi, tidak semudah itu, para pemuda di sini
telah kehilangan semangat, mereka ketakutan akan hal ini.” Suara itu
benar-benar serius, Mirza langsung pergi ke lorong dekat kamarnya, di situ lah
banyak para lelaki, para pemuda yang bisa menjalankan tugas Negara. Sebelum
Mirza berbicara, salah seorang prajurit sedang menawarkan kepada mereka.
“ayo lah,,,
bapak-bapak! Kita harus membela Negara ini! Kita bisa mati jika kita tidak
melawan mereka! Kami butuh bantuan bapak-bapak di sini.”
Para lelaki yang
mendengarkan, hanya berdiam dan saling toleh-menoleh, tak ada satupun yang
berniat ikut serta dalam pembelaan Negara. Akhirnya Mirza bertindak, dia
mendekatkan diri ke sebelah sang prajurit, dan mulai berbicara dengan nada
tegasnya.
“ayo lah! Kita semua
pasti bisa, jangan takut dengan kematian, karena Allah selalu ada untuk
melindungi kita!” semua orang masih terdiam. “jika bukan, bapak-bapak dan
teman-teman di sini, lalu, siapa lagi yang akan membantu para prajurit ini membela Negara kita? Ini Negara kita kan?
Anggap saja ini adalah rumah kita, dan kita sebagai pondasinya, jika pondasinya
saja sudah lemah, maka rumah akan roboh dan hancur! Kita harus menjadi orang
yang kuat! Memiliki keberanian untuk melawan semua ini!” teriak Mirza kepada
mereka semua.
“memangnya, tahu apa kamu
soal keberanian? Kamu itu hanya wanita cacat, apa yang membuatmu berani melawan
semua ini! Kau itu sama saja! Kau tidak bisa menjaga tubuhmu sendiri, sekarang,
kau malah mau menjaga Negara ini? Kakimu saja lumpuh, apalagi Negara ini! Bisa
hancur!” jawaban yang sangat tidak enak keluar dari mulut seorang lelaki tua.
Mirza menahan air
matanya, dia berusaha untuk tidak terlihat sakit hati. “saya menyadari bahwa
saya tidak bisa berjalan, saya sadar, saya hanya wanita cacat! Tapi, saya sadar
peranan saya di sini! Saya adalah generasi bagi Negara ini! Dalam hidup ini,
tidak akan berpengaruh jika kita punya 1 kaki atau bahkan tidak punya sama
sekali! Hidup ini hanya harus di syukuri, semua yang dapat kita syukuri, akan
membuahkan kenikmatan di dalam batin! Hidup ini bukan untuk di ratapi! Tapi
untuk diperbaiki! Hidup ini butuh semangat! Semangat yang bisa membuat kita
menghasilkan sesuatu yang menguntungkan! Jika bukan saat ini saya berjuang,
kapan lagi saya bisa melanjutkan hidup?! Jika bukan saat ini kita bertindak!
Kapan lagi Negara ini akan merdeka?!” kata-kata yang di lontarkan penuh
emosional dan ketegasan! Membuat semua orang terdiam. Lalu, seorang pria muda
tiba-tiba keluar dari kamarnya dan merebut seorang anak laki-laki dari pelukan
sang ayah, Ia menodongkan pisau ke leher anak itu. Seisi lorong tegang,
prajurit menodongkan senapannya dan para lelaki tadi hanya berdiri dan bersiap
menyerang sang pria. Mirza menoleh ke arah wajah pria itu, ternyata dia adalah
Alka.
“ayo! Ambil anak ini!
Akan saya gorok lehernya hingga putus! Ayo ambil dia!” ancamnya dengan mata
pisau yang sangat tajam.
“Alka! Apa yang kamu
lakukan?!” teriak Mirza
“hei! Dia anakku,
kembalikan dia! Dasar lelaki bangsat!” makian dari ayah sang anak.
Prajurit dan segerombolan
lelaki langsung menyerangnya dan berhasil merampas sang anak tanpa ada sedikit
pun luka di tubuhnya. Sang ayah dari anak tadi, mencekik leher Alka.
“baiklah! Dengarkan
saya! Kau menyayangi anakmu kan?” Tanya Alka dengan suara berat karena tercekik.
“tentu saja aku
menyayanginya! Orang tua mana yang tidak menyayangi anaknya? Maksudmua apa
melakukan hal ini?” kata lelaki itu sambil menekan tangannya lebih keras.
“uhuk,,,uhuk,,,
lepaskan dulu tanganmu dari leherku!” pinta Alka yang sudah lemas
Lelaki itu langsung
melepaskan cengkramannya yang kuat, dan membiarkan Alka berbicara. Dengan
terengah-engah, Alka berusaha melanjutkan pembicaraannya.
“baiklah! Dengarkan
saya benar-benar! Kau menyayangi anakmu bukan? Dan kau tidak akan membiarkannya
terbunuh oleh pisauku ini kan? Kau juga mencekikku dan merampasnya kembali
kepelukanmu! Lalu! Kenapa kau tak lakukan itu untuk Negara ini?!” semua orang
terlihat bingung. “kenapa tidak kalian lakukan ini untuk Negara Turki? Kenapa
kalian tidak merampas Negara kita dan mencekik Negara Perancis? Kenapa? Jika
kalian hanya diam di sini dan menunggu orang lain! Itu tidak akan mungkin,
Perancis akan datang dan mengebom tempat ini, kalian bukan hanya kehilangan
nyawa, tapi juga keluarga kalian dan juga seluruh kota di Negara ini! Ayo! Kita
semua pasti bisa!” kata-kata yang pernah di katakan oleh Mirza ini, ternyata
sudah dicermati oleh Alka. Mendengar semua perkataan dari Alka, semua orang
memutuskan untuk terjun ke medan peperangan di luar sana, mereka mengambil
persediaan senjata dan turun ke lapangan. Alka tersenyum kepada Mirza yang
bangga dengan motivasi darinya.
Pesawat tempur milik
turki sudah siap di terbangkan, sebelum berangkat, Mirza meminta untuk diperbolehkan
ikut ke dalam pesawat itu. Butuh beberapa menit, permintaan izin dari Mirza,
baru lah komandan mengizinkannya, dengan digotong oleh prajurit ke dalam
pesawat, mereka siap untuk berangkat. Aba-aba telah menunjukkan mereka harus
terbang sekarang, dengan kecepatan tinggi, dan perbekalan senjata yang cukup,
mereka siap membombardir Negara Perancis. Ketika sampai di zona udara Negara
Perancis, mereka sudah di serang dengan berbagai peluru dari bawah sana.
“cari markas mereka!”
pinta Mirza
“untuk apa? Komandan
tidak memerintahkan itu!” jawab sang pilot
“jika kita ingin
mematikan seluruh lampu di kota Adiyaman, maka kita harus mencari sumber
listriknya, jika kita ingin menghancurkan Negara ini! Kita harus mencari
markasnya. Hubungkan saya dengan
komandanmu!” ujar Mirza.
Setelah di sambungkan
dengan komandan mereka, Mirza meminta agar komandan bisa memberi mereka tugas,
setelah beberapa menit berdebat, akhirnya komandan mengizinkan mereka. Mereka
melaju dengan kecepatan tinggi, perlu beberapa menit dan ketelitian yang
sungguh-sunggu untuk bisa mendapatkan letak markas dari Negara Perancis.
Akhirnya, mereka mendapatkan markas tersebut, tampak beberapa buah pesawat
terparkir di sana dan beberapa meriam sudah di siapkan di sana, tanpa berfikir
panjang, empat buah bom langsung di jatuhkan mengelilingi sekitar markas
tersebut. Ledakan besar-besaran terjadi sana, dengan segera pesawat tempur
Turki kembali ke markas, dari belakang, pesawat mereka di tembak oleh musuh,
mereka benar-benar panik, karena terdapat percikan api di belakang pesawat. Syukurnya,
di belakang masih ada pesawat Negara Turki yang menembakkan pelurunya ke
pesawat musuh hingga terjatuh ke darat. Namun, sayang, pesawat Turki yang di
tumpangi Mirza kehilangan kendali Karena tertembak, ketika jaraknya sudah
sangat dekat dengan daratan, pesawat tersebut langsung jatuh mengahantam permukaan
tanah. Seluruh awak pesawat berhamburan keluar, termasuk Mirza, dia kesulitan
untuk lari, karena terhimpit sayap pesawat. Pesawat tidak meledak, hanya saja,
pesawat telah terbakar, prajurit yang terluka kesulitan membantu Mirza keluar
dari himpitan tersebut. Akhirnya para medis dan para prajurit yang lain
menyusul ke tempat kejadian, dan membantu Mirza, karena terlalu lama terhimpit,
Mirza mengalami sesak napas, dirinya tampak sekarat. Dokter Mahmoed
mengeluarkan oksigen dan memberikannya kepada Mirza.
Beberapa menit
menghirup oksigen, Mirza masih tampak sekarat, ketika para medis ingin
membawanya kembali ke markas, Mirza menolak.
“ayo, cepat bawa dia ke
markas!” teriak dokter Mahmoed sambil mencoba berdiri dengan Mirza di
pelukannya.
“jangan dok,,, jangan
habiskan waktu kalian dan tenaga kalian untuk saya. Ini memang sudah waktunya.”
Kata Mirza dengan nada tersendat-sendat.
“apa maksudmu Mirza?”
Tanya Alka.
“dokter, Alka, dan
semuanya. Seseorang yang hidup, pasti akan mati, begitu juga saya, saya sudah
tidak kuat, dan ini memang sudah takdir yang ditentukan Allah.” Suara Mirza
semakin berat.
“kamu harus bertahan
Mirza!” pinta dokter Mahmoed
“kamu masih bisa
bertahan Mirza, jika kau berkata seperti itu, bagaimana dengan mimpimu, kau
punya mimpi kan?” kata Alka sambil meneteskan air mata yang selalu jatuh ke
atas tangan Mirza yang di genggamnya.
“kematian tidak pernah
memandang siapa kamu, dari mana kamu, dan berapa usiamu, kematian akan datang
kapanpun dan di manapun jika Allah sudah berkehendak. Mimpi saya, ada di balik
reruntuhan itu,,, jika itu bisa kembali menjadi bangunan megah, maka mimpi saya
telah terwujud………………….. La’ilaha’ilallah…. Muhammadurrasulullah!” kata-kata
terakhir yang telah di ucapkan Mirza, pahlawan wanita yang sangat tangguh dan
berani ini akhirnya menghembuskan nafas diperjuangan terakhirnya. Seluruh orang
yang telah mengenalnya, menetesakan air mata mereka, ketika jasad Mirza di
kebumikan. Persaan duka yang mendalam yang tengah di rasakan mereka semua, menggambarkan
bahwa, Mirza memang wanita yang sangat berjasa di dalam hidup mereka, terutama
untuk Alka dan dokter Mahmoed. Setelah proses pemakaman selesai, Alka dan
dokter Mahmoed memilih untuk membersihkan kamar yang di tinggali oleh Mirza
dulu. Ketika sedang berkemas, dokter Mahmoed memandang foto Nick Vujicic yang
terpampang di dinding kamar tersebut.
“saya salut dengan
lelaki ini, tapi, saya lebih salut dengan perjuangan penggemarnya, Mirza. Saya
tahu bagaimana rasanya jadi dirinya ketika semua orang yang Ia cinta harus
pergi, dan hebatnya, dia bisa bersemangat dan menyemangati orang lain, walaupun
sebenarnya dia dalam keadaan yang sangat buruk.” Kata dokter Mahmoed dengan
mata yang berkaca-kaca.
“ya, dia adalah seorang
motivator terbaik yang pernah saya termui. Akasma Nuray Mirza” jawab Alka.
Beberapa minggu
kemudian, Negara Turki mendapatkan surat perdamaian dari Negara Perancis. Surat
yang di kirim langsung oleh Presiden Perancis untuk Turki, menandakan bahwa
kedua Negara ini akhirnya berdamai. Dan beberapa tahun kemudian, Negara Turki
kembali menjadi Negara yang damai, seluruh bangunan telah berdiri kembali dan
seluruh orang sudah memiliki kehidupan mereka yang nyaman. Termasuk dokter
Mahmoed dan Alka.
“kau ingat ketika Mirza
bilang mimpinya ada di balik reruntuhan?” Tanya dokter Mahmoed sambil melihat
secarik kertas dengan foto Nick Vujicic.
“tentu saja, sekarang
mimpinya telah terwujud. Itu, Nick Vujucic kan? Lihat, aku masih menyimpan
sepatuku yang pernah di robek oleh Mirza” jawab Alka sambil tertawa kecil
sekaligus menyimpan rasa rindu yang mendalam untuk wanita terbaik yang pernah
di kenalnya.
No comments:
Post a Comment