“RAMADHAN IS
MY SON’S STYLE”
“Di
bulan Ramadhan nggak boleh nakal! harus baik-baik sama orang.” Omel ku pada
Hilman, Putra pertamaku yang baru berusia enam tahun. Tahun ini aku berhasil
membujuknya untuk ikut berpuasa, Hilman anak yang sangat aktif dan bandel, aku
sudah beberapa kali menyewa babysitter untuk menjaganya, namun tak ada satupun
yang betah mengurusnya, bagaimana tidak, hampir setiap hari selalu ada saja
para tetangga datang ke rumah dan memarahiku perihal kenakalan putraku ini.
Tapi, bagaimanapun nakalnya, dia tetaplah putraku yang sangat kusayangi,
anugerah yang dititipkan Allah untukku dan suami.
Hari
ini, lagi-lagi Hilman membuat kenakalan, Ia telah memecahkan vas bunga milik Bu
Fitra tetangga kami. Aku sudah berkali-kali menasehati dan memarahinya, namun,
tetap saja dia tidak memperdulikan omelanku. Aku memang merasa sangat lelah
mengomelinya setiap hari, tapi apa daya? Anak kecil ya memang begitu hakiki
nya. Sebelum tidur aku selalu mengingatkannya untuk memanjatkan do’a pada
Allah, dan selalu berkata “Hilman, jadilah anak yang baik, buat Ummi dan Abi mu
bangga nak.” Dia pun selalu menjawab “Ummi, Hilman kan memang anak baik.” Ya,
jawaban yang terdengar lucu, setiap Ia mengatakan itu, aku selalu memberinya
ciuman di kening.
Keesokan
harinya ketika Ia hendak pergi ke sekolah, aku selalu merapikan bajunya dan
berkata “Jangan nakal ya, di bulan Ramadhan nggak boleh nakal, nanti Allah
marah.” Dia selalu tersenyum ketika aku mengatakan itu, dan menyertai itu dengan
sebuah pelukan hangat. Entahlah, tapi aku memang merasa Hilman adalah anak yang
sangat baik, walaupun selalu ada laporan bahwa dia merupakan anak paling nakal
di sekolah.
Sepulang
sekolah, aku melihat Hilman tengah memegang beberapa permen lollipop. Dia mengucapkan
salam dan mencium tanganku. “Beli permen di mana? Hilman masih puasa kan?”
Tanyaku.
“Masih
kok. Tadi Hilman beli di warung Bude.”
Setelah
perbincangan kecil kami, tiba-tiba kami kedatangan tamu seorang ibu-ibu yang
membawa putrinya yang sedang menangis tersedu-sedu, wajah ibu itu terlihat
sangat kesal.
“Ada
apa ya Bu?” tanyaku pada ibu itu.
“Eh,
tolong dijaga ya putramu itu, masak dia mengambil uang anak saya!”
“Astaghfirullah!
Hilman apakah benar yang dikatakan ibu ini!?” bentakku pada Hilman.
“Enggak
Ummi, Hilman nggak ngambil uangnya kok.” Jawab Hilman dengan sangat polos.
“Bohong!”
Bentak ibu itu.
“Maaf
bu, coba tanya dulu sama anak ibu.” Aku mencoba bersabar.
“Aira,
dia kan yang sering mengambil uang kamu!?” Ibu itu bertanya pada putrinya.
“Bukan
bu, bukan Hilman, tapi Chiko.” Putrinya menjawab pelan.
“Tu
kan bener.” Hilman menjawab.
“Oh,
kalau begitu maaf ya Bu.” Ibu itu memohon.
“Iya,
tidak apa-apa.”
Sudah
kuduga, Hilman tak mungkin melakukan hal ini. Akupun mengantarkan ibu itu pada
rumah Chiko teman sekolah Hilman yang letaknya persis di sebelah rumah kami.
Setelah mengantarkan ibu tadi, aku dan Hilman pulang ke rumah, dalam perjalanan
tiba-tiba ada seorang ibu-ibu menghampiri kami dengan baju lusuh, aku menarik
napas dan bersiap menerima amarah dari ibu itu.
“Ini
nak Hilman kan? Apa kabar?” Tanya ibu itu.
“Baik
Bu, ibu apa kabar juga?” jawab Hilman sambil tersenyum.
“Ibu
juga baik-baik saja, ini pasti ibunya Hilman ya?”
“Iya
Bu, ibu siapa?” Tanyaku bingung.
“Saya
Bu Mina, saya benar-benar berhutang budi pada anak ibu, kalau tidak ada dia,
mungkin saya tidak akan di sini lagi.”
“Maksud
ibu?” Aku semakin bingung mendengar perkataan Bu Mina.
“Ah,
sudahlah nanti Hilman akan menjelaskan, saya pergi dulu ya bu. Permisi
Assalamualaikum.” Bu Mina meninggalkan kami.
“Wa’alaikumsalam.”
Aku
masih kebingungan dengan perkataan Bu Mina barusan, memangnya apa yang
dilakukan Hilman sehingga Ia merasa berhutang budi pada putraku?
“Hilman,
ibu tadi itu siapa? Kenal di mana?”
“Itu
ibu-ibu yang kerja di lampu merah Mi.” jawabnya dengan wajah polos.
“Memangnya
Hilman pernah melakukan apa?”
Belum
sempat menjawab pertanyaanku, Hilman masuk ke dalam kamarnya dan kembali padaku
dengan membawa sebuah kaleng.
“Ini
apa nak?” tanyaku bingung memperhatikan kaleng itu.
“Ini
tabungan Hilman Mi.”
“Kok
kosong?”
“Kemaren
Hilman pake buat bantuin Bu Mina untuk beli nasi bungkus, kasihan dia nggak
punya uang untuk buka puasa. Jadi, Hilman kasi aja seluruh tabungan Hilman ke
Bu Mina.”
Mendengar
pernyataan langsung dari putraku, aku tidak bisa berkata apa-apa, ternyata di
balik kenakalannya selama ini, ada hal yang sangat baik tersimpan di dalam
dirinya, di bulan yang penuh berkah ini, tahun pertamanya untuk belajar
berpuasa dan belajar kebaikan ternyata membuahkan hasil yang mengharukan. Aku
percaya bahwa anakku memang titipan yang luar biasa dari sang Khalik, dan
Ramadhan adalah bulan yang bisa merubahnya menjadi anak yang sangat baik.
Mataku berlinang dan dengan segera kucium Ia dan kupeluk erat tubuhnya yang
mungil. Senakal apapun dia, dia tetaplah putraku yang tersayang.
I AM YOUR #1 FANS
ReplyDelete