Wednesday, July 2, 2014


“RAMADHAN IS MY SON’S STYLE”

“Di bulan Ramadhan nggak boleh nakal! harus baik-baik sama orang.” Omel ku pada Hilman, Putra pertamaku yang baru berusia enam tahun. Tahun ini aku berhasil membujuknya untuk ikut berpuasa, Hilman anak yang sangat aktif dan bandel, aku sudah beberapa kali menyewa babysitter untuk menjaganya, namun tak ada satupun yang betah mengurusnya, bagaimana tidak, hampir setiap hari selalu ada saja para tetangga datang ke rumah dan memarahiku perihal kenakalan putraku ini. Tapi, bagaimanapun nakalnya, dia tetaplah putraku yang sangat kusayangi, anugerah yang dititipkan Allah untukku dan suami.
Hari ini, lagi-lagi Hilman membuat kenakalan, Ia telah memecahkan vas bunga milik Bu Fitra tetangga kami. Aku sudah berkali-kali menasehati dan memarahinya, namun, tetap saja dia tidak memperdulikan omelanku. Aku memang merasa sangat lelah mengomelinya setiap hari, tapi apa daya? Anak kecil ya memang begitu hakiki nya. Sebelum tidur aku selalu mengingatkannya untuk memanjatkan do’a pada Allah, dan selalu berkata “Hilman, jadilah anak yang baik, buat Ummi dan Abi mu bangga nak.” Dia pun selalu menjawab “Ummi, Hilman kan memang anak baik.” Ya, jawaban yang terdengar lucu, setiap Ia mengatakan itu, aku selalu memberinya ciuman di kening.
Keesokan harinya ketika Ia hendak pergi ke sekolah, aku selalu merapikan bajunya dan berkata “Jangan nakal ya, di bulan Ramadhan nggak boleh nakal, nanti Allah marah.” Dia selalu tersenyum ketika aku mengatakan itu, dan menyertai itu dengan sebuah pelukan hangat. Entahlah, tapi aku memang merasa Hilman adalah anak yang sangat baik, walaupun selalu ada laporan bahwa dia merupakan anak paling nakal di sekolah.
Sepulang sekolah, aku melihat Hilman tengah memegang beberapa permen lollipop. Dia mengucapkan salam dan mencium tanganku. “Beli permen di mana? Hilman masih puasa kan?” Tanyaku.
“Masih kok. Tadi Hilman beli di warung Bude.”
Setelah perbincangan kecil kami, tiba-tiba kami kedatangan tamu seorang ibu-ibu yang membawa putrinya yang sedang menangis tersedu-sedu, wajah ibu itu terlihat sangat kesal.
“Ada apa ya Bu?” tanyaku pada ibu itu.
“Eh, tolong dijaga ya putramu itu, masak dia mengambil uang anak saya!”
“Astaghfirullah! Hilman apakah benar yang dikatakan ibu ini!?” bentakku pada Hilman.
“Enggak Ummi, Hilman nggak ngambil uangnya kok.” Jawab Hilman dengan sangat polos.
“Bohong!” Bentak ibu itu.
“Maaf bu, coba tanya dulu sama anak ibu.” Aku mencoba bersabar.
“Aira, dia kan yang sering mengambil uang kamu!?” Ibu itu bertanya pada putrinya.
“Bukan bu, bukan Hilman, tapi Chiko.” Putrinya menjawab pelan.
“Tu kan bener.” Hilman menjawab.
“Oh, kalau begitu maaf ya Bu.” Ibu itu memohon.
“Iya, tidak apa-apa.”
Sudah kuduga, Hilman tak mungkin melakukan hal ini. Akupun mengantarkan ibu itu pada rumah Chiko teman sekolah Hilman yang letaknya persis di sebelah rumah kami. Setelah mengantarkan ibu tadi, aku dan Hilman pulang ke rumah, dalam perjalanan tiba-tiba ada seorang ibu-ibu menghampiri kami dengan baju lusuh, aku menarik napas dan bersiap menerima amarah dari ibu itu.
“Ini nak Hilman kan? Apa kabar?” Tanya ibu itu.
“Baik Bu, ibu apa kabar juga?” jawab Hilman sambil tersenyum.
“Ibu juga baik-baik saja, ini pasti ibunya Hilman ya?”
“Iya Bu, ibu siapa?” Tanyaku bingung.
“Saya Bu Mina, saya benar-benar berhutang budi pada anak ibu, kalau tidak ada dia, mungkin saya tidak akan di sini lagi.”
“Maksud ibu?” Aku semakin bingung mendengar perkataan Bu Mina.
“Ah, sudahlah nanti Hilman akan menjelaskan, saya pergi dulu ya bu. Permisi Assalamualaikum.” Bu Mina meninggalkan kami.
“Wa’alaikumsalam.”
Aku masih kebingungan dengan perkataan Bu Mina barusan, memangnya apa yang dilakukan Hilman sehingga Ia merasa berhutang budi pada putraku?
“Hilman, ibu tadi itu siapa? Kenal di mana?”
“Itu ibu-ibu yang kerja di lampu merah Mi.” jawabnya dengan wajah polos.
“Memangnya Hilman pernah melakukan apa?”
Belum sempat menjawab pertanyaanku, Hilman masuk ke dalam kamarnya dan kembali padaku dengan membawa sebuah kaleng.
“Ini apa nak?” tanyaku bingung memperhatikan kaleng itu.
“Ini tabungan Hilman Mi.”
“Kok kosong?”
“Kemaren Hilman pake buat bantuin Bu Mina untuk beli nasi bungkus, kasihan dia nggak punya uang untuk buka puasa. Jadi, Hilman kasi aja seluruh tabungan Hilman ke Bu Mina.”
Mendengar pernyataan langsung dari putraku, aku tidak bisa berkata apa-apa, ternyata di balik kenakalannya selama ini, ada hal yang sangat baik tersimpan di dalam dirinya, di bulan yang penuh berkah ini, tahun pertamanya untuk belajar berpuasa dan belajar kebaikan ternyata membuahkan hasil yang mengharukan. Aku percaya bahwa anakku memang titipan yang luar biasa dari sang Khalik, dan Ramadhan adalah bulan yang bisa merubahnya menjadi anak yang sangat baik. Mataku berlinang dan dengan segera kucium Ia dan kupeluk erat tubuhnya yang mungil. Senakal apapun dia, dia tetaplah putraku yang tersayang.

1 comment:

Takdir Menjerit Padaku ... Jiwaku masih terasa tak di sini, rasanya seperti ia terhuyung kesana kemari oleh angin sore. Aku merasa ke...

Baca Ini Dulu Biar sah!