SINGGASANA PERJUANGAN
Orens kekuning-kuningan menghiasi langit sore
ini. Burung-burung berterbangan membentuk formasi segitiga di atas sana,
tiba-tiba terputar memori yang sudah lama tak pernah dirasakan, dikala sedang
duduk santai di bawah pohon rindang, memandangi langit yang diramaikan kicauan
burung-burung wallet. Dua bulan bahkan hampir tiga bulan lelaki muda ini berada
di daerah yang jauh dari orang tercinta. Usai latihan fisik yang dilakukan sore
ini, Ia duduk di bibir ranjang tingkat bawah.
“Hei Indra kawanku,,,, kau baik-baik saja?” ujar
anak muda sambil menepuk pundak Indra.
“Tidak, tubuhku terasa sangat sakit.” Jawab
Indra sembari mengelus-elus pinggangnya.
“Ini masih permulaan, sebelum kita
mendapatkan pangkat Prada kawan”
“Ya aku mengerti Jon”
“Ya sudah, aku mau mandi dulu ya. Kau juga
jangan lupa mandi, keringatmu sudah bau asem!” Jono mengejek.
“Haha,,, asem? Nih, aku kasi asemnya” ujar
Indra sambil meletakkan tangannya di bawah lengan dan memberinya ke Jono.
“Ih,,, jorok!” Jono mengelak geli.
Jono melangkah keluar kamar dan Indra masih
duduk melepas lelah di atas ranjangnya. Tiba-tiba Indra teringat akan seseorang penambat hati yang tinggal
jauh darinya, yaitu Tiara kekasihnya. Hubungan mereka sudah satu tahun lamanya,
tanpa sepengetahuan ayah Tiara. Indra beranjak dari tempat duduk dan meraih
secarik kertas serta pena yang tergeletak di atas meja, ditulisnya beberapa
kalimat rindu, karena lama tak jumpa, selama pelatihan, Indra tidak
diperbolehkan menggunakan handphone ataupun alat elektronik lainnya, karena itu
lah, surat adalah jalan satu-satunya untuk berkomunikasi dengan orang tercinta.
Bukan waktu yang sebentar bagi wanita satu
ini berpisah dengan sang kekasih tercinta, satu kabarpun tak pernah terkirim
untuknya. Dua bulan lalu, bahkan satu hari setelah sang kekasih pergi, sudah
beberapa surat dikirimnya, namun tak satupun terbalaskan. Ia tahu, bukan
saatnya untuk mengeluhkan hubungan jarak jauh yang sedang mereka jalani kali
ini, yang mereka butuhkan saat ini adalah saling pengertian satu sama lain. Di
bawah pohon yang rindang tempat di mana Ia dan sang kekasih selalu menyandarkan
tubuh dengan lemas, sambil memandang langit, butiran bening jatuh menuruni pipi
wanita ini, dia benar-benar merindukan kekasihnya. “aku akan datang dengan seragamku”, kalimat itu lah yang selalu
terngiang di telinganya, kalimat terakhir yang diucapkan sang kekasih sebelum
pergi menjalani berbagai aktivitas di seberang sana.
“Indra, kapan kau kembali?” Tanya Tiara dalam
hati. “Aku merindukanmu” lanjutnya sembari menutup mata yang penuh dengan air
mata.
“Cepat! cepat! cepat!!!” teriak seorang
Letnan memerintahkan seluruh calon anggota TNI. “baris dengan rapi!” lanjutnya
berteriak.
Derab langkah para prajurit terdengar menggemparkan
tanah yang mereka pijak, mengambil posisi di dalam barisan dan menegapkan tubuh
mereka. Ini adalah hal yang biasa sejak dua bulan lalu, bahkan dari awal mereka
terdaftar di sini, di Komando Daerah Militer Iskandar Muda Provinsi Aceh. “Kalian
sudah tahu! Adab sebelum makan malam!” teriakan itu lah yang selalu pecah di
telinga mereka. “Siap tahu Pak!” jawaban serentak, bahkan terdengar sangat
tangkas.
“Kamu! Mana suaramu! Hah! Ambil posisi! 100
kali!” teriakan yang di tujukan untuk seorang calon anggota yang menjawab
dengan suara kecil. “Dengar! Bila ditanya! Kalian harus menjawab dengan tegas,
lantang dan bersemangat! Bagaimana kalian mau membela bangsa ini! Jika kalian
saja tidak bersemangat! Kalian harus bersemangat! Mengerti!”
“Siap mengerti Pak!”
Mereka berjalan dengan rapi dan berderet
sesuai tempat duduk yang telah di sediakan, dengan tubuh tegap mereka duduk,
dengan perintah dan dengan sangat sopan mereka mulai menyendokkan nasi ke mulut
mereka. Nasi yang sangat keras dan lauk seadanya, sudah biasa mereka nikmati,
tidak ada kata mengeluh yang mereka lontarkan, bila makanan atau sesuatu tak
cocok untuk mereka, mereka hanya mengeluarkan ekspresi aneh dan tidak pernah
berkata apapun.
Indra tahu ini akan terjadi pada dirinya,
jauh dari keluarga dan kekasih, memakan nasi keras dan tidur di ranjang padat,
dia sudah tahu resiko yang akan diterimanya. Dia sangat merindukan kekasih yang
sangat setia dengannya bahkan lebih setia dibandingkan keluarganya sendiri.
Keluarganya tak pernah peduli dengan apa yang dilakukan Indra, sebagai putra
bungsu, Indra selalu dianggap anak kecil, dan tak pernah dipercaya, kakak
sulungnya Ryan lebih beruntung darinya, dia bekerja sebagai anggota DPRD Kota
Calang, sejak kecil Ryan selalu dibanggakan, padahal dia tidak sepintar
adiknya, Indra, dia selalu menjadikan Indra sebagai mainannya, apapun yang Ryan
lakukan selalu benar sedangkan Indra tak pernah dianggap benar.
Ketika
Ryan melemparkan batu ke arah Indra, Indra berhasil mengelak, namun batu itu
tepat mengenai kaca mobil milik ayahnya, Indra berusaha mengambil batu itu dan
menjauhkannya, kemudian Ryan berlari mendekati mobil dan berjongkok berbisik ke
telinga Indra “Kau akan kena masalah pecundang!”, namun, sebelum Indra
menjauhkan batu itu kedua orang tuanya keluar dari rumah.
“Ada
apa ini! Siapa yang berani melakukan ini” teriak sang ayah.
“Ayah
tolong aku.” Ryan mengerang ketakutan.
“Anakku
kau tidak apa-apa sayang” sang Ibu langsung memeluk Ryan.
“Siapa
yang melakukan ini?” ayahnya mengulang.
“Dia
yah! Dia berusaha melemparkan batu itu kepadaku, tapi batu itu meleset dan
mengenai kaca mobil ayah.” Ryan mengarang cerita.
Indra
bangkit dan baru menyadari batu itu masih di genggamannya. Sang ayah melotot
dan memukulinya sejadi-jadi. Indra melirikkan matanya dan melihat Ryan
tersenyum senang melihat sang adik dipukuli.
Hembusan nafas lelah keluar dari hidung
Indra, setelah makan malam yang selalu menegangkan, dirinya butuh ketenangan,
tak ada yang bisa dipikirkannya selain kekasih tercinta di Kota Calang. Indra
berfikir, mungkin selama ini, Tiara bingung bagaimana cara berkomunikasi
dengannya, dan Indra berharap suratnya lekas dibalas, dan mereka dapat berbagi
cerita di atas sana. Antara Kota Calang dan Kota Meulaboh bukanlah jarak yang
dekat, Indra tahu ini akan terjadi, namun, demi cita-citanya, Indra memang
harus melakukan ini.
“Hei hentikan lamunanmu kawan!” suara Jono
membuyarkan lamunannya.
“Oh, hei…”
“Kau merindukan keluargamu?”
“Keluarga? Yang benar saja,” bisik Indra
dengan tawa kecil yang menghiasi wajahnya.”
“Apa katamu?” Jono mendekatkan telinganya ke
mulut Indra.
“Em,,, tidak, aku tidak merindukan mereka.”
“Tidak? Kau bercanda? Haha,,, semua orang di
sini, merindukan keluarga mereka, tapi kau? Kau tidak merindukan keluargamu?”
“Ya, aku serius, aku tidak merindukan mereka
sama sekali, memangnya salah?”
Jono terdiam sejenak, “Hmm,,, tidak, baiklah
itu hak mu, ohya,,, aku tahu, kau pasti merindukan Tiara ya?”
Indra hanya tertawa kecil.
“Baiklah, aku mau tidur dulu. Selamat malam
kawan” Jono memanjat tangga dan meletakkan tubuhnya di ranjang tingkat atas.
“Selamat malam”
Pukul telah menunjukkan 24:00 malam, duduk di
dekat jendela, mata sembab Tiara belum juga terpejam, memandangi langit
bertebar bintang yang berkelap-kelip. Air mata masih saja mengalir menuruni
pipinya, Ia masih berharap Indra dapat kembali dengan janjinya dulu. Masa-masa
indah ketika bersama, memang sulit untuk dilupakan, tak mungkin bisa dipungkiri
lagi, rasa rindu akan menyelimuti mereka apapun caranya. Tangannya meraih foto
lelaki pujaannya itu dan mengelus-elus foto tersebut.
“Indra, kapan kau kembali, aku sangat
merindukanmu, kenapa kau tak membalas suratku? Kenapa Indra? Apakah dunia luar
telah membuatmu lupa akan diriku?” air mata jatuh membasahi wajahnya yang
halus. Hari semakin larut, tak sadar, Tiara telah terlelap di dekat jendela.
Pagi telah datang, namun langit terlihat
mendung, seakan-akan langit tahu apa yang sedang dirasakan Tiara, hari ini, pas tiga bulan Ia dan Indra
menjalin hubungan jarak jauh. Sudah berpakaian rapi, Tiara pergi ke meja makan
untuk sarapan bersama keluarganya. Masih dengan mata sembab, tangannya mengoles
selai di atas roti tawar.
“Kamu baik-baik saja nak?” Tanya ayahnya.
“Iya yah” jawab Tiara singkat.
“Hari ini, jika kamu pulang awal, langsung
pulang ke rumah ya.”
“Memangnya kenapa yah?
“Kamu lihat saja nanti.”
Pernyataan ayahnya tidak sedikitpun digubris,
yang ada di otaknya kali ini adalah rasa rindu terhadap kekasihnya yang sudah
lama tidak berkabar, setelah sarapan, Tiara meraih kunci motor dan pergi
meninggalkan rumah. Tiba di kampus, Tiara berjalan menyusuri lorong kampus,
Tiara tak sedikitpun memperdulikan orang-orang di sekitarnya, hatinya masih
sangat galau. Diletakkan tubuhnya di bangku kayu dan memandangi keadaan
sekitar.
“Kau masih memikirkan lelaki itu?” suara tak
asing menghampiri telinganya.
Tiara hanya menoleh dan membalas dengan
senyuman.
“Hentikan itu Tiara, jangan terlalu lama
larut dalam kesedihan, yang kau butuhkan saat ini hanyalah bersantai.”
Lanjutnya
“Ini tidak mudah Desi, sudah tiga bulan Indra
tidak memberi kabar.”
“Tiara, untuk menjadi Angkatan Darat tidak
lah mudah, mereka tidak boleh memegang handphone ataupun alat elektronik
lainnya.”
“Apakah, sekejam itu? Suratku bahkan tak
pernah dibalasnya”
“Tiara, Indra hanya sedang pelatihan, jangan
membuatnya gelisah, karena dirimu, dia pasti kembali, mungkin saat ini, dia
harus focus dalam pelatihannya.”
Tak bisa berkata apapun, Tiara langsung
mendekap sahabatnya dan menangis. Hatinya benar-benar sedih, merindukan kekasih
yang entah kapan akan kembali.
Jam kuliah telah usai, namun, kesedihan Tiara
belum juga usai memikirkan Indra. Tanpa berlama-lama lagi, dirinya langsung
pulang ke rumah, mengingat perkataan sang ayah. Dengan sepeda motor, Tiara
melaju menyusuri jalan raya. Tepat di depan gerbang rumahnya, Tiara melihat
mobil putih terparkir di depan garasi, perlahan Tiara masuk dan memarkirkan
motornya di samping mobil tersebut. Dia tidak pernah melihat mobil ini
sebelumnya, dia mulai melangkah masuk ke dalam rumah. Di dalam, sudah ada dua
orang lelaki muda berpakaian rapi dan bertubuh tinggi, mereka tampak sedang
berbicara dengan ayah Tiara, Tiara pikir, mereka adalah rekan kerja ayahnya,
jadi, dia berjalan masuk dan melewati mereka.
“Tiara.” Panggil ayahnya
Tiara berhenti sejenak dan berbalik.
“Kemari nak,” lanjut ayahnya
Tiara mulai melangkah mendekati ayahnya tanpa
sedikitpun senyuman.
“Ada apa yah?”
“Ini, yang ini namanya nak Ferdi, dan yang
satu ini nak Ryan”
“Tiara” Tiara berjabat tangan dengan kedua
pria di hadapannya.
“Nah, mereka ini para pejabat, nak Ferdi
bekerja sebagai Ketua Dewan di DPRD Kota Calang, dan nak Ryan bekerja sebagai
anggota DPRD”
Tiara hanya mengeluarkan senyuman pahitnya,
tanpa sedikitpun kata-kata yang keluar dari bibirnya.
“Duduk lah, akan ayah jelaskan.” Lanjut
ayahnya.
“Ayo cepat! Cepat! Cepat!” teriak salah
seorang Letnan.
Indra berusaha berlari sekuat tenaga dan
memanjat tiang dengan seutas tali, dan merayap di bawah kawat berduri, serta
berayun dengan tali menyebrangi kolam berlumpur. Kakinya terasa sangat sakit, ketika dia berusaha
berayun menyebrangi kolam, kakinya tiba-tiba kram, dan mengakibatkan dirinya
terjatuh di atas kolam cetek yang berlumpur itu.
“Indra! Kemari kamu!” teriakan Letnan tertuju
padanya.
Indra berusaha berdiri dan berjalan menuju
seorang Letnan yang meneriakinya.
“Kamu kenapa!?”
“Kaki saya kram pak.” Keluh Indra.
“Ambil posisi 100.”
“Tapi pak….”
“Sekarang!”
Indra mulai merendahkan tubuhnya, dan
mengambil posisi push up. Hari ini,
entah mengapa, Indra merasa tubuhnya sangat lemah, mungkin ini dikarenakan daya
tahan tubuhnya yang mulai menurun, namun, dia tidak mau menyerah, dua hari lagi,
dia dan teman-temannya akan mendapatkan pangkat Tamtama sebagai Prada. Walaupun
pikirannya masih tertuju untuk seseorang yang jauh di sana.
Satu jam lamanya mereka berlatih fisik,
selanjutnya mereka berlatih menembak. Beberapa pistol telah disiapkan beserta
pelurunya, serta beberapa pisau untuk berlatih melempar pisau. Satu per satu
dari mereka dipanggil sesuai urutan. Indra tertatih-tatih sebelum gilirannya,
dia memijat-mijat betisnya sambil memperhatikan salah satu temannya yang sangat
mahir bermain pisau.
“Kau kenapa kawan?” Jono menghampirinya.
“Kakiku kram”
“Oh, sini, biar aku bantu” jawab Jono sembari
meraih kaki Indra dan memijat-mijatnya.
“Dia hebat” Indra mengagumi teman yang sedang
bermain pisau.
“Ya, dia memang hebat, bukankah kau sudah
mengetahuinya?” jawab Jono sambil terus memijat kaki Indra.
“Haha! Dasar bayi! Sakit sedikit sudah K.O!”
ejek Jimmy kepada Indra.
Indra hanya meliriknya dan berusaha tidak
perduli. Jimmy adalah orang yang selalu merendahkannya dari awal masa pelatihan
di sini, namun, ejekan itu, tak pernah digubrisnya sedikitpun. Namun, kali ini,
Indra merasa sangat berbeda, hatinya mudah sekali tersinggung dan tubuhnya juga
mudah kelelahan.
“Bayi bau,,, bayi bau,,, hei, lihatlah bayi
bau itu sedang kesakitan, ups, cup cup cup,,, tayang-tayang… hahaha” Jimmy
tetap mengejek dan menertawai Indra bersama teman-temannya.
Kata-kata itu terus diulangi Jimmy, hingga
membuat telinga Indra panas, dan hatinya benar-benar sakit serta jantungnya
menggebu-gebu karena kekesalan. Benar-benar kesal dan marah, Indra bergerak
dengan sangat cepat dan tangan kanannya merebut sebuah pisau dari genggaman
tangan temannya secepat kilat.
“Indra sudahlah!” Jono berusaha mencegahnya.
Perkataan Jono tidak sama sekali
diperdulikannya, rasa kesal telah membara di dalam hati, untuk kali ini tidak
ada kata maaf untuk Jimmy. Indra bergerak mendekat Jimmy dan mengayunkan pisau
itu dari atas.
“Indra jangan.!” Teriak Jono berusaha
mencegahnya dengan berlari mendekati Indra dan mencoba menghadangnya.
Angin menerpa kencang, langit berubah menjadi
gelap, dan ayunan pisau yang sangat cepat dan tidak dapat dielakkan itu
langsung tertancap menembus jantung. Seluruh orang terdiam memandang tragedi
ini, angin semakin kencang menerpa dan hujan mulai turun membasahi bumi. Jantung
semakin berdebar, lutut menjadi lemas, paru-paru mengkerut seakan kehabisan
oksigen. Tidak ada yang bisa diperbuat lagi ketika mata pisau yang sangat tajam
itu tertancap dan menembus jantung seseorang. Mata Indra mulai berlinang,
tangannya melepaskan pisau yang masih tertancap, menyadari perbuatannya yang
fatal. “Jono…” suara Indra menjadi parau, tubuh Jono semakin lemas dan jatuh ke
tanah, Indra langsung berlutut dan memeluk sahabatnya.
“Jono, maafkan aku… aku tidak,,,” air matanya
mulai berjatuhan.
“A,,, aku ss… sudah me,,, ma afkan mu… ka…
kawan” Jono tersenyum dan menutup matanya untuk terakhir kali.
“Tidak! Tidak Jono! Jono! Jooonoooo!!!!”
teriak histeris Indra memecah dan menggemparkan sekitarnya, dipeluknya jasad
Jono dengan sangat erat. Dirinya tak menyangka sahabat sejatinya akan berakhir
tragis di tangannya sendiri, sahabat yang selalu menyemangatinya dari kecil,
sahabat yang selalu ada di saat Ia butuhkan, sahabat sejati yang pernah
ditemuinya, kini harus pergi untuk selamanya dengan cara yang sangat
mengerikan. Penyesalan itu menyelimuti Indra hingga Ia tak dapat keluar
darinya.
Air mata mulai menghujani wajahnya, tangisan
yang tak mungkin terelakkan. Di bawah pohon rindang beratap langit mendung,
Tiara menangis sejadi-jadinya. Mengingat perkataan sang ayah yang mengejutkan
bahkan tak bisa dibantah. Memorinya terus terputar dikala dia sedang duduk di
ruang tamu siang itu.
“Begini,
ayah sudah sepakat dengan nak Fredi, bahwa ayah akan menjodohkanmu dengannya,
kamu mau kan?”
Saat itu,
tak ada satupun kata terucap dari bibir Tiara, matanya hanya melotot kaget.
“Tentu
saja dia mau Pak, teman saya ini kan orang yang sukses dan kaya, apapun yang
dia mau, pasti dapat diwujudkan hanya dengan sekejap mata” Ryan menambah.
Belum bisa terlupakan begitu saja, kata-kata
itu. Tiara tidak bisa membantah kemauan ayahnya. Dia tidak habis pikir, kenapa
ayahnya sejahat ini, dirinya bahkan belum menyetujui itu semua, namun, mereka
telah menetapkan 1 bulan mendatang, mereka akan segera menikah.
Hari sudah semakin gelap, Tiara berusaha
melangkahkan kakinya untuk pulang ke rumah, masih berat seluruh organ tubuhnya
menerima kenyataan ini. Berjalan menyusuri dinginnya malam sendirian, air mata
masih membasahi pipinya yang halus, beberapa kali, tangannya mengusap air mata.
Ketika kaki telah sampai di rumah, Tiara langsung masuk tanpa berkata apapun.
“Lupakan pria itu!” tegas ayahnya
“Siapa?” Tanya Tiara berhenti melangkah.
“Pria pencuri yang kau idam-idamkan!”
“Dia bukan pencuri ayah! Dia berusaha menyelamatkan
keluarga kita.”
“Bukan pencuri katamu? Buktinya dia ketahuan
mengambil beberapa barang berharga milik keluarga kita! Kau masih mau
membelanya?” teriak ayahnya.
“Dia tetap bukan pencuri!” balas Tiara lebih
keras, dan pergi ke kamarnya.
Tangisnya semakin pecah ketika teringat
kata-kata menyakitkan dari ayahnya. Indra bukanlah pencuri, Tiara percaya
dengan pria yang dicintainya ini. Indra bukanlah pria jahat yang ayahnya
pikirkan, baginya Indra adalah pahlawan yang sangat luar biasa.
Langit
gelap, hanya lampu-lampu jalan yang menerangi komplek, ketika tidak ada satupun
warga melintas. Saat itu, Indra masih bekerja sebagai OB di suatu perusahaan,
untuk menambah penghasilan sebelum masuk TNI-AD dan dia pulang larut malam,
dengan sepeda, dia melintas di depan rumah Tiara. Tanpa sengaja Ia melihat
seseorang berbaju hitam sedang berada di dalam area pekarangan rumah Tiara
dengan beberapa barang bawaan, Indra langsung menghampiri, dan memergokinya
sedang membawa beberapa barang berharga milik keluraga Tiara. Di sana terjadi
perkelahian, dan si pencuri berlari ke luar halaman dan mengunci gerbang rumah,
karena takut ketahuan, pencuri itu meninggalkan barang-barang tersebut di dekat
pagar dan berlari menjauhi rumah Tiara. Indra berusaha memanjat pagar, dan dia
berhasil keluar, namun, sebelum Ia berhasil turun, warga melihatnya dan
menuduhnya sebagai pencuri. Dan Indra dibawa ke kantor polisi, namun, hukuman
tidak dijatuhkan karena Ia masih berumur 16 tahun, dia hanya dikenakan denda
yang besar, dan sudah dibayar lunas oleh Pak RT yang mengenalnya sebagai anak
yang sangat baik. Ketika kelas dua belas, Indra menjalin hubungan dengan Tiara,
Tiara tidak pernah membenci Indra, karena dia tahu, Indra bukanlah orang jahat.
Usai pemakaman pagi ini, Indra kembali ke
kamarnya, dan berbaring melepas tekanan di atas ranjang, tanpa disadari,
dirinya terlelap.
“Iya,
aku percaya padamu kawan!”
“Kau
hebat kawan!”
“Hei,
ayolah, ini mudah kawan!”
“Hei
Indra kawanku, kau baik-baik saja?”
“Ini
baru permulaan sebelum kita mendapatkan pangkat Prada kawan”
“A…ku
ss..sudah… me…ma..afkanmu… kawan”
Terperanjat dari ranjangnya, setelah beberapa
menit terlelap. Kata yang selalu diucapkan Jono untuk Indra, tiba-tiba
menghantuinya, Indra melihat seisi ruangan, jaket milik Jono masih tergantung
di balik pintu kamar. Indra beranjak dari ranjang dan mengambil jaket tersebut.
Dipeluk erat jaket itu, dan air matanya mulai mengalir membasahi jaket yang ada
di dekapannya, aroma khas sahabat sejatinya masih sangat tercium di sana.
Kata-kata yang selalu terngiang di kepalanya, membuat Indra semakin menangis
menyesali perbuatannya. “maafkan aku Jon, aku tidak bermaksud membunuhmu…”
tangisnya semakin pecah mengingat kejadian kemarin sore.
“Indra, kau dipanggil ke ruang isolasi. Sekarang!”
perintah seorang Letnan dari speaker yang terpasang di setiap ruangan di asrama.
Dengan mata sembab, Indra melangkah menyusuri
lorong asrama, hatinya masih tertekan akan kepergian orang yang sangat berjasa
dalam hidupnya. Ketika sampai di ruang isolasi, Indra membusungkan dadanya dan
menarik napas panjang.
“Siap Pak!”
“Duduklah!” perintah sang Jendral.
Beliau mendekat, dan seorang sersan berada di
sampingnya serta mengikat kedua tangan Indra ke belakang kursi yang didudukinya.
Indra tidak tahu apa yang akan terjadi, dia belum pernah punya masalah hingga
harus berhadapan dengan Jendral.
“Kau masih beruntung, Ibunya tidak
menuntutmu, karena dia menyayangimu? kenapa kau melakukan itu?” lanjut Jendral
“Jimmy mengejek saya Pak”
“Lalu kenapa sampai kau mengayunkan pisau
padanya!?” Teriak sang Jendral
“Dia sangat menyebalkan Pak”
Satu pukulan keras mendarat di hidung Indra
hingga berdarah. “kau tahu itu berbahaya!?”
“Ah,,, Siap, Tahu Pak” Indra kesakitan
Satu pukulan lagi mendarat di pipinya. “Lalu
kenapa kau masih melakukan itu! Hah!”
Indra tidak menjawab, pandangannya
berkunang-kunang.
“Kenapa!? Hah! Kenapa! Jawab!” beberapa
pukulan terus mendarat di wajahnya.
“Aaa…. Karena saya membencinya Pak!”
“Kau tahu, kau sudah membunuh siapa?”
“Siap! Tahu Pak”
“Bagus. Terima ini!” pukulan yang amat sangat
keras menghantam wajahnya, hingga dirinya tak sadarkan diri.
Terbangun di suatu ruangan tanpa satupun
dinding, ruangan putih bersih. Seorang diri berdiri di sana, tanpa ada satu pun
orang. “halo…” suara Indra bergema di ruangan tersebut. Tiba-tiba muncul seorang
wanita dari salah satu sisi, wanita berambut hitam dan panjang memakai baju
putih bersih seperti ruangan itu. “Tiara” Indra mencoba memanggil. Wanita itu
mendongak padanya dan butiran bening mulai menuruni pipinya, “Tiara, kau
baik-baik saja” Indra mencoba mendekat, namun sosok wanita itu semakin menjauh.
“Indra, kapan kau kembali…” tangisnya semakin pecah. Indra berlari mendekati
wanita itu, namun, semakin lama, bayangannya pudar dan menghilang. Ruangan
putih bersih ikut memudar dan berubah menjadi hitam pekat, terdengar suara yang
amat sangat keras, hingga serasa memecahkan gendang telinganya.
“Bangun!” teriak seorang sersan kepada Indra.
Terperanjat dari mimpinya, matanya masih
berkunang-kunang, dan wajahnya masih sangat sakit. Sebuah botol pembesih luka
dan segulung kapas terlempar ke pangkuan Indra, sang sersan, langsung membukakan
tali yang mengikatnya.
“Bersihkan lukamu!” perintahnya.
Indra menjumput kapas, dan membasahinya
dengan alcohol. Perlahan-lahan tangannya membersihkan beberapa luka di wajahnya.
Perasaannya masih tidak tentu arah, dia merasa nyawanya masih belum seutuhnya
berkumpul menjadi satu ke dalam tubuhnya. Sersan yang berdiri dihadapannya
masih memperhatikan.
“Jendral tidak mengetahui ini.” Ujar sang
Sersan.
Indra terperangah memandangnya.
“Aku tahu, bagaimana rasanya jadi dirimu.
Dulu, aku juga pernah mengalaminya, namun, tak separah dirimu. Aku masih bisa
mengontrol emosiku.” Lanjutnya.
“Sahabatmu juga terbunuh?” Indra mulai
berbicara.
“Tidak, hanya saja, hampir Terbunuh”
Indra tidak menjawab, dirinya masih
membersihkan luka.
“Cepatlah! Setelah ini, kau harus membersihkan
seluruh ruangan, dan besok kau akan mendapatkan Prada yang kau cari.”
Dengan beberapa alat kebersihan, Indra mulai
membersihkan satu per satu ruangan yang ada di asrama. Dengan luka yang sangat
perih, dia tetap melakukan itu semua. Mulai dari menyapu, mengepel,
membersihkan kaca, menyapu langit-langit ruangan, merapikan beberapa barang
yang ada, di seluruh ruangan.
Malam telah menyelimuti suasana, setelah
membersihkan dirinya, Indra duduk di bibir ranjang melepas lelah, setelah
seharian bekerja. Ia masih merasakan rindu terdalam terhadap sahabat sejatinya,
di dalam kamar itu, biasanya mereka bersenda gurau, bercerita, dan tertawa
bersama, hampir tak ada kata sedih, bila dirinya sudah bersama Jono. Sejak Ia
mengenal Jono di bangku kelas 1 SD, Jono memang sudah terlihat berkepribadian baik
dan ceria, selalu ada saja hal yang mengundang tawa teman-temannya, semangat
yang Ia punya memang sangat luar biasa.
Mata yang berlinang, sambil memeluk jaket
Jono, Indra melihat sekitar ruangan, lalu pandangannya tertuju kepada salah
satu benda, yaitu kalender. Di kalender inilah, Indra dan sahabatnya menyimpan
berbagai rencana, dan di tanggal 16 April 2013, besok, mereka akan mendapatkan
pangkat yang mereka idam-idamkan. Tinta spidol merah telah melingkar di tanggal
tersebut, masih teringat ekspresi semangat yang ditunjukkan sahabatnya ketika
menandai tanggal itu. Sekarang, semua itu telah sirna, impian sahabatnya hilang
begitu saja di atas sebuah pisau yang tertancap menembus jantungnya, dan di
tangan sahabatnya sendiri.
Bel nyaring berbunyi melalui speaker ruangan,
menandakan mereka semua harus bergegas. Indra terbangun dari tidurnya, dan
segera mengambil handuk serta pakaian seragamnya. Dengan air dingin, Ia
membasahi tubuhnya yang tegap dan six pack, tanpa berlama-lama, dia bergegas
memakai seragamnya dan berbaris di lapangan.
“Ya, pagi ini, di depan orang tua kalian! di
depan kakak kalian! dan di depan seluruh Jendral! Kalian akan mendapatkan
Prada, Prajurit keDua! Apa kalian siap!” teriak Sersan.
“Siap! Pak!” jawaban yang sangat serentak
“Bagus! Masuklah ke ruangan!” perintahnya.
Derab langkah kaki para prajurit menggeparkan
tanah, dengan seragam yang sudah melengkapi mereka. Duduk dengan rapi di atas
kursi putih, beberapa dari mereka bersenda gurau bersama teman-teman, tapi
tidak untuk Indra, selain pikirannya masih melayang kepada sang kekasih, dia
juga belum bisa melupakan sahabatnya. Menghela napas panjang, Indra berusaha
menahan air matanya, dikeluarkan sebuah foto dari saku bajunya. “selamat kawan!
Hari ini, kau juga akan menjadi salah satu dari kami, walaupun kau sudah tidak
di sini” ujar Indra sambil mengusap-usap fotonya bersama Jono.
Upacara berlangsung beberapa jam, seluruh
pasukan telah mendapatkan pangkatnya. Seluruhnya saling berpelukan dengan
orang-orang tercinta setelah 3 bulan tidak berjumpa. Indra hanya memandangi
mereka, karena dia yakin, tidak ada satu pun sanak keluarga yang akan datang
melihatnya.
“Selamat pecundang” ujar seseorang dari
belakang.
Indra memutar tubuhnya dan melihat orang itu.
“Ryan, mau apa kau di sini?”
“Aku hanya ingin menghadiri upacara
bersejarah untuk adik kecilku, memangnya salah?”
“Aku tidak membutuhkanmu!” jawab Indra ketus.
“Tapi sebenarnya, aku ingin menyampaikan
sesuatu”
“Pergilah, aku pikir, itu tidak penting
kuketahui”
“Ohya? bagaimana jika ini menyangkut Tiara?”
Ryan menunjukkan ekspresi kejamnya.
“Tiara? Ada apa dengannya? Besok aku akan
menemuinya.”
“Tidak perlu repot-repot menemuinya, dia
sudah punya lelaki yang pantas.”
“Apa maksudmu?” Indra mulai emosi.
“Ya, satu bulan lagi, dia akan menikah dengan
rekan kerjaku, dan yang pastinya dia lebih baik darimu!” tekan Ryan dengan mata
melotot.
“Tidak mungkin! Tiara kekasihku! Dan kau tahu
itu, kenapa kau malah mendukung orang lain! Tiara milikku.” Indra mulai
mendekat dan mengayunkan pukulan ke wajah kakaknya.
“Dia tidak mencintaimu lagi pecundang!”
bentak Ryan.
Indra semakin memanas, dan dia mulai
mengayunkan satu pukulan lagi, namun itu berhasil dihadang seorang Sersan.
“Mundurlah! Masuk ke asrama, aku akan
menemuimu!” bisiknya.
Seluruh tamu undangan geger melihat
perkelahian mereka berdua, Indra berlari masuk ke dalam asrama sesuai perintah
Sersan. Dia tahu apa yang akan dihadapinya setelah ini, tapi, itu tidak cukup,
untuk membalas kekesalannya terhadap Ryan. Setelah yang Ia lakukan dulu,
sekarang, masih belum berubah, Ryan selalu membuatnya semakin terpuruk dan
menderita. Kali ini, dia malah mendukung rekan kerjanya menikah dengan Tiara,
yang sudah jelas-jelas Ia ketahui bahwa dia adalah kekasih Indra, adiknya
sendiri.
Beberapa pukulan mendarat lagi di wajahnya,
dengan tangan terikat, hanya beberapa detik di asrama, Indra harus kembali
masuk ke ruang isolasi, dan mendapatkan pukulan keras, bahkan lebih banyak dari
sebelumnya. Dia tidak mengelak, dia membiarkan Jendral memukulinya hingga puas,
hatinya kini benar-benar remuk, setelah ditinggal mati oleh Jono sahabatnya,
kini, Tiara dikabarkan akan segera menikah dengan rekan kerja kakaknya sendiri.
Malam ini, Indra keluar dari markas dan
menuju ke sebuah bar, lampu merah, dan biru remang-remang, menyulitkannya
berjalan. Indra duduk di sebuah kursi tinggi, dan memesan beberapa botol
minuman. Dia tidak peduli apa kata orang, dia benar-benar stress, batinnya
tersiksa dengan semua konflik yang sedang dihadapi, hatinya terasa remuk
menjadi pasir. Indra menenggak beberapa botol minuman alcohol, hingga semuanya
terasa gelap.
“Hei dengar ya, aku tidak akan pernah mau
menikah denganmu!” teriak Tiara sembari melepaskan tangannya dari genggaman
Fredi.
“Ini masih pagi Tiara, tidak baik kalau
marah-marah.” Fredi membujuk.
“Lepaskan!” bentak Tiara.
“Pagi
ini, polisi berhasil menggrebek sebuah bar yang dibangun tanpa izin di kota
Meulaboh, polisi berhasil menyita beberapa minuman beralkohol dan meringkus
beberapa orang pemilik bar, dan diketahui bahwa terdapat salah satu pelanggan
bar tak sadarkan diri setelah menenggak beberapa minuman beralkohol, dan
dikabarkan bahwa pria berusia 19 tahun ini merupakan anggota TNI-AD yang baru
dilantik kemarin, ini dia fotonya. Jendral tertinggi melarang pihak kepolisian
menahan anak buahnya, karena menurut beliau, pria muda ini, akan dihukum dengan
cara militer di markas mereka.” Suara nyaring terdengar dari speaker televise
yang sedang menyiarkan berita pagi ini. Tiara dan Fredi langsung terdiam, dan
Tiara tidak sanggup menahan air matanya setelah melihat foto yang terpampang di
televisi, pria itu adalah Indra, kekasihnya.
“Tiara, kamu baik-baik saja? Apa kamu
mengenal orang ini?” Tanya Fredi
“Lihat Tiara, itukah pria yang kau idamkan?
Seorang TNI yang berani-beraninya menenggak minuman haram hingga teler? Itu kah
kekasihmu?” ayah Tiara bertegas.
Tidak bisa berkata apapun, Tiara langsung
berlari menuju kamarnya. Tidak pernah disangka, bahwa kekasihnya kini menjadi
sangat jahat. Indra yang dulu, bukanlah Indra yang sekarang. Tangisnya
benar-benar pecah ketika mengetahui hal ini.
“Rasakan ini! Dasar kurang ajar!” Jendral
memberi pukulan terkeras yang dimilikinya.
Indra terdiam kesakitan, matanya masih
berkunang-kunang, perutnya mual akibat terlalu banyak minum, beberapa kali
Indra memuntahkan isi perutnya, dan beberapa kali juga, Jendral memukulinya.
“Kau tahu, betapa bodohnya aku?” lanjut sang
Jendral
“Bodohnya aku adalah aku masih
mempertahankanmu! Seharusnya kau! Sudah berada di dalam jeruji besi! Dan
dipermalukan! Tapi itu semua belum cukup, kau harus menerima hukuman dari
diriku sendiri! Kau tahu! Ini pertama kalinya, anak buahku sekurang ajar
seperti dirimu! Apa kau merasa sudah baik!? Hah! Mentang-mentang sudah
mendapatkan pangkat Prada? Bagi kami itu semua belum apa-apa! Tapi kau sudah sangat
kurang ajar! Jendral saja tidak pernah melakukan ini! Tapi kau, yang masih
baru-baru sudah berani!” satu pukulan lagi menghantam Indra.
“Siang ini, sebelum kau pulang ke rumah, kau
harus menerima hukuman di depan teman-temanmu! Di lapangan!” lanjut sang
Jendral sembari meninggalkan Indra.
“Kau benar-benar beruntung, entah kenapa, kau
masih dipertahankan, seharusnya kau sudah dikeluarkan dari TNI.” Sersan
berbisik kepadanya dan membuka tali yang melilit tangan Indra.
Indra masih terdiam dalam sakitnya tubuh
serta batinnya saat ini. Digiring menuju lapangan dengan telanjang dada, dia
telah pasrah dengan hukuman selanjutnya yang akan diterima. Kedua tangannya
diikat ke atas, dan sebuah gumpalan handuk disempalkan kedalam mulut Indra.
Teman-temannya yang sudah berkemas ingin pulang, harus berbaris melihat Indra
dihukum, seorang Letnan berada di belakangnya dengan sebuah cambuk panjang dan
besar.
“Cambuk dia seratus kali!” perintah Jendral.
Letnan mulai mengangkat tangannya dan mengibaskan
cambuk hingga menggores punggung Indra hingga berdarah.
“Tiara, bisa tolong ayah sebentar” pinta
ayahnya ketika Tiara melintas.
“Tolong apa!?” jawab Tiara ketus
“Tolong ambilkan berkas ayah di laci kamar.”
Tiara langsung melangkah masuk kedalam kamar
ayahnya dan mencari-cari laci yang dimaksud ayahnya. Walaupun hatinya tidak
terlalu ikhlas dalam menjalankan perintah ayahnya.
“Laci yang mana yah!” teriak Tiara dari
dalam.
“Laci di dekat tempat tidur” balas ayahnya.
Sambil membuka laci satu persatu, Tiara
dikejutkan dengan beberapa amplop yang tak asing di matanya. Tertera perangko
dan nama pengirim di atas sana. Tertulis namanya dan beberapa lagi tertera nama
Indra. Hatinya terasa diremas, dan darahnya mendidih.
“Aduh, Tiara lama sekali kamu ini” ujar
ayahnya sambil memasuki kamar.
“Ayah! Ayah benar-benar orang jahat!”
“Ada apa?” ayahnya kebingungan
“Jadi, selama ini! Ayah sembunyikan surat
dari Indra, dan menahan suratku untuk Indra!? Kenapa yah!? Kenapa ayah lakukan
ini!?” air mata mulai mengalir.
“Ayah tidak suka kau terus-terusan memikirkan
lelaki brengsek itu!”
“Hentikan itu ayah! Ayah tidak mengerti siapa
dia sebenarnya!” bentak Tiara.
“Memangnya siapa? Seorang TNI pembunuh dan
pemabuk itu!? Hah! Itu kah maksudmu! Kau pikir ayah tidak tahu, hubungan kalian
selama ini?!”
“Ayah benar-benar jahat!” Tiara pergi
meninggalkan ayahnya.
“Ketua
DPRD Kota Calang dan anggotanya menjadi tersangka penyuapan, Fredi Sitohang dan
Ryan Pradana dikabarkan menjadi oknum penyuapan” suara penyiar televisi menghentikan langkah
Tiara, Fredi, pria yang pernah dijodohkan ayahnya untuk menjadi suaminya, kini
menjadi tawanan. Tiara tidak ingin ambil pusing soal Fredi, dirinya bahkan
tidak sama sekali menyimpan rasa suka terhadap kedua lelaki itu.
Duduk di depan jendela, melihat langit dengan
mata sembab yang terus-terusan dialiri air mata, pantas saja, selama ini, Indra
tak pernah mengirim kabar, ternyata, suratnya telah ditahan ayahnya sendiri.
Tiara melirikkan matanya ke bawah dan melihat mobil sedan milik ayahnya berjalan
keluar pagar rumah. Jantungnya berdebar kencang, rasa khawatir tiba-tiba
menyelimuti Tiara, dia tidak mengerti kenapa hal ini terjadi, apa mungkin
karena kekhawatirannya terhadap seseorang yang belum pernah berkabar hingga
hari ini. Tapi, apakah mungkin? Dirinya masih bertanya-tanya, rasa khawatir itu
makin menjadi-jadi setelah beberapa menit, jantungnya terus berdebar,
diambilnya sebuah buku novel, dan dibacanya.
Setelah satu jam membaca novel, rasa khawatir
itu masih menyelimutinya, tak berapa lama, suara dering telepon rumah
mengagetkannya. Dengan tergesa-gesa, Tiara berlari menuju telepon, jantung
Tiara makin berdebar, tangan kanannya meraih telepon dan meletakkannya di
telinga.
Jantung berdegub kencang, lutut terasa sangat
lemah, dan darah terasa mengalir sangat deras, ketika Tiara mendapat info dari
balik telepon tentang keadaan ayahnya. Dengan tergesa-gesa Tiara berjalan
menuju ruang UGD, tempat ayahnya berada, rasa khawatir itu ternyata untuk sang
ayah yang terbaring lemas di ranjang ruang UGD. Ketika Tiara sampai di depan
ruang UGD, tepat, keluarlah seorang dokter dari ruangan tersebut.
“Dok,,, bagaimana keadaan ayah saya” Tanya Tiara
dengan panik.
“Beliau baik-baik saja, hanya butuh pemulihan.”
“Apa yang sebenarnya terjadi dok?”
“Bapak Suprapda mengalami kecelakaan di
jembatan, sepertinya mobil kehilangan kendali dan melewati pembatas jembatan,
hingga mobil beliau masuk ke dalam sungai, dan saat itu, sungai sedang mengalir
deras, Pak Suprapda terseret ombak beberapa meter, itu menurut pihak kepolisian,
tapi syukurlah, Bapak anda dapat terselamatkan.” Dokter menjelaskan.
“Siapa yang menyelamatkan ayah saya dok?”
“Dia ada di ruang sebelah”
“Oh, terima kasih dok”
Tiara mulai melangkah menuju ruangan sebelah,
ingin melihat wajah orang yang telah berjasa menyelamatkan ayahnya. Di ambang
pintu ruangan, Tiara benar-benar dikagetkan dengan pemandangan di hadapannya.
Pria bertubuh tinggi dan tegap itu,,, adalah Indra, seluruh tubuhnya basah
kuyub namun, kali ini, ada yang berbeda, wajahnya penuh memar. Mata Tiara mulai
berkaca-kaca, sembari mendekatkan dirinya kepada Indra.
“Tiara,,,,”
“Indra” Tiara berlari dan memeluk Indra.
Air matanya terus mengalir menyatu dengan
pakaian Indra yang basah. Indra membalas pelukan dari kekasihnya, mereka
berpelukan selama beberapa menit, pelukan yang sudah lama tak mereka rasakan.
Indra melepaskan pelukannya dengan perlahan, dan Tiara mengelus-elus wajahnya
yang memar.
“Maafkan aku…” ujar Indra dengan raut wajah
menyedihkan.
“Apa yang terjadi padamu?” Tiara memandang
mata Indra.
“Nak Tiara, anda dipanggil Pak Suprapda”
panggil seorang suster.
Tiara dan Indra masuk ke dalam ruang UGD,
tempat di mana ayah Tiara berbaring. Dan mereka mendekat ke ranjang.
“Indra, terima kasih atas pengorbananmu” ujar
ayah Tiara dengan senyum.
“Iya, sama-sama Om.” Jawab Indra dengan
senyum tegang.
“Tiara, sepertinya ayah tahu, siapa yang
lebih pantas menjadi suamimu” kedua bola mata ayah Tiara melirik kepada Indra.
No comments:
Post a Comment